Lompat ke isi

Ushul Fikih

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 15 Oktober 2006 15.55 oleh Anjang (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Di masa Rasulullah S.A.W., para sahabat menerima dan mengambil hukum agama dari Beliau dengan mudah karena: (1) hukum di masa itu timbul sedikit demi sedikit, (2) mereka dapat memahami tujuan Nabi S.A.W. dari kata-kata, gerak-gerik, kelakuan dan isyarat Beliau, dan (3) mereka dapat langsung menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti. Dinamika kehidupan saat ini sering melahirkan persoalan-persoalan baru yang jika dinisbatkan dalam ajaran Islam maka setidaknya terdapat 2 kemungkinan jawaban: (1) persoalan tersebut ditemukan landasan syar’inya, kedudukan hukum dan jawaban yang demikian tegas, jelas dan eksplisit pada sumber-sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah; dan (2) tidak ditemukan jawaban yang eksplisit dan tegas, sehingga diperlukan sebuah proses untuk menjelaskan jawaban tersebut. Proses atau cara itulah yang dipelajari dalam Ushul Fiqh. Di sinilah letak pentingnya ilmu ini, bagi mereka yang ingin mengetahui, mengamalkan dan mendakwahkan hukum dari persoalan agama. Agama adalah segala sesuatu yang menjadi sebab diutusnya para Rasul. Dunia adalah segala sesuatu yang tidak menjadi sebab diutusnya para Rasul. Ibadah adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah sesuai ketentuan, yang terbagi menjadi ibadah secara luas dan ibadah secara khusus. Definisi ushul fiqh adalah ilmu untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali dari dalilnya yang tafshili dengan kaidah-kaidah ijtihadi [yang karenanya tidak ada di jaman Nabi S.A.W]. Ushul fiqh memiliki beberapa lapisan, yaitu: 1. dalil-dalil syar’iyyah, berisi petunjuk atau teks-teks dasar untuk pengambilan hukum agama. 2. kaidah-kaidah ushuliyyah, berisi rumusan cara mengeluarkan hukum agama dari dalil, atau dapat disebut sebagai uji teks secara bahasa. 3. kaidah-kaidah fiqhiyyah, berisi rumusan umum hukum-hukum furu’ (cabang) yang banyak jumlahnya dan serupa, atau dapat disebut sebagai generalisasi dari dalil/teks agama yang mirip sehingga membentuk suatu kaidah tersendiri. 4. pembentukan hukum, berisi proses pembentukan hukum agama itu sendiri yang harus memperhatikan tujuannya, hak Allah-hak manusia dan masalah yang boleh di-ijtihad-i. Fiqh berbeda dari syari’at. Syari’at adalah setiap hukum yang sudah jelas datangnya dari Allah dan Rasul-Nya sehingga tidak dapat diperdebatkan lagi. Sementara fiqh adalah rincian hukum di luar syari’at yang disusun olah para ulama sehingga dimungkinkan terdapat perbedaan pendapat dan perubahan-perubahan seiring waktu dan tempat. Yang dibicarakan dalam fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf [orang yang terbebani syariat] dari sudut hukum. Hasil pembicaraannya kembali kepada salah satu dari hukum taklifi yang lima [ahkamul-khamsah], yaitu: 1. Wajib/ijab/fardlu: yang dituntut syara’ untuk kita kerjakan dengan tuntutan yang keras dan dicela meninggalkannya. 2. Sunat/mandub/nadab/anjuran: yang dituntut syara’ untuk kita kerjakan dengan tuntutan yang tidak keras dan tidak dicela meninggalkannya. 3. Haram/tahrim: yang dituntut syara’ untuk kita tinggalkan dengan tuntutan yang keras dan dicela mengerjakannya. 4. Makruh/karahah: yang dituntut syara’ untuk kita tinggalkan dengan tuntutan yang tidak keras dan tidak dicela mengerjakannya. 5. Mubah/ibahah/membolehkan: yang dibolehkan syara’ untuk kita pilih antara mengerjakan dan meninggalkannya.