Lompat ke isi

Sindrom TS

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 30 April 2010 20.01 oleh Iwan Novirion (bicara | kontrib) (WikiCleaner 0.99 - Reference tag in article double - Title in text - Headlines with capitalization - DEFAULTSORT is missing and title with lowercase_letters (Detection by [[Wikipedia:ProyekWiki Cek W)

Toxic shock syndrome' (TSS) adalah suatu kumpulan gejala yang dapat mengancam jiwa, ditandai oleh demam tinggi, nyeri tenggorokan,eritema difus, hiperemia membran mukosa, mual/muntah, diare, dan gejala-gejala peyerta lainnya. TSS dapat secara cepat berkembang menjadi disfungsi multisistem disertai gangguan elektrolit berat, gagal ginjal dan syok. TSS pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Jim Todd (1978), ahli epidemiologi di rumah sakit anak-anak Denver.Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah;. TSS telah dihubungkan dengan pembedahan rinologi dan alat-alat medis, dan dikaitkan dengan suatu eksotoksin berasal dari Staphylococcus aureus yang bersirkulasi dalam darah dan bersifat toksogenik. Sebanyak 30% pasien yang menjalani pembedahan merupakan karier Staphylococcus aureus. Pengguna kokain, dekongestan topikal, dan spray steroid memiliki tingkat karier yang lebih tinggi secara statistik dibandingkan mereka yang tidak menggunakannya.[1]

Toxic shock syndrome

TSST-1 merupakan turunan dari protein sebagai "pyrogenictoxin superaninens"(PTSAs). Turunan protein ini juga termasuk Staphylococcus enteretoxins (SPE) A-I, kecuali F dan Staphylococcus enteretoxins A-C dan F, melampaui aktifitas sejumlah sustansial T-sel. Namun demikian, tidak seperti antibodi yang menstimulasi sel-sel T sesuai dengan apitope spesifik melalui berbagai macam region TCR, superantigen seperti TSST-1 berinteraksi dengan TCR tergantung pada haplotipe masing-masing. Aktivitas ini sangat berperan penting dalam pelepasan beberapa sitokin, yang nantinya akan berperan dalam pathogenesis TSS.

Patogenesis

Berkas:Toxic Shock Syndrome 2.jpg
Patogenesis

Hidung adalah tempat yang paling sering terjadi kolonisasi Staphylococcus aureus. Rusaknya barier mukosa meningkatkan risiko pada pasien yang rentan TSS. Pada keadaan normal secara fisiologis silia dan mukosa blanket yang intak melapisi jalan nafas dan berperan dalam mekanisme mucocillary clearace sebagai pertahanan terhadap kontak dengan bakteri. Aksi langsung yang memperlambat, menghambat pergerakan silia dan mukosa blanket akan menyebabkan organisme menetap di saluran nafas dan berkembangbiak pada mukosa yang stagnant. Kemungkinan keringnya mukosa blanket setelah trauma operasi dan kerusakan mukosa akan mengakibatkan tidak aktifnya mucocillary clearace dan merupakan tempat masuknya toksin bakteri. Tindakan yang dapat meningkatkan risiko meliputi penggunaan alat-alat medis seperti tampon hidung dan septal splints. Sebagian besar kasus TSS secara langsung disebabkan oleh kolonisasi atau terinfeksi Staphylococcus aureus yang mensekresi eksotoksin dan dikenal sebagai Toxic Shock Syndrome (TSST-1). Sifat biologis yang dimiliki oleh TSST-1 adalah sebagai berikutKesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah;Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah; [2]

Faktor predisposisi:

  • Influenza
  • Stomatitis
  • Tracheitis
  • Pengguna obat intravena
  • Infeksi HIV
  • Luka bakar
  • Dermatitis kontak alergi
  • Infeksi kandungan
  • Post partum
  • Infeksi pasca oprasi
  • Tamponhidun
  • Diabetes mellitus

Epidemiologi

Pada awal tahun 1980 dilaporkan kasus TSS non menstrual yang dihubungkan dengan berbagai macam prosedur operasi, misalnya pada rinoplasti, pemakaian tampon hidung dan kondisi kesehatan, misalnya pneumonia, influenza dan infeksi. TSS dilaporkan terjadi menyusul setelah serangan influenza dan penyakit menyerupai penyakit influenza dengan angka mortalitas yag cukup signifikan (43%). Pemakaian tampon hidung juga data mengakibatkan TSS (20%-40%) pada populasi dewasa. Pengguna kokain, dekongestan topical, steroi sparay memiliki tingkat karier terhadap S. aureus lebih tinggi secara statistik dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakannya.Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah;

Gambaran klinis

Waktu rata-rata yang dibutuhkan hingga timbulnya penyakit TSS pasca bedah adalah 2 hari. Kasus TSS minor ringan umumnya ditandai dengan demam, menggigil mialgia,nyeri adomen, sakit tenggorokan, mual, muntah dan diare. Kasus TSS major dapat terjadi secara akut disertai gangguan multisistem berbagai organ dan kelainan laboratorium.Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah;Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah;Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah;Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah;

  1. Perawatan sebelum masuk rumah sakit:
  • Mulai segera resusitasi caran secara agresif, terutama pada hipotensi
  • Pemberian oksigen
  1. Perawatan ICU: Resusitasi cairan dan pemberian oksigen dilanjutkan.
  • Monitor denyut jantung, respirasi dan tekanan darah:
  • Resusitasi cairan
  1. 24 jam pertama penderita memerlukan 4-20 liter larutan kristaloid dan fresh frozen plasma
  2. Mungkin dapat diberikan infuse dopamine dengan dosis awal 5-20 mu/kgbb bila restriksi cairan gagal memulihkan tekanan normal.
  1. Terapi oksigen :
  • Untuk memaksimalkan oksigenisasi jaringan
  • Untuk mengoreksi hipksia dan atau asidosis
  • Terapi hiperbarik oksigen digunakan pada infeksi jaringan nekrosisi
  • Monitoring jantung
  • Monitorin gas darah
  • Pasang kateter untuk memonitoring urin
  • Tampon diangkat
  • Fokus infeksi cepat dicari dan diobati segera.
  1. Terapi antibiotik:
  • Amoksisilin dengan beta laktamase seperti : klavulanat atau sulbaktam 1-2 gram, tiap 4 jam ; bila alergi terhadap penilsilin dapat diberi vankomisin atau klindamisin, 600-900 mg IV per 8 jam atau eritromisin 1 gram tiap 6 jam selama 3 hari dilanjutkan dengan diklosasilin oral atau klindamisn oral pada penderita alergi penisilin selama 10-14 hari.
  • Metilprednisolon dan immunoglobulin intravena.

PrognosisKesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah;Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref> tidak sah;

  1. Prognsisi sangat dipengaruhi oleh lamanya syok, gangguan organ sekunder, kecepatan pendeteksi dan intervensi medis yang serius.

Catatan dan Referensi

  1. ^ Gittelman PD, Jacob JB (1991). Staphylococcus aureus Nasal Carriage in Patient with Rhinusinositis (edisi ke-7th ed. Part 1:733-6). Laryngoscope. 
  2. ^ Santos PM, Lepore ML (1998). Epitaxis.In: Head and Neck Surgey-Otolaryngology (edisi ke-2th ed.). Philadelphia:Lippincott-Raven Publ.