Lompat ke isi

Pangan fungsional

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 3 Juni 2010 06.12 oleh Serenity (bicara | kontrib) (pembagian artikel)
Berkas:Energetic drinks.jpg
Minuman berenergi termasuk dalam pangan fungsional

Pangan fungsional adalah pangan atau komponen pangan yang dapat memberikan manfaat tambahan disamping fungsi dasar zat gizi pangan utama untuk populasi tertentu.[1]

Pangan fungsional dimungkinkan memiliki sifat fungsional untuk seluruh populasi atau kelompok khusus yang didefinisikan secara jelas sebagai contoh khusus untuk usia tertentu atau untuk golongan yang memiliki sifat genetik tertentu.[2] Selain itu, pangan fungsional juga mencakup produk yang dibuat secara khusus untuk meningkatkan performa fisik maupun kognitif.[3] Contoh dari produk tersebut yaitu minuman olahraga, minuman pengganti elektrolit, serta makanan dalam bentuk batangan yang ditujukan untuk meningkatkan fungsi fisiologis saat berolahraga.[3]

Definisi

  • Pangan fungsional merupakan pangan alami (sebagai contoh, buah-buahan dan sayur-sayuran) atau pangan olahan yang mengandung komponen bioaktif sehingga dapat memberikan dampak positif pada fungsi metabolisme manusia.[3]
  • Dalam dokumen konsensus “Scientific Concepts of Functional Foods in Europe” yang dikeluarkan oleh European Commission Concerted Action on Functional Food Science in Europe (FUFOSE) mendefinisikan pangan dapat dikatakan memiliki sifat fungsional jika terbukti dapat memberikan satu atau lebih manfaat terhadap target fungsi tubuh (selain fungsi gizi normalnya) dengan cara yang relevan dapat memperbaiki status kesehatan dan kebugaran serta menurunkan risiko penyakit.[2]

Tiga sifat penting pangan

Pangan, secara umum dapat dikatakan memiliki tiga sifat penting[4]:

  1. Fungsi utama : sebagai asupan zat gizi yang sangat esensial untuk keberlangsungan hidup manusia.
  2. Fungsi kedua : sebagai sensori atau pemuasan sensori seperti rasa yang enak, rasa, dan tekstur yang baik.
  3. Fungsi ketiga :secara fisiologis menjadi regulasi bioritme, sistem saraf, sistem imunitas, dan pertahanan tubuh.

Pangan fungsional dapat digolongkan ke dalam pangan yang termasuk pada fungsi ketiga.[butuh rujukan] Contoh dari pangan fungsional dapat berupa pangan konvensional yang difortifikasi, diperkaya, disuplementasi, atau ditambahkan nilai manfaatnya.[4]

Substansi yang terdapat di dalamnya dapat berupa zat gizi esensial untuk memelihara fungsi normal tubuh dan pertumbuhan, serta komponen bioaktif yang dapat memberikan hasil postif pada kesehatan maupun efek fisiologis yang dikehendaki.[4]

Sejarah

Konsep pangan fungsional pertama kali diperkenalkan di Jepang pada tahun 1984 dengan istilah FOSHU yang merupakan singkatan dalam bahasa Inggris Food for Special Dietary Uses yang berarti pangan yang dikhususkan untuk diet tertentu.[4] Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya populasi orang tua di Jepang yang berpotensi terhadap peningkatan penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes, hipertensi, osteoporosis, dan kanker.[4] Berlatar belakang hal tersebut, maka Kementerian Pendidikan Jepang pada tahun 1984 mencanangkan proyek pengembangan dan penelitian yang memfokuskan pada sifat fungsional pada pangan.[4] Proyek tersebut merupakan proyek penelitian mengenai pangan fungsional yang pertama kali di dunia dengan melibatkan berbagai peneliti dari latar belakang disiplin ilmu seperti ilmu gizi, farmakologi, psikologi, dan kedokteran. [4]

Logo resmi FOSHU yang disahkan oleh Kementrian Kesehatan, Pekerjaan, dan Kesejahteraan di Jepang.[5]
Jumlah produk pangan yang disetujui untuk mendapatkan klaim dan logo FOSHU oleh Kementerian Kesehatan, Pekerjaan, dan Kesejahteraan di Jepang.[6]

Syarat Pangan Fungsional

Suatu pangan dapat dikategorikan menjadi pangan fungsional jika memiliki tiga syarat utama yang harus dipenuhi yaitu[7] :

  1. Merupakan makanan atau minuman (bukan kapsul, tablet, atau serbuk) yang mengandung senyawa bioaktif tertentu yang berasal dari bahan alami.
  2. Harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari.
  3. Memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan biologis, mencegah dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan dini.

Di Jepang, Kementerian Kesehatan, Pekerjaan, dan Kesejahteraan menyatakan bahwa suatu pangan bisa disebut sebagai pangan fungsional jika memiliki kriteria sebagai berikut[8] :

  1. Pangan tersebut harus dapat meningkatkan fungsi diet dan kesehatan.
  2. Nilai positif gizi dan kesehatan harus terbukti kuat dengan hasil penelitian secara empiris.
  3. Anjuran konsumsi dari pangan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari ahli gizi dan kesehatan.
  4. Pangan dan komponen ingredien yang terkandung di dalamnya harus aman sesuai dengan diet seimbang.
  5. Ingredien pangan yang terdapat didalamnya harus terkarakterisasi secara jelas dalam hal sifat fisik dan kimia, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (metode yang digunakan untuk menganalisa dari sifat tersebut harus disertakan dengan jelas)
  6. Ingredien pangan yang terdapat didalamnya tidak boleh menurunkan nilai gizi dari pangan tersebut.
  7. Pangan tersebut harus dikonsumsi sesuai dengan asupan dan cara yang normal.
  8. Pangan tersebut tidak boleh dalam bentuk tablet, kapsul, atau serbuk.
  9. Ingredien pangan yang terdapat didalamnya harus berasal dari komponen alami.

Hingga akhir tahun 2007, Jepang sudah memberikan label FOSHU pada 755 produk pangan.[4] Klaim kesehatan untuk produk FOSHU di Jepang diklasifikasikan menjadi delapan kelompok yang memberikan efek kesehatan untuk kondisi IG (Indeks Glikemik), tekanan darah, serum kolesterol, glukosa darah, absorpsi mineral, kesehatan gigi, lemak netral pada darah, serta kesehatan tulang.[4]

Syarat Mendapatkan Logo FOSHU di Jepang

Untuk mendapatkan logo FOSHU, pangan yang diproduksi dan beredar di Jepang harus memenuhi syarat sebagai berikut[5]:

  1. Keefektifan pangan tersebut sudah terbukti secara nyata pada tubuh manusia.
  2. Tidak terdapat hal khusus mengenai keamanan pangan (tes toksisitas hewan, pemberitahuan efek samping jika dikonsumsi secara berlebihan.
  3. Menggunakan ingredien pangan yang sesuai (contohnya, tidak berlebihan dalam menggunakan garam).
  4. Terdapat jaminan sesuai dengan spesifikasi produk yang tertulis pada saat dikonsumsi.
  5. Terdapat metode kontrol kualitas, seperti spesifikasi produk dan ingredien, proses, serta metode analisis.

Klasifikasi Penggolongan Pangan Fungsional

Pangan fungsional dapat diklasifikasikan dengan menggunakan berbagai prinsip sesuai dengan badan atau aturan yang berlaku di negara yang bersangkutan. Berikut merupakan beberapa pengklasifikasian pangan fungsional menurut badan atau aturan yang berlaku di negara yang bersangkutan serta justifikasi ilmiah yang menyertainya.

Penggolongan Pangan Fungsional Berdasarkan Beberapa Prinsip yang Dikemukakan Juvan et al. (2005):[9]

  1. Berdasarkan golongan dari pangan tersebut (produk susu dan turunannya, minuman, produk sereal, produk kembang gula, minyak, dan lemak).
  2. Berdasarkan penyakit yang akan dihindari atau dicegah (diabetes, osteoporosis, kanker kolon).
  3. Berdasarkan efek fisiologis (imunologi, ketercernaan, aktivitas anti-tumor).
  4. Berdasarkan kategori komponen bioaktif (mineral, antioksidan, lipid, probiotik).
  5. Berdasarkan sifat organoleptik dan fisikokimia (warna, kelarutan, tekstur).
  6. Berdasarkan proses produksi yang digunakan (kromatografi, enkapsulasi, pembekuan).

Klasifikasi Komponen Ingredien Pangan yang Mendapatkan Klaim FOSHU di Jepang[5]

Fungsi spesifik terhadap kesehatan Komponen ingredien utama
Pangan untuk memodifikasi kondisi saluran pencernaan (gastrointestinal) Oligosakarida, laktosa, bifidobakteria, bakteri asam laktat, serat pangan, dekstrin yang tercerna, polidekstrol, guar gum, biji pelapis psillium, dsb.)
Pangan yang berhubungan dengan level kolesterol darah Kitosan, protein kedelai, natrium alginat yang terdegradasi
Pangan yang berhubungan dengan level gula darah Dekstrin yang tidak tercerna, albumin gandum, polyphenol dari jambu dan teh, L-arabiosa, dsb.
Pangan yang berhubungan dengan tekanan darah Laktotripeptida, kasein dodekaneptida, asam geniposidik, peptide sarden, dsb.
Pangan yang berhubungan dengan kesehatan gigi Paratinosa, maltitiosa, erithritol, dsb.
Pangan yang berhubungan dengan kondisi saluran pencernaan (gastrointestinal) serta hubungannya dengan kolesterol dan triasilgliserol Natrium alginat yang dapat terdegradasi, serat pangan dari dedak biji psyllium, dsb.
Pangan yang berhubungan dengan absorpsi mineral Kalsium sitrat malat, kasein fosfopeptida, besi hem, frakuto-oligosakarida, dsb.
Pangan yang berhubungan dengan osteogenesis Isoflavon kedelai, protein berbasis susu, dsb.
Pangan yang berhubungan dengan triasilgliserol Asam lemak rantai sedang, dsb.

Pangan Fungsional di Eropa

Sejak tahun 2007, Parlemen dan Dewan Uni Eropa telah mengesahkan peraturan baru untuk bidang klaim gizi dan kesehatan terhadap pangan.[10] Peraturan tersebut diharapkan dapat memberikan keyakinan dan perlindungan kepada konsumen mengenai kesalahpahaman ataupun klaim yang kurang benar.[10] Selain itu diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi yang sehat serta inovasi yang semakin berkembang antar perusahaan pangan fungsional di Uni Eropa.[10]

Hingga tahun 2004, terdapat 304 produk pangan dengan 503 komponen ingredien fungsional yang teridentifikasi memiliki sifat fungsional yang beredar di pasar Uni Eropa.[11] Terdapat 168 perusahaan yang setidaknya minimum memproduksi satu jenis produk pangan fungsional di Uni Eropa dengan rincian sekitar setengah dari jumlah tersebut berkantor pusat di Jerman, selebihnya berkantor pusat di Inggris, Spanyol, Belanda, Perancis, Italia, Austria, Finlandia, Belgia, dan Denmark.[11] Lebih jauh lagi terdapat sekitar 26 perusahaan Amerika, 11 perusahaan Jepang, dan 30 perusahaan di luar Uni Eropa yang memasarkan produk pangan fungsionalnya di Uni Eropa.[11] Dalam pengajuan paten pangan fungsional, setidaknya terdapat sepuluh perusahaan di Uni Eropa dengan lima belas pengajuan paten.[11] Perusahaan yang mengajukan paling banyak paten (5 buah) dalam kurun waktu 2001 adalah Societé des produits Nestlé s.a. yang merupakan perusahaan berbasis di Swiss yang bukan termasuk anggota negara Uni Eropa.[11]

Produk pangan fungsional di pasar Uni Eropa tahun 2004 menurut sektor pangan.[11]

Sektor pangan Jumlah produk Persentase
Produk susu dan turunannya (termasuk yoghurt) 209 54,3
Minuman 116 30,1
Sereal 13 3,4
Produk kembang gula 12 3,1
Lemak dan suplemen lemak 12 3,1
Makanan bayi 9 2,3
Produk bakeri 6 1,6
Produk pangan jadi 5 1,3
Lain-lain 3 0,8
Total keseluruhan 385 100,0

Produk pangan fungsional di pasar Uni Eropa tahun 2004 menurut ingredien pangan.[11]

Jenis ingredien Jumlah produk Persentase
Kultur bakteri (terutama probiotik) 173 44,9
Sakarida (terutama prebiotik) 78 20,3
Ekstrak tanaman 53 13,8
Terpene 41 10,6
Lain-lain 37 9,6
Serat 35 9,1
Fenol 33 8,6
Peptida 30 7,8
Lipid 23 6,0
Total keseluruhan 503 130,6

Keterangan : Total keseluruhan pangan lebih dari 100 persen, hal ini dikarenakan suatu produk terkadang mengandung dua atau lebih ingredien bioaktif

Jumlah perusahaan pangan fungsional serta lokasi kantor pusatnya di Uni Eropa pada tahun 2004.[11]

Negara Jumlah perusahaan pangan fungsional
Jerman 82
Inggris 22,5
Spanyol 20
Belanda 9,5
Perancis 7
Italia 7
Austria 5
Finlandia 4
Belgia 3
Denmark 3
Lainnya 5

Keterangan : Untuk jumlah perusahaan yang kurang dari tiga maka digolongkan dalam lain-lain, selain itu salah satu perusahaan (Unilever) memiliki kantor pusat di Belanda dan Inggris.


Referensi

  1. ^ (Inggris) IFT Expert Panelist (2005). Functional Foods: Opportunities and Challanges. Washington DC: Institute of Food Technologist. hlm. 6. 
  2. ^ a b (Inggris) Diplock A, Aggett PJ, Ashwell M, Bornet F, Fern EB, Roberfroid MB, ed. (1999). "Scientific Concepts of Functional Foods in Europe Consensus Document". Brit. J. Nutr. (dalam bahasa English). Cambridge: Cambridge University Press. 81: pp S1–S27. doi:10.1017/S0007114599000471. 
  3. ^ a b c (Inggris) Wildman, REC (2001). Handbook of Functional Food and Nutraceuticals (dalam bahasa English). Boca Raton: CRC Press. ISBN 0-8493-8734-5. 
  4. ^ a b c d e f g h i (Inggris) Yamada K, Sato-Mito N, Nagata J, Umegaki K (2008). "Health claim evidence requirements in Japan". The Journal of Nutrition (dalam bahasa English). American Society for Nutrition. 138: 1192S–1198S. PMID 18492856. 
  5. ^ a b c http://www.mhlw.go.jp/english/topics/foodsafety/fhc/02.html
  6. ^ http://www.ibpcosaka.or.jp/network/e_trade_japanesemarket/foodstuff_beverage/foshu08.html
  7. ^ (Inggris) Goldberg, I (1999). Functional Foods (Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals) (dalam bahasa English). Maryland: Aspen Publishers. ISBN 0-8342-1688-4. 
  8. ^ (Inggris) Ichikawa, T (1999). Goldberg I, ed. Functional Foods (Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals) (dalam bahasa English). Maryland: Aspen Publishers. ISBN 0-8342-1688-4. 
  9. ^ (Inggris) Juvan S, Bartol T, Boh B (2005). "Data structuring and classification in newly-emerging scientific fields". Online Information Review (dalam bahasa English). Emerald Group Publishing Limited. 29 (5): 483–49. doi:10.1108/14684520510628882. ISSN 1468-4527. 
  10. ^ a b c (Inggris) European Union (2006). "Regulation (EC) No 1924/2006 of the European Parliament and the Council of 20 December 2006 on nutrition and health claims made on foods". Official Journal of the European Union (dalam bahasa English). European Union. L 12: 3–18. PMID 18492856. 
  11. ^ a b c d e f g h (Inggris) Stein AJ, Rodríguez-Cerezo E, ed. (2008). Functional Foods in the European Union (dalam bahasa English). Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities. doi:10.2791/21607. ISBN 978-92-79-09071-4.