Lompat ke isi

Martin Heidegger

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 21 Oktober 2006 03.44 oleh MSBOT (bicara | kontrib) (robot Adding: uk)

Martin Heidegger (Messkirch, 26 September 188926 Mei 1976) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Ia mempengaruhi banyak filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri dan Karl Löwith. Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistentialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis, artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting dari Partai Nazi.

Masa kecil dan pendidikan

Heidegger dilahirkan di sebuah keluarga desa di Meßkirch, Jerman, dan diharapkan kelak menjadi seorang pendeta. Di masa remajanya, ia dipengaruhi oleh Aristoteles yang dikenalnya lewat teologi Kristen. Konsep tentang "mengada", dalam pengertian tradisional ini, yang berasal dari Plato, adalah perkenalan pertamanya dengan sebuah gagasan yang kelak ditanamkannya pada pusaat karyanya yang paling terkenal, Being and Time (bahasa Jerman: Sein und Zeit) (1927). Keluarganya tidak cukup kaya untuk mengirimnya ke universitas, dan ia membutuhkan bea siswa. Untuk maksud tersebut, ia harus belajar agama. Heidegger juga tertarik akan matematika. Ketika ia belajar sebagai mahasiswa, ia meninggalkan teologi dan beralih kepada filsafat, ketika ia menemukan sumber pendanaan lain untuk studinya. Ia menulis disertasi doktoralnya berdasarkan sebuah teks yang saat itu dianggap sebagai karya Duns Scotus, seorang pemikir etika dan keagamaan abad ke-14, namun belakangan orang menduga itu adalah karya Thomas dari Erfurt.

Heidegger mulanya adalah seorang fenomenolog. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswa Husserl dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "mengada" (atau apa artinya untuk berada). Karyanya yang terkenal Being and Time (Keberadaan dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang mengada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang mengada dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan keberadaan di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikatnya atau maknanya yang sesungguhnya, artinya, kemampuannya untuk kita pahami.

Demikianlah Heidegger memulai di mana "mengada" itu dimulai, yakni di dalam pemikiran Yunani kuno, membangkitkan kembali suatu masalah yang telah lenyap dan yang kuarng dihargai dalam filsafat masa kini. Upaya besar Heidegger adalah menangani kembali Plato dengan serius, dan pada saat yang sama menggoyahkan seluruh dunia Platonis dengan menantang isipati Platonisme - memperlakukan keberadaan bukan sebagai sesuatu yang nirwaktu dan transenden, melainkan sebagai yang imanen (selalu hadir) dalam waktu dan sejarah.


Karya

  • Sein und Zeit (1927)

"The most thought-provoking thing in our thought-provoking time is that we are still not thinking."
-What is Called Thinking?

Pranala luar