Lompat ke isi

Baekje

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 9 Juni 2010 00.55 oleh Dinamik-bot (bicara | kontrib) (bot Mengubah: en:Baekje kingdom)
Baekje
[[Berkas:Peta Tiga Kerajaan Korea pada akhir abad ke-5|150px|alt=]]
Hangeul백제
Hanja百濟
Alih Aksara yang DisempurnakanBaekje
McCune–ReischauerPaekche

Baekje (16 SM-660 M) adalah salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, menguasai wilayah sebelah barat daya Semenanjung Korea. Baekje mengaku sebagai penerus dari kerajaan Buyo dari Manchuria.

Kerajaan Baekje didirikan oleh Raja Onjo, putra ke-3 dari Jumong, raja pendiri Goguryeo. Baekje beribukotakan di Wiryeseong, yang saat ini dekat dengan kota Seoul. Puncak keemasan Baekje terjadi pada abad ke-4 Masehi ketika kekuasaannya meliputi wilayah semenanjung Korea sebelah barat daya sejauh kota Pyongyang. Baekje runtuh tahun 660 setelah dikalahkan oleh gabungan Silla dan Dinasti Tang, lalu setelah itu menjadi wilayah kekuasaan Silla Bersatu.

Sejarah

Pendirian

Berdasarkan babad Korea Samguk Sagi, Baekje didirikan tahun 18 SM oleh Raja Onjo yang memimpin sebagian kecil warga Goguryeo menuju selatan Semenanjung Korea, tepatnya di wilayah propinsi Jeolla saat ini. Berdasarkan catatan sejarah Tiongkok, San Guo Zhi, pada masa Samhan, salah satu wilayah Konfederasi Mahan ada yang bernama Baekje.

Samguk sagi memberikan penjelasan detail mengenai pendirian Baekje. Jumong meninggalkan putranya Yuri di Buyo ketika ia meninggalkan kerajaan tersebut untuk mendirikan Goguryeo . Jumong bergelar Dongmyeongseong setelah diangkat jadi raja di Goguryeo. Ia mempunyai 2 putra lagi dari istri ke-2 nya di Goguryeo , yaitu Onjo dan Biryu. Ketika Yuri datang ke Goguryeo , Jumong langsung menggelarinya sebagai putra mahkota. Mengetahui bahwa Yuri akan dijadikan raja selanjutnya, Onjo dan Biryu memutuskan untuk hijrah ke selatan bersama 10 orang budak.

Onjo menetap di Wiryeseong (sekarang Hanam) dan mendirikan kerajaan yang disebut Sipje ("Sepuluh Budak"), sementara Biryu menetap di Michuhol (sekarang Incheon). Sipje hidup dengan makmur, sedangkan Biryu harus bertahan susah payah karena Michuhol berair asin dan tanahnya berawa-rawa. Biryu lalu pergi menuju Wiryeseong untuk meminta Onjo menyerahkan tampuk kepemimpinan padanya, namun Onjo menolak dan membuat Biryu mendeklarasikan perang. Biryu kalah dalam perang tersebut dan bunuh diri karena malu. Para pengikut Biryu pindah ke Wiryeseong dan diterima senang hati oleh Onjo. Onjo lalu mengganti nama kerajaanya dengan :"Baekje" atau "Seratus Budak".

Karena adanya tekanan dari negara bagian lain dari Konfederasi Mahan (Baekje pada awalnya merupakan negara bagian dari Konfederasi Mahan), Raja Onjo memindahkan ibukota dari selatan ke sebelah utara sungai Han, lalu pindah lagi ke selatan. Raja Gaeru memindahkan ibukotanya ke Gunung Buk (Bukhan) tahun 132 M di wilayah yang diperkirakan dekat dengan kota Kwangju saat ini.

Baekje perlahan-lahan menjadi kuat dan mulai mengendalikan banyak negara bagian Mahan. Masa ini disebut zaman Proto Tiga Kerajaan.

Ekspansi

Dalam masa pemerintahan Raja Goi tahun 234-286, Baekje menjadi kerajaan seutuhnya. Babad Jepang, Nihon Shoki menyebutkan ekspansi Baekje mencapai wilayah Konfederasi Gaya di lembah Sungai Nakdong di sebelah tenggara semenanjung Korea. Rekaman sejarah Tiongkok pertama menyebutkan Baekje sebagai sebuah kerajaan adalah pada tahun 345. Misi diplomatik pertama dari Baekje yang mencapai Jepang berdasarkan Nihon Shoki adalah pada tahun 367.

Raja Geunchogo (berkuasa dari 346-375) menyatukan berbagai negara bagian Konfederasi Mahan serta memperluas teritorinya ke utara melawan Goguryeo. Dalam masa pemerintahannya wilayah Baekje meliputi wilayah Korea sebelah barat, dan pada tahun 371 pernah mengalahkan Goguryeo dalam perang di Pyongyang. Baekje juga tercatat pernah menjalin hubungan dagang dengan Goguryeo , mengadopsi kebudayaan dan teknologi Tiongkok, serta menganut agama Buddha pada tahun 384.

Baekje yang mempunyai armada laut yang kuat, menjalin hubungan baik dengan pemimpin Jepang pada zaman yamato. Baekje mentransfer tulisan hanja, agama Buddha, kemampuan membuat tembikar, upacara penguburan dan berbagai bentuk kebudayaan lain kepada Jepang melalui bangsawan, seniman, ahli, dan pendeta Buddhanya. .[1]

Periode Ungjin

Ibukota Baekje pindah ke Ungjin (sekarang Gongju) dari tahun 475-538. Hal ini disebabkan perang dengan Goguryeo yang menyebabkan Wiryeseong jatuh ke tangan Goguryeo . Nihon Shoki menyebutkan bahwa Ungjin diberikan oleh kaisar Jepang kepada Raja Munju, yang menunjukkan bahwa wilayah ini dikuasai oleh Jepang (terletak di Korea). Ungjin terletak di dalam wilayah pegunungan, sehingga terisolasi dari dunia luar. Pada periode ini Baekje membentuk aliansi bersama Silla untuk melawan Goguryeo.

Periode Sabi

Periode Sabi berlangsung dari tahun 538-660, saat tahun 538 Raja Seong memindahkan lagi ibukota ke Sabi (saat ini kabupaten Buyo). Masa ini Baekje berkembang pesat, dan secara resmi nama lainnya adalah Nambuyo (Buyo Selatan), yang diambil dari Kerajaan Buyo, asal muasal dari Baekje.

Raja Seong mempererat hubungan dengan Tiongkok dalam bidang perdagangan dan diplomasi selama abad ke-6 dan ke-7. Sementara itu, hubungan dengan Silla semakin merenggang.

Kejatuhan dan Pergerakan Kebangkitan

Pada than 660, tentara aliansi Silla dan Dinasti Tang menyerang Baekje. Kota Sabi jatuh ke tangan Silla, sementara Raja Uija dan putranya diasingkan ke Tiongkok. Beberapa anggota kerajaan lain melarikan diri ke Jepang. Sisa-sisa warga Baekje berupaya mengadakan pergerakan kebangkitan di dalam kekuasaan aliansi Silla dan Tang yang memiliki tentara mencapai 130.000 orang. Jenderal Boksin menunjuk pangeran Buyo Pung (putra Raja Uija yang selamat) sebagai raja baru Baekje. Baekje meminta pertolongan pada Pangeran Naka no Ōe (yang nanti menjadi Kaisar Tenji) dari Jepang. Pangeran Naka no Ōe mengirimkan Abe no Hirafu, seorang gubernur propinsi Koshi ke Baekje.

Pada tahun 663, sisa-sisa tentara Baekje bergabung dengan tentara Jepang dalam pertempuran di atas air melawan Silla dalam Perang Baekgang. Tang juga mengirimkan 7000 tentara dan 170 kapal perang. Baekje menderita kekalahan setelah terjadi 5 kali pertempuran di sungai Geum selama bulan Agustus tahun 663.

Struktur Sosial dan Politik

Raja Goi pertama kali menerapkan sistem patrilineal yang melestarikan suksesi kerajaan.

Pada awal periode Baekje, Hae dan Jin adalah dua klan yang berpengaruh, sebagian besar ratu berasal dari kedua klan ini dan suksesi ini berlangsung dalam waktu yang lama. Kemungkinan besar klan Hae adalah klan yang menguasai tampuk kerajaan sebelum digantikan oleh klan Buyo. Kedua klan ini kemungkinan juga berasal dari Kerajaan Buyo di utara. Klan Hae dan Buyo bersama 7 klan yaitu Sa, Yeon, Hyeop, Jin, Guk, Mok, dan Baek adalah klan-klan kuat di masa Sabi.

Pegawai kantor kerajaan dibagi ke dalam 16 ranking, 6 orang anggota pertama dari ranking membentuk sebuah kabinet, dengan pemimpin dipilih setiap 6 tahun sekali. Dalam ranking Sol, pegawai pertama (Jwapyeong) sampai ke-6 (Naesol) bertanggung jawab dalam urusan politik, adminstrasi, dan militer. Dalam tingkat Deok, pegawai ke-7 (Jangdeok) sampai ke-11 (Daedeok) mungkin ditugaskan dalam banyak bidang, sedangkan tingkatan Mundok, Mudok, Jwagun, Jinmu dan Geuku bertanggung jawab sebagai administrator kemiliteran.

Bahasa dan Kebudayaan

Baekje didirikan oleh imigran dari Goguryeo yang berbicara bahasa Buyo, yang masih berhubungan dengan bahasa kerajaan Gojoseon dan Kerajaan Buyeo. Sedangkan rakyat Samhan (yang pernah menguasai Baekje) kemungkinan berbicara dalam bahasa yang sama namun mempunyai dialek atau variasi bahasa berbeda dengan bahasa Buyo, karena nenek moyangnya berasal dari tempat yang sama, namun orang Samhan sudah datang ke selatan terlebih dahulu.

Seniman Baekje mengadopsi budaya Tionghoa dan menyesuaikannya menjadi tradisi yang unik. Hasil karya seni Baekje sangat dipengaruhi oleh agama Buddha. Keindahan seni Baekje terlukis dalam Senyum Baekje yang terdapat pada banyak karya seni dan patung Buddha. Pada masa Sabi di tahun 541, banyak seniman dari Tiongkok (Dinasti Liang) dikirim ke Baekje, sehingga semakin memperluas pengaruh Tiongkok pada kebudayaan Korea. Namun, pengaruh asli Baekje tidak hilang begitu saja. Makam raja Muryeong (berkuasa 501-523) walaupun dimodelkan dari Tiongkok namun tidak menghilangkan tradisi asli Baekje. Dalam makam tersebut ditemukan ornamen khas Baekje seperti mahkota, ikat pinggang emas, dan giwang emas. Karya seni khas Baekje yang lain adalah desain genting batu bebentuk lotus, pola batu bata yang menjalin, lekukan dalam gaya keramik, bentuk epitaph yang elegan, ukiran-ukiran Buddha, pagoda, pembakar dupa dan sebagainya.

Sedikit yang diketahui mengenai musik Baekje, namun, musisi-musisinya pernah dikirim ke Tiongkok pada abad ke-7 untuk belajar.

Hubungan dengan Tiongkok

Pada tahun 372, Raja Geunchogo membayar upeti kepada Dinasti Jin di Tiongkok yang terletak di lembah sungai Yangtze. Setelah kejatuhan Jin dan berdirinya Dinasti Song pada tahun 420, Baekje kembali mengirimkan utusan untuk berdagang barang-barang kultural dan teknologi Tiongkok.

Baekje mengirimkan utusan ke Wei Utara pada tahun 472 untuk pertama kalinya, dan Raja Gaero meminta bantuan militer guna melawan Goguryeo. Raja Muryeong dan putranya, Raja Seong juga mengirimkan utusan-utusannya ke Dinasti Liang beberapa kali guna menerima gelar kehormatan.

Dalam pengaruh budaya, makam Raja Muryeong dibuat berdasarkan gaya makam Liang.

Peran Baekje di daratan Tiongkok

Walau kontroversial, beberapa teks kuno Tiongkok dan Korea menunjukkan bahwa wilayah teritori Baekje juga mencakup bagian-bagian dari daratan Tiongkok.[2][3][4][5]

Menurut teks Tiongkok, Kitab Song,“Goguryeo menduduki Liaodong dan Baekje menduduki wilayah Liaoxi (kini Tangshan, Hebei); daerah yang dikuasai Baekje bernama Ditrik Jinping, Propinsi Jinping.”[6] Menurut Kitab Jin mengenai Murong Huang, menyebutkan bahwa aliansi Goguryeo, Baekje dan Xianbei melakukan peperangan.[7] Babad Goryeo Samguk Sagi menyebutkan bahwa peperangan ini terjadi pada masa Raja Micheon dari Goguryeo (309-331).

Menurut Kitab Liang, “Pada masa Dinasti Jin (265-420), Goguryeo menduduki Liaodong, dan Baekje menduduki Liaoxi dan Jinping, mendirikan propinsi-propinsi Baekje.”[8]

Kitab Zizhi Tongjian, yang ditulis Sima Guang (1019-1086) dari Dinasti Song (960-1279), menyebutkan bahwa tahun 346, Baekje menyerang negeri Buyeo, yang berada di Lushan, dan menyebabkan penduduk negeri itu mengungsi ke sebelah barat negeri Yan.[9] Tahun itu merupakan masa pemerintahan Raja Geunchogo (346-375).

Penjelasan yang sama dari Kitab Qi dan Zizhi Tongjian, menyebutkan bahwa Dinasti Wei Utara (386-534) menyerang Baekje dengan 100 ribu orang tentara pada tahun 488, namun dapat dipatahkan oleh Baekje. Catatan ini juga dijelaskan di Samguk-sagi, yaitu terjadi pada masa Raja Dongseong (tahun 488).[10] Karena tidak mungkinnya pasukan Wei melakukan serangan ke Baekje tanpa melewati wilayah Goguryeo (semasa Raja Jangsu) di semenanjung Korea bagian utara, kemungkinan perang tersebut terjadi di wilayah Baekje di daratan Tiongkok (Liaoxi).

Kitab Qi juga menyebutkan pada tahun 495, pemimpin Baekje, Raja Dongseong meminta gelar kehormatan untuk para jenderal yang berjasa menumpas serangan Wei kepada Dinasti Qi Selatan. Qi Selatan memberi gelar sesuai dengan daerah-daerah di propinsi Baekje, seperti Guangling, Qinghe, Chengyang, dan lainnya.[11]

Bagian Teritori dari teks Mǎnzhōu Yuánliú Kǎo (满洲源流考, "Pertimbangan Asal Manchu") juga menyebutkan tentang wilayah teritori Baekje, dengan jelas menuliskan bagian dari Liaoxi:[12]

Perbatasan dari Baekje dimulai dari Guangning dan Jiyi (kini) di wilayah barat laut dan melintasi laut di arah timur sampai wilayah Joseon yakni Hwanghae, Chungcheong, Jeolla dan sebagainya. Dari timur ke barat, teritori Baekje sempit, panjang dari utara ke selatan. Lalu jika seseorang melihat dari wilayah Baekje, dari Liucheng dan Beiping, Silla terletak di sebelah tenggara Baekje, namun jika seseorang melihat dari Gyeongsang dan Ungjin di Baekje, Silla terletak di timur lautnya. Wilayah Baekje juga berbatasan dengan wilayah Mohe di utara. Ibukotanya memiliki 2 kastil di 2 wilayah berbeda di barat dan timur. Kedua kastil disebut “Goma.” Kitab Song menyebutkab bahwa wilayah Baekje di Tiongkok dinamakan distrik Jinping dari Propinsi Jinping. Tong-gao menyebutkan bahwa propinsi Jinping terletak di antara Liucheng dan Beiping pada masa Dinasti Tang.[13]

Maka, salah satu ibukota Baekje terletak di Liaoxi dan satunya berada di semenanjung Korea. Barulah pada masa Kaisar Wu dari Liang, Baekje memindahkan ibukotanya ke semenanjung Korea.

Baik Kitab Sejarah Lama dan Baru Dinasti Tang menyebutkan bahwa wilayah kekuasaan Baekje lama telah diserap oleh Silla dan Balhae.[14] Jika wilayah Baekje hanya terbatas pada barat laut semenanjung Korea saja, maka tidak mungkin bagi Balhae untuk menyerap wilayah-wilayah Baekje. Ilmuwan ternama Silla Choi Chi-won (857-?) menuliskan bahwa “Goguryeo dan Baekje pada masa keemasannya memiliki militer yang sangat kuat yang mencapai satu juta orang, dan menginvasi negeri Wu dan Yue di selatan dan negeri You, Yan, Qi, dan Lu di sebelah utara daratan Tiongkok, membuat gangguan besar bagi dinasti-dinasti Negeri Tengah (Tiongkok).”[15]

Berdasarkan catatan-catatan sejarah ini, Baekje kemungkinan memiliki wilayah Liaoxi lebih dari 100 tahun lamanya.

Hubungan dengan Jepang

Bantuan militer

Karena berkonflik dengan Goguryeo dan Silla, Baekje (diterjemahkan Kudara dalam bahasa Jepang) menjalin hubungan yang dekat dengan Jepang. Menurut babad Korea Samguk Sagi, Baekje dan Silla mengirimkan pangeran mereka ke Wa (Jepang) sebagai sandera.[16] Sebagai balasannya, Jepang memberi bantuan militer.[17]

Samguk Sagi dan Samguk Yusa menjelaskan bahwa beberapa keturunan keluarga kerajaan dan bangsawan Baekje sangat dihormati istana kekaisaran Jepang. Yamato mendapat pengaruh kuat dari Baekje dan menjalin hubungan baik dengan daratan Korea, seperti pada masa Kaisar Yomei, ketika didirikannya kuil Buddha Horyuji, sehingga Buddhisme dari Korea perlahan mengalir ke Jepang. Diketahui juga bahwa Raja Muryeong dari Baekje, raja ke-25, ternyata dilahirkan di Jepang.

Teks sejarah Tiongkok Kitab Sui dari Dinasti Sui menyebutkan bahwa Baekje mendapat bantuan militer dari Jepang pada perjanjian sungai Baekchon.[18]

Babad Nihon Shoki yang kontroversial menyebutkan bahwa Maharani Jingu menerima upeti dan membangun aliansi dengan raja-raja Baekje, Silla, dan Goguryeo. Lebih jauh, Nihon Shoki juga menuliskan bahwa Konfederasi Gaya adalah permukiman Yamato. Tidak satupun catatan sejarah Korea atau Tiongkok yang pernah menyebutkan bahwa Yamato pernah menduduki Korea.

Nihon Shoki memberi detil tentang tanggal invasi Silla ke Baekje pada akhir abad ke-4. Namun, pada waktu ini Jepang adalah negeri konfederasi dari penguasa-penguasa lokal, sementara itu Tiga Kerajaan Korea sudah secara penuh berdiri. Rasanya sangat tidak mungkin bahwa negeri yang baru berkembang seperti Yamato dapat menerima upeti dan memiliki kekuasaan di atas Baekje, yang diketahui sangat mempengaruhi mereka, apalagi Goguryeo, kekuatan terbesar saat itu. Nihon Shoki dianggap sebagai sumber informasi yang tidak dapat dipercaya karena penuh dengan pernyataan dugaan dan cerita legenda.[19]

Beberapa sejarawan Jepang menerjemahkan Prasasti Gwanggaeto yang bertarikh tahun 414 Masehi yang didirikan Raja Jangsu dari Goguryeo, sebagai penjelasan dari invasi Jepang pada bagian selatan semenanjung Korea. Yang lain mengklaim bahwa prasasti itu telah dimodifikasi dan bahwa tulisan mengenai kehadiran Jepang di daratan Asia telah ditambahkan oleh tentara Jepang yang menemukan prasasti kuno itu pada tahun 1910, bersamaan dengan dimulainya penjajahan Korea oleh Jepang. Beberapa sejarawan RRT dan Jepang yang mempelajarinya, tidak dapat percaya informasi yang tertulis di prasasti, akibat kerusakan yang disengajakan. [20][21]

Kejatuhan dan pengungsian ke Jepang

Beberapa anggota kerajaan dan bangsawan Baekje sudah tinggal di Jepang bahkan sebelum kerajaan tersebut mengalami kejatuhan tahun 660. Anggota keluarga kerajaan terdahulu pada awalnya dianggap sebagai“tamu asing” (蕃客) dan tidak diizinkan memasuki sistem politik kekaisaran selama beberapa waktu.

Atas respon dari permintaan Baekje, pada tahun 663, Jepang mengirimkan jenderal Abe no Hirafu bersama pangeran Buyeo Pung (Jepang: Hōshō), seorang putra Raja Uija yang tinggal di Jepang dan 20 ribu orang pasukan dan seribu buah kapal untuk membantu memulihkan Baekje.

Usaha ini gagal dalam Pertempuran Baekgang, dan pangeran Buyeo Pung melarikan diri ke Goguryeo. Berdasarkan Nihon Shoki, 400 buah kapal Jepang hancur dan hanya setengah dari pasukan yang kembali ke Jepang.

Kembalinya para pasukan Jepang diikuti banyak pengungsi dari Baekje. Adik laki-laki Buyeo Pung, Sun-gwang (Jepang; Zenkō) menggunakan nama keluarga Kudara no Konikishi ("Raja Baekje";百濟王) yang diberikan oleh Kaisar Kammu. Keturunan kerajaan Baekje di Jepang disebut keluarga/klan Kudara. Menurut kitab Shoku Nihongi, ibunda dari Kaisar Kammu, Takano no Niigasa (高野新笠, ?–790), adalah keturunan langsung Raja Muryeong dari Baekje. Kaisar Kammu menganggap klan Kudara no Konikishi sebagai “kerabat dari pernikahan.”

Banyak klan di Jepang yang merupakan keturunan dari keluarga kerajaan Baekje seperti klan Ouchi, klan Sue, dan sebagainya.

Warisan

Baekje bangkit lagi pada periode Tiga Kerajaan Korea Zaman Akhir, saat Silla Bersatu jatuh. Pada tahun 892, jenderal Gyeon Hwon mendirikan Hubaekje (“Baekje Selanjutnya”), Wansan (dekat Jeonju). Hubaekje digulingkan pada tahun 936 oleh Taejo dari Goryeo.

Pada masa sekarang, warisan Baekje dapat ditemukan di daerah barat laut semenanjung Korea, khususnya meliputi propinsi Chungcheong Selatan dan Jeolla. Berbagai karya budaya Baekje yang berharga sampai sekarang masih dipelihara antara lain pembakar dupa, kuil-kuil Buddha, patung dan ukiran Buddha, mahkota, perhiasan dan sebagainya. Beberapa harta nasional Jepang yang ditemukan di kuil-kuil Buddha dan museum-museum Jepang adalah warisan karya seni dari Baekje.

Referensi

  1. ^ "Korean Buddhism Basis of Japanese Buddhism," Seoul Times, June 18, 2006; "Buddhist Art of Korea & Japan," Asia Society Museum; "Kanji," JapanGuide.com; "Pottery," MSN Encarta; "History of Japan," JapanVisitor.com.
  2. ^ http://gias.snu.ac.kr/wthong/publication/paekche/eng/hi3-7.pdf Hong, Wontak, Paekche of Korea and the Origin of Yamato Japan, Myongwhasa (1994)
  3. ^ 송, 종성 (2002). 가야 백제 그리고 일본 (Gaya baekje geurigo ilbon; Gaya, Baekje and Japan). 서울: 서림재. ISBN 89-85290-12-6. 
  4. ^ 姜銓薰, 백제 대륙진출설의 제문제 (The Problem of Controlling Continent by Baekje), 韓國古代史論叢, 4, 392-450 (1992)
  5. ^ 이명규, 百濟의 中國大陸에서의 商業的 軍事的 活動 背景과 性格 (The Background and Features of Economical and Military Activities by Baekje in the Current Chinese Land), Master Thesis, Department of History, Seoul National University (1981)
  6. ^ 宋書 列傳 夷蠻 東夷 百濟國 高麗略有遼東 百濟略有遼西 百濟所治 謂之晋平郡晋平縣
  7. ^ 三國史記 高句麗本紀 美川王 十四年 侵樂浪郡 十五年...南侵帶方郡 二十年 我及殷氏宇文氏 使共攻慕容廆 二十一年...遣兵寇遼東 晋書卷一百九 載記第九 慕容皝 句麗百濟及宇文殷部之人 皆兵勢所徙
  8. ^ 梁書 列傳 東夷 百濟 晋世句麗旣略有遼東 百濟亦據有遼西 晋平二郡地矣 自置百濟郡
  9. ^ 資治通鑑 晋紀 穆帝 永和二年 春正月...初 夫餘居于鹿山 爲百濟所侵 部落衰散 西徙近燕 而不設備 燕王皝 遣世子儁 帥慕容軍 慕容恪 慕容根三將軍 萬七千騎 襲夫餘 (二: 326)
  10. ^ 資治通鑑 齊紀 武帝永明六年十二月 魏遣兵擊百濟 爲百濟所敗...晉世句麗略有遼東百濟亦據有遼西晉平二郡也 (二: 1159)
    南齊書 列傳 東夷 百濟國 魏虜又發騎數十萬攻百濟入其界 牟大遣將...率衆襲擊虜軍 大破之 建武二年 牟大遣使上表曰...臣遣...等領軍逆討 三國史記 百濟本紀 東城王 十年 魏遣兵來伐 爲我所敗
  11. ^ 南齊書 百濟國 . . .牟大又表曰 臣所遣行…廣陽太守…廣陵太守 淸河太守 … 詔可…除太守 … 城陽太守 … 詔可 竝賜軍號
  12. ^ 欽定滿洲源流考 卷九 疆域二 百濟諸城 … 謹案 … 百濟之境 西北自今廣甯錦義 南踰海 蓋 東極 朝鮮之黃海忠淸全羅等道 東西狹而南北長 自柳城北平計 之則 新羅在其東南 自慶尙熊津 計之則 新羅在其東北 其北亦與 勿吉爲隣也 王都有東西兩城 號 固麻城 亦曰居拔城 以滿洲語考 之 固麻爲格們之轉音 居拔蓋滿 洲語之卓巴言 二處也 二城皆王 都 故皆以固麻名之 宋書言百濟 所治謂之 晉平郡晉平縣 通考云 在唐柳城北平之間則國都在遼西 而朝鮮全州境內又有俱拔故城殆 梁天監時[502-19] 遷居南韓之 城 歟唐顯慶中[656-60]分爲 五都督府曰 … 東明爲百濟之祖 自槀離渡河以之名地當與槀離國 相近考 遼史 槀離爲鳳州韓州 皆在今開原境則東明都督府之設 亦應與開原相邇矣 … 唐書又言 後爲新羅渤海靺鞨所分百濟遂絶
    金史 地理上 廣寧府本遼顯州 … 廣寧有遼世宗顯陵
    遼史 地理志二 東京道 顯州 … 奉顯陵…置醫巫閭山絶頂築堂曰望海…穆宗葬世宗於顯陵西山…有十三山
    欽定滿洲源流考 卷十四 山川一
    元一統志 十三山在廣寧府南一 百十里 … 在今錦縣東七十五里 卷十五 山川二 … 明統志 大凌河源出大甯自義州西六十里入境南流經廣寧左右屯衛入海
    欽定滿洲源流考 卷十一 疆域四 遼東北地界 遼史 顯州 … 本漢無盧縣卽醫巫閭 … 自錦州八十里至… 元一統志 乾州故城在廣甯府西南七里
  13. ^ 欽定 滿洲源流考 卷三 部族 百濟 … 通典 [卷一百八十五 邊方典一]… 晋時句麗旣略有遼東 百濟亦略有遼西晋平 唐柳城北平之閒 … 元史 … 唐柳城北平之間實今錦州
  14. ^ 舊唐書 列傳 東夷 百濟 … 其地自此爲新羅及渤海靺鞨所分百濟之種遂絶
    新唐書 列傳 東夷 百濟 … 而其地已新羅及 渤海靺鞨所分 百濟遂絶
  15. ^ 三國史記 下 卷第四十六 列傳 第六 崔致遠 ...高麗百濟全盛之時 强兵百萬 南侵吳越 北撓幽燕齊魯 爲中國巨蠹
  16. ^ Samguk Sagi (dalam bahasa Korean). 六年 夏五月 王與倭國結好 以太子腆支爲質 
  17. ^ Delmer M. Brown (ed.), ed. (1993). The Cambridge History of Japan. Cambridge University Press. hlm. 140–141. 
  18. ^ Chinese History Record Book of Sui : 隋書 東夷伝 第81巻列伝46 : 新羅、百濟皆以倭為大國,多珍物,並敬仰之,恆通使往來 [1][2]
  19. ^ Lee, Hui Jin: 거짓과 오만의 역사, Random house Joongang,2001. ISBN 89-8457-059-1
  20. ^ Takeda, Yukio. "Studies on the King Gwanggaeto Inscription and Their Basis". Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko. 47(1989):57-87.
  21. ^ Xu, Jianxin. 好太王碑拓本の研究 (An Investigation of Rubbings from the Stele of Haotai Wang). 東京堂出版 (Tokyodo Shuppan), 2006. ISBN 978-4-490-20569-5.

Lihat pula

Pranala luar