Lompat ke isi

Penggunaan istilah Cina, China, dan Tiongkok

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 25 Desember 2010 07.43 oleh Aldo samulo (bicara | kontrib) (←Membatalkan revisi 3884769 oleh Ardian c (Bicara))

Penggunaan istilah Cina, China, dan Tiongkok adalah kontroversi pilihan penggunaan istilah ini secara resmi dan benar politis (Politically Correct) dan ditinjau dari tata cara penggunaan bahasa serta hukum di Indonesia.

Sejarah

Cina

Istilah Cina berasal dari nama Ahala Qin (baca Ch'in), dinasti 'Chin' (abad 3SM) dinasti pertama yang mempersatukan seluruh daratan Tiongkok di bawah sebuah pemerintahan pusat yang sangat kuat dan besar pengaruhnya. Walaupun masa pemerintahan dinasti itu tidak lama (sekitar 225 SM sampai 210 SM), dinasti ini mendirikan kerajaan pertama dan merintis bentuk kerajaan yang berjalan terus selama lebih dari 2000 tahun sampai revolusi republik pada tahun 1913.

Menurut hasil riset Leo Suryadinata, telah digunakan sejak awal abad-17. Teks-teks semi klasik di Cina sendiri sempat menggunakan istilah Zhina [1]

Kekaisaran Chin terkenal karena di bawah kaisar pertamanya Shih Huang Ti (penulisan Kaisar Qin) dibangun pemerintahan terpusat dalam bentuk kekaisaran, dan selama pemerintahannya dilakukan pembakuan ukuran dan berat, ketepatan, dan sistem penulisan. Kaisar itu memerintahkan pembangunan tembok besar sepanjang 2400 KM untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa Barbar. Bangga akan dinasti 'Chin' yang menjadi tonggak sejarah pendirian Imperium pertama, Tembok Raksasa Cina, rintisan tulisan Chin, serta keteraturan dan ketertiban pemerintahan, orang-orang yang tinggal di negeri itu menyebut diri mereka sebagai 'orang-orang (dari negeri) Chin,' sehingga ketika terjadi perjumpaan dengan negara-negara Barat, negara itu disebut sebagai China dan orangnya disebut Chinese.

Sekitar abad ke-7 bangsa perantau ini masuk ke Indonesia sedini abad ke-7, orang Inggris menyebutnya sebagai chinese overseas dan di Indonesia disebut sebagai 'cina perantauan', kemudian masuk ke segenap pelosok tanah air, dan sejak abad ke-11, ratusan ribu bangsa 'chin' ini memasuki kawasan Indonesia terutama dipesisir utara Pulau Jawa, pesisir selatan dan timur Sumatera, serta Barat Kalimantan.

Para perantau yang disebut "Cina baru" atau "singkeh" ini berasal dari keluarga-keluarga miskin yang terpaksa hidup jauh dari tanah kelahiran. Pola hidup mereka sangat sederhana, hidup sangat hemat, cenderung kikir.Hal itu yang sampai saat ini masih sering dijadikan mitos atau stereotipe orang Cina pelit dan egois. Perantau ini kemudian membawa keluarga mereka itu kemudian membentuk koloni 'kampung cina' atau 'pecinan'. Sejak itu istilah 'cina' menjadi populer misalnya untuk menyebut makanan seperti dodol cina, petai cina, juga untuk menyebut tempat seperti bidara cina, dan di banyak kota dimana banyak orang cina tinggal kemudian disebut sebagai 'pecinan'. Dalam perbauran dengan budaya lokal dikenal wayang 'Po Te Hi' dimana salah satu tokohnya disebut sebagai 'Puteri Cina' [2].

Istilah yang digunakan untuk Cina dalam berbagai bahasa dunia

Kekuasaan Kaisar Qin dan kerajaannya telah memunculkan istilah-istilah yang berasal dari nama dinasti itu.

  • Orang Rusia memakai istilah "Kitai"
  • Orang Arab mengatakan "Shin", yang hingga kini masih sering dikutip sabda Nabi Muhammad SAW

    Uthlubul ‘ilma walaw bishshiin

Yang dalam bahasa Indonesia dikutip menjadi

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina

  • Kata yang mengacu ke Cina dalam Bahasa Jepang modern kini adalah "Zugoku", yang mirip bunyi dan artnya dengan "Zhonnguo" atau Tiongkok. Istilah Tionghoa berasal dari kata Zhonghua yang sebelum akhir abad ke-19 di Cina sendiri istilah itu belum begitu umum dipakai.
  • Dalam bahasa Jawa digunakan "Cino" atau "Cinten" dan "Wong Cino" (merujuk pada orangnya) dalam pemakaian umum tanpa ada maksud menghina [3][4]
  • Di Indonesia istilah Cina telah digunakan secara umum semenjak kedatangan pertama orang Cina hingga sekarang.

Keberatan akan istilah Cina di Indonesia

Kelaliman Dinasti dan Kaisar Qin

Kaisar Qin juga dikenal sangat kejam, ia pemeluk aliran Legalis (Fajia) yang ajarannya sangat berlawanan dengan ajaran Kong Hu Cu (Konfusius). Atas perintahnya dilakukan pembakaran atas buku-buku ajaran Kong Hu Cu dan memerintahkan hukuman dikubur hidup-hidup terhadap 500 sarjana Konfusianis. Akibat dari tindakan brutal Kaisar Qin itu, beberapa orang Cina lebih suka menyebut diri mereka dengan kata "Tangren" yang kurang lebih berarti "keturunan Ahala Tang" salah satu dinasti yang meninggalkan zaman keemasan terutama dalam kesenian dan kesusastraan dalam sejarah Cina. Di kalangan etnis Cina di Indonesia, terutama yang berasal dari Propinsi Fujian (Hokkian), sebutan itu menjadi "Tenglang".

Penjajahan

Di Cina

Pada tahun 1850 di Cina terjadi pemberontakan 'Taiping' (1850) dan Boxer (1900) yang merintis revolusi di tahun 1913. Ini mengakibatkan sikap antipati yang besar kepada bangsa Barat, sehingga dengan meningkatnya harga diri bangsa ini, mereka kemudian menolak sebutan China dan kembali pada premordialisme kebangsaan dan menyebut negeri mereka sebagai 'Chung-Kuo' atau 'Negara Tengah/Pusat'

Pada Restorasi Meiji 1868, Jepang muncul sebagai salah satu adikuasa. Para pemimpin Jepang menjelang abad ke-20 sadar akan akar kebudayaan mereka yang berasal dari tanah Tiongkok, namun di sisi lain mereka melihat akan kebobrokan masyarakat dan pemerintahan Cina masa itu yang tengah berada di bawah penjajahan bangsa asing. Atas dasar itu, Cina dan bangsa Cina harus diselamatkan dari jurang penghinaan itu dengan cara mengenyahkan penjajah Barat. Penyerbuan Jepang atas Cina yang terjadi beberapa kali sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 adalah didasari pada 'tugas suci' itu. Misi penyelamatan ini lalu berubah menjadi kolonialisme dan imperialisme. Istilah "Shina" yang dipakai orang Jepang lalu digunakan untuk menghina.

Di Indonesia

Di Indonesia, bangsa dari negeri China yang sudah lebih dahulu menguasai perdagangan di Indonesia selama beberapa ratus tahun pun bentrok dengan pendatang baru bangsa Barat khususnya Belanda sehingga pada tahun 1740 di Batavia, kemudian disusul kota-kota lain, mereka memberontak terhadap dominasi VOC, akibatnya VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi kepada bangsa perantau ini berupa pemberian hak-hak istimewa, bahkan kemudian mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap setingkat lebih tinggi dari warga penduduk asli.

Status istimewa ini mengakibatkan pandangan buruk penduduk pribumi terhadap para perantau Cina. Pertama karena kolaborasi mereka dengan penjajah dan praktek dagang yang bercorak Quanxi (koneksi/kolusi) dan merugikan masyarakat pribumi, serta banyak perilaku mereka yang menunjukkan kesenangan akan judi dan sebagai pemadat.

Penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa

Sekitar akhir abad ke-19 diambilah jalan tengah penggunaan istilah Tiongkok yang diambil dari terjemahan Chung Kuo. Pada tahun 1901 didirikan organisasi Tiong Hoa Hwee Kwan terpengaruh gerakan pembaruan di daratan Tiongkok. Organisasi ini dipimpin oleh Kang Yu Wei, Liang Chi Chao, dan Phoa Keng Hek di Jakarta dengan tujuan antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Khonghucu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa. Penggunaan kata Tionghoa juga terpengaruh gerakan Dr Sun Yat Sen untuk meruntuhkan Dinasti Ching dan menggantinya dengan "Chung Hwa Ming Kuo" atau "Republik Tiongkok". Sejak saat itu mereka menyebut dirinya orang Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa, dan menolak disebut Cina.

Pada 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa "berutang budi" kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan pemimpin pergerakan tersebut, sepakat mengganti sebutan Cina dengan Tionghoa. Koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia Belanda dengan Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman. Dalam teks penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah Tionghoa, bukan Cina[5]. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru [6].

Sejak itu istilah "Tionghoa" dipakai bersama sebagai padanan istilah "Cina" yang sudah populer lebih dahulu.

Pada tahun 1948 dimasa pemerintahan Presiden Soekarno selepas kemerdekaan, Indonesia mengalami keadaan genting menyangkut keberadaan dan penamaan "Cina" dan "Tionghoa". Adanya pemberontakan PKI di Madiun disinyalir mendapat dukungan dari Partai Komunis di RRC, beberapa orang etnis Cina atau Tionghoapun mendukungnya. Akibatnya secara umum etnis Cina atau Tionghoa dicurigai secara politik.

Pelarangan penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa

Karena perkembangan politik yang kian pelik, munculah larangan tak resmi penggunaan istilah Tionghoa dikarenakan istilah ini digunakan oleh partai dan komunisme.[7]

Konflik yang menyangkut etnis Cina atau Tionghoa pun makin meruncing sehingga pada tahun 1957 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1959 yaitu larangan dagang bagi semua orang yang masih memiliki kewarganegaraan Cina di Daerah Tingkat II. Pada tahun 1959 orang Cina dipersilahkan memilih menjadi warga negara tanah leluhur (WNA) atau WNI. Konflik ini kemudian meluas dengan puncaknya peristiwa rasialisme pada 10 Mei 1963 di Bandung dan merambat ke beberapa kota lainnya. (Lihat pula SBKRI)

Terjadinya pemberontakan PKI (G30S PKI)di tahun 1965 dan kecurigaan akan dukungan RRC (yang kala itu disebut sebagai Republik Rakyat Tiongkok(RRT)) membuat pemerintahan orde baru pada tahun 1967 mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 (Wikisource) yang melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina dilakukan di Indonesia, pengubahan sebutan kata Tionghoa-Tiongkok kembali menggunakan kata Cina dan mengubah singkatan RRT menjadi RRC (Republik Rakyat Cina), serta Taiwan yang dengan nama Republik Cina (Republic of China). Tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967(Wikisource) [8] dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 [9] yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Bakinpun mengawasi gerak-gerik masyarakat Cina melalui sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) terpaut dengan masalah komunisme.

Pencabutan Inpres No.14 tahun 1967
  • Pada masa pemerintahan Presiden Abudrahman Wahid Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967 dicabut dengan Keppres 6 Tahun 2000 [10] namun surat edarannya tidak, hingga tahun 2004 etnis Tionghoa masih memperjuangkan dicabutnya surat edaran ini [11].

Kompromi diplomatik dan penggunaan di media

  • Pada awal 1990-an diadakan pertemuan antara Pemerintah RRC dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Saat perundingan ini terjadi untuk membuka kembali hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ada ganjalan dalam penyebutan nama negara. Pemerintah RI ingin mempertahankan sebutan Republik Rakyat Cina dan sebaliknya pemerintah RRT ingin menyebut dirinya Republik Rakyat Tiongkok. Setelah perundingan yang cukup alot, diambil jalan tengah dengan memperkenalkan penggunaan kata China (baca: Chai-na) dari bahasa Inggris. Kompromi diplomatik ini menyebabkan kekeliruan bahasa, dalam kosakata bahasa Indonesia pengucapan "China" mengikuti cara mengucapkannya tetap saja "c-i-n-a" sehingga sebutannya menjadi Republik Rakyat China (RRC). Pengucapan ini digunakan oleh Metro TV, stasiun TV nasional Indonesia, dengan pengucapan patuh keliru atau tidak taat azas bahasa. Penulisannya sendiri digunakan oleh surat kabar Kompas dan seluruh jajaran penerbitan Kompas-Gramedia sekitar tahun 2006. Ditahun yang sama Jawa Pos media yang sirkulasinya sebagian besar di Indonesia Timur menggunakan istilah Tionghoa dan Tiongkok [12]
  • Situs kedutaan besar RRC [13] menggunakan istilah "Tiongkok" namun tidak konsisten, contohnya dengan pengecualian penamaan "Laut China Selatan".
  • Istilah Cina sendiri telah digunakan untuk menamakan tempat, kutipan, nama ilmiah tanaman, judul-judul buku yang sudah beredar, dan kebudayaan. Contohnya "Pecinan", "pacar cina" (tumbuhan), "Lebaran Cina" (penamaan perayaan Imlek oleh masyarakat Betawi), "Laut Cina Selatan", atau "Geger Pacinan" (pemberontakan di Yogyakarta).
  • Perjanjian Kemitraan Strategis antara Indonesia-Cina secara resmi ditandatangani pada 25 April 2005 antara Presiden SBY dan Presiden Cina Hu Jin Tao pada [14][15] dan disebutkan pada pidato "50 Tahun Kerjasama Kebudayaan RI-RRT" yang diselenggarakan di Arena Pekan Raya Jakarta.

Referensi

Lihat pula