Lompat ke isi

Sinagoga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sinagoga di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Sinagoga Yaakov Ohel Synagog di Manado, Sulawesi Utara.

Sinagoge adalah nama tempat beribadah orang Yahudi.[1] Di dalam bahasa aslinya (bahasa Yunani: συναγωγή, synagogē), sinagoge memiliki arti berkumpul bersama.[1] Kata tersebut merupakan terjemahan dari kata Ibrani, eda, yang berarti jemaah, sehingga pengertian sinagoge yang sebenarnya bukanlah suatu tempat atau gedung tertentu melainkan persekutuan.[2] Sinagoge, bersama gerakan yudaisme rabinik, memiliki peran penting dalam membentuk pola keagamaan Yahudi hingga kini, khususnya setelah Bait Suci yang menjadi pusat peribadah umat Yahudi hancur pada tahun 70 M.[3] Selain itu, sinagoge juga diduga membawa pengaruh besar terhadap pola ibadah umat Kristen dan Islam melalui penggunaan gereja dan masjid.[3][4]


Asal Mula

Ada berbagai teori mengenai asal mula sinagoge, yakni sebagai berikut.[4]

Sejak Zaman Musa

Tradisi Yahudi menyebutkan akar sinagoge dimulai sejak zaman Musa, atau bahkan pada zaman para Patriarkh.[4] Flavius Yosefus dan Philo menyatakan bahwa sinagoge didirikan oleh Musa sebagai tempat orang-orang Yahudi mendengarkan Taurat seminggu sekali.[4] Targum Onkelos menyatakan Yakub sebagai pelayan sinagoge (Kejadian 25:27), sedangkan Targum Yonatan mengatakan bahwa Yitro mengajak Musa untuk mengajarkan umat Israel mengenai doa-doa yang harus diucapkan di dalam sinagoge-sinagoge mereka.[4] Kemudian Targum Tawarikh mengartikan bukit pengorbanan yang ada di Gibeon sebagai suatu sinagoge.[4]

Sejak Masa Reformasi Yosia

Ada teori dari Julian Morgenstern bahwa sinagoge mulai berdiri di Israel sebagai akibat dari Reformasi Yosia, yakni ketika mezbah-mezbah dan bukit-bukit pengorbanan dari tradisi religius non-Yahudi dihancurkan.[4] Menurut Morgenstern, kuil-kuil di pelosok Israel terus dipakai sebagai tempat pertemuan keagamaan pada hari Sabat dan pada saat perayaan-perayaan Yahudi.[4] Pendapat lain diberikan J. Weingreen yang menyanggah pendapat Morgenstern dengan alasan bahwa reformasi Yosia telah menghancurkan kuil-kuil di pelosok juga.[4] Menurutnya, Yosia mendirikan tempat-tempat lain sebagai ganti kuil-kuil tersebut untuk peribadahan rakyat.[4] Akan tetapi, teori Weingreen ini dipandang lemah sebab tidak memiliki bukti dari riwayat reformasi Yosia.[4]

Sebelum Pembuangan

R.W. Moss mengajukan pendapat bahwa sinagoge telah ada sebelum masa Pembuangan abad ke-6 SM.[4] Ia menyatakan bahwa pada mulanya sinagoge merupakan sekolah dan instansi pemerintahan setempat sebelum berkembang menjadi pusat ibadah pada masa Pembuangan.[4]

Sejak Zaman Makabe

Ada beberapa ahli yang menyatakan asal mula sinagoge pada zaman Makabe atau setelah penghambatan zaman Makabe.[4] Hal tersebut didasarkan pada bukti-bukti arkeologis yang menyatakan bahwa pada abad ke-3, sinagoge belum dikenal di Palestina.[4] Bukti arkeologis menyatakan sinagoge tertua yang peninggalannya ditemukan di Palestina berasal dari abad ke-1 M.[4] Akan tetapi, teori ini lemah sebab pemberontakan Makabe tampaknya berkaitan erat dengan sinagoge, yang mana dikatakan bahwa salinan-salinan Taurat direbut dan dibakar oleh musuh, sehingga membuktikan bahwa sinagoge telah ada sebelum pemberontakan Makabe.[4]

Pada Masa Pembuangan

Kebanyakan ahli mendukung pendapat bahwa sinagoge mula-mula berdiri di pembuangan di Babel yakni sejak abad ke-5 SM.[4][3][5] Argumentasi dari para ahli didasarkan pada jauhnya orang-orang Yahudi dari Bait Suci yang merupakan pusat ibadah mereka, padahal mereka perlu mempertahankan identitas iman mereka di Babel yang merupakan tempat asing.[4] Karena itu, orang-orang Yahudi mulai berkumpul di rumah-rumah mereka sendiri dan membahas Kitab Suci secara teratur, serta melakukan perayaan kurban dan perayaan lainnya di tempat-tempat tertentu.[4] Hal itulah yang akhirnya menjadi asal mula sinagoge.[4] Argumentasi ini didukung dengan kenyataan bahwa harapan untuk kembali ke tanah air Palestina masih terjaga di kalangan umat Yahudi walaupun telah hidup dalam pembuangan selama puluhan tahun.[4] Selain itu, Taurat masih dipertahankan penggunaannya, bahkan mendapat bentuknya yang semakin formal di masa Pembuangan tersebut.[4]


Perkembangan Sinagoge

Dengan melihat percakapan mengenai asal mula sinagoge, dapat disimpulkan bahwa sinagoge telah lama ada sebelum masa Perjanjian Baru.[4] Di dalam catatan Perjanjian Baru, sinagoge telah ada di mana-mana, baik di Palestina maupun di luar Palestina.[4] Di dalam bukti arkeologis lainnya, terdapat bukti adanya sinagoge di Mesir pada abad ke-3 SM, dan tentu saja bukan yang pertama didirikan di situ. [4]

Pada masa pasca-Pembuangan, institusi Bait Suci dikembangkan kembali dan menjadi pusat keagamaan orang-orang Yahudi.[1] Akan tetapi, peran sinagoge-sinagoge tetap penting sebagai tempat persekutuan orang-orang Yahudi di perantauan.[1] Karena itulah, orang-orang Yahudi di luar Palestina biasa mengumpulkan persembahan tahunan untuk mendukung peribadahan di Bait Suci, terlebih bagi mereka yang tidak dapat datang ke Bait Suci untuk mengikuti ritus tahunan.[1] Selain itu, sinagoge juga berperan untuk mempertahankan identitas Yahudi di perantauan melalui pembacaan Kitab Suci, doa-doa, dan perayaan hari besar Yahudi.[1]

Perkembangan sinagoge juga amat dipengaruhi oleh perkembangan kaum Farisi pada abad ke-2 SM.[4] Pada waktu itu, orang-orang yang dapat membaca serta menafsirkan Taurat adalah kaum Farisi, sehingga mereka berperan besar di dalam persekutuan-persekutuan lokal di kalangan rakyat Yahudi.[4] Hal yang sama terjadi ketika Bait Suci dihancurkan tahun 70 M dan umat Yahudi tersebar ke tempat-tempat lain.[4] Kelangsungan identitas Yahudi menjadi tergantung pada kaum Farisi, yang disebut juga rabi sebab hanya mereka yang dapat membaca dan menafsirkan Taurat.[4] Mereka berperan penting di dalam sinagoge-sinagoge lokal di tempat-tempat orang Yahudi tinggal.[4] Di masa itulah, studi terhadap Taurat, doa-doa, dan perbuatan baik menggantikan ritus Bait Suci dan persembahan kurban.[3] Peran penting sinagoge dan rabi masih berlangsung hingga masa kini.<re name="Hans"></ref>


Sepanjang sejarah Yahudi, sinagoge-sinagoge dibangun oleh bermacam-macam orang, seperti para orang-orang raya maupun kaum-kaum tertentu.[6] Misalnya, sinagoga-sinagoga Sephardi yang didirikan oleh kaum Sephardi yang mengungsi ke kota-kota besar, di mana sudah terdapat jemaah-jemaah Yahudi.[6] Umat Yahudi Eropa Timur dicirikan oleh adanya kloiz (harfiah, "tempat berkumpul") di mana jemaah yang seprofesi beribadah bersama-sama. Jadi, ada kloiz penjahit, kloiz pemikul air, dan seterusnya. [6] Satu kloiz yang sampai sekarang masih dilekati nama tersebut adalah Sinagoge Breslov di Uman, Ukraina, yang mengakomodasi ribuan jamaah pada acara Breslover tahunan Rosh Hashana kibbutz (pertemuan doa).[6] Sinagoge ini disebut "Kloiz Baru" untuk membedakannya dari "Kloiz Lama", yang dibangun oleh Nathan dari Breslov pada 1834.[6]


Fungsi Sinagoge

Pendidikan

Ada ahli yang berpendapat bahwa pendidikan keagamaan berupa pembacaan dan penafsiran Taurat merupakan fungsi utama dari sinagoge.[4] Diketahui bahwa di sinagoge, Taurat tidak hanya dibicarakan dan dibahas pada waktu kebaktian, tetapi juga di dalam kurikulum pendidikan sehari-hari.[4] Selain itu, pelajaran mengenai hal-hal umum juga diberikan di sinagoge.[2]

Sinagoge juga menjadi tempat bagi calon-calon anggota baru agama Yahudi yang berasal dari non-Yahudi.[7] Di dalam kitab-kitab Perjanjian Baru orang-orang seperti itu disebut dengan istilah "orang-orang yang takut akan Allah".[7] Karena itu, dapat disimpulkan bahwa sinagoge juga menjadi tempat pendidikan bagi calon-calon agama Yahudi, namun tentu saja ini tergantung situasi dan peraturan masing-masing sinagoge.[7]

Peribadahan

Ada pula ahli-ahli lain yang berpendapat bahwa fungsi utama sinagoge adalah dalam hal peribadahan.[2] Ibadah-ibadah dilangsungkan di situ pada hari Sabat dan hari-hari besar lainnya.[2] Pusat ibadah adalah pembacaan Taurat, dan seluruh desain dan suasana ruangannya diarahkan kepada pembacaan tersebut.[2] Selain itu, sinagoge juga berfungsi sebagai tempat doa pada jam-jam doa Yahudi, dan dengan berkiblat ke arah Yerusalem.[4]

Pertemuan-Pertemuan

Selain fungsi pendidikan dan peribadahan, sinagoge juga berfungsi sebagai tempat pertemuan-pertemuan masyarakat untuk membicarakan masalah-masalah sosial, politik, maupun keagamaan.[4] Karena itu, sinagoge juga dapat menjadi tempat pengadilan (bandingkan Matius 10:17 dan Kisah Para Rasul 26:11).[4]


Petugas Sinagoge

Arkôn

Arkôn adalah petugas utama di sinagoge yang menjadi kepala dan berperan penting di dalam semua kegiatan yang berlangsung.[2] Tugas utamanya adalah mengatur ketertiban sinagoge dan umat yang berkumpul di situ, serta mengawasi ibadah yang berlangsung.[4]

Khazzân

Khazzân adalah petugas yang bertanggung jawab atas tugas-tugas kasar hingga tugas pengawasan secara umum, termasuk juga melakukan tugas-tugas administratif.[4] Ia bertugas merawat gedung sinagoge, perabot-perabot, kitab-kitab sinagoge.[2] Ia juga yang berdiri di atas gedung sinagoge dan memproklamasikan mulainya hari Sabat dan masa-masa raya.[2]

Syelîakh Sibûr

Syelîakh Sibûr bertugas untuk mengucapkan doa di dalam ibadah.[4] Syarat-syarat seorang Syelîakh Sibûr adalah aktif, dewasa, kepala keluarga, tidak kaya, bukan pedagang, mempunyai suara nyaring, dan pandai mengajar.[4] Ada kemungkinan bahwa pada awalnya Syelîakh Sibûr bukanlah jabatan melainkan seorang yang dipanggil khusus untuk melakukan tugas-tugas tersebut.[4] Sering terjadi bahwa posisi ini dirangkap oleh Khazzân, sehingga akhirnya lambat laun kedua jabatan itu melebur menjadi satu sehingga istilah Khazzân dan Syelîakh Sibûr disamakan begitu saja.[4]


Peribadahan Sinagoge

Ibadah di dalam sinagoge memiliki unsur-unsur syema, doa, pembacaan Taurat dan kitab-kitab Nabi, dan pengucapan berkat.[4]

Syema

Syema merupakan suatu pengakuan iman orang Yahudi yang berisi keyakinan akan keesaan Tuhan (Ulangan 6:4-5).[4] Di dalam kitab-kitab Injil, Yesus mengutip syema untuk menjawab pertanyaan, "hukum manakah yang terutama di dalam Taurat?"[4]

Doa

Doa yang diucapkan dinamakan syemoneh ezreh atau delapan belas berkat. [4] Bentuknya yang definitif disusun pada tahun 110 M, namun beberapa kalimat permulaannya disusun setelah runtuhnya kota Yerusalem tahun 70 M.[4] Untuk mengucapkan doa, umat berdiri dan pada akhir doa mereka mengucapkan 'amin'.[4]

Pembacaan Taurat

Pembacaan Taurat mengikuti pola tertentu yang berlangsung selama tiga tahun sehingga setelah tiga tahun seluruh Taurat telah dibaca seluruhnya.[4] Pembacaan kitab-kitab Nabi ada, namun belum memiliki pola tertentu sehingga pemilihan bacaan diserahkan kepada yang bertugas membacanya.[4]

Di Palestina, pembacaan Taurat diikuti dengan penerjemahan teks bacaan tersebut ke dalam bahasa Aram.[2] Kemudian di dalam sinagoge-sinagoge di perantauan luar Palestina, pembacaan Taurat diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.[2] Orang yang menerjemahkan haruslah orang yang dianggap mampu sebab ada peraturan yang ketat mengenai akurasi teks-teks Kitab Suci.[2]

Uraian Nas Kitab Suci

Sesudah nas Kitab Suci dibacakan, kadang-kadang ada yang bertugas menguraikan isinya. Akan tetapi, uraian tersebut bukanlah merupakan bagian wajib dari ibadah.[4] Di dalam teks-teks Perjanjian Baru hal ini terlihat dari kisah di mana Yesus dan Paulus diundang untuk menguraikan Kitab Suci di sinagoge tertentu (Matius 4:13 3, 13-34, Kisah Para Rasul 13:15).[4]

Pengucapan Berkat

Ibadah ditutup oleh petugas yang mengucapkan berkat setelah diberi isyarat oleh Khazzân.[4] Ada yang menganggap bahwa tradisi tersebut berasal dari ritus Bait Suci.[4] Petugas berdiri menghadap umat, sedangkan umat berdiri dengan tangan terangkat setinggi bahu, sambil mengulangi, kata demi kata, apa yang diucapkan oleh petugas.[4]


Perempuan dalam Sinagoge

Mengenai peran perempuan di dalam sinagoge, masih terjadi perdebatan, termasuk mengenai peran perempuan di dalam ibadah.[2] Philo mencatat bahwa di sinagoge Aleksandria, perempuan dipisahkan dari laki-laki, dan menempati ruangan luar (serambi) sedangkan kaum laki-laki menempati ruang dalam.[2] Akan tetapi, melalui penemuan dua puluh inskripsi (tulisan yang terpahat pada batu) dari sinagoge Yahudi kuno, diketahui nama perempuan-perempuan yang menjadi anggota-anggota terkemuka serta pemimpin-pemimpin di komunitas-komunitas Yahudi.[1] Hal ini menunjukkan situasi sosial pada masa itu bahwa pada tempat dan waktu tertentu, perempuan juga dapat menempati posisi yang tinggi dalam kehidupan religius komunitas Yahudi.[1]


Referensi

  1. ^ a b c d e f g h (Inggris)Bart D. Ehrman. 2004. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. New York, Oxford: Oxford University Press. P. 41.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m S. Wismoady Wahono.1986. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  3. ^ a b c d (Inggris)Hans Küng. 1995. Judaism. London: SCM Press.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc (Indonesia)H. H. Rowley. Ibadat di Israel Kuna. 1981. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 164-187.
  5. ^ (Inggris)Norman K. Gottwald. 1985. The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction. Philadelphia: Fortress Press. P. 413, 427.
  6. ^ a b c d e Rosh Hashanah di Uman
  7. ^ a b c (Indonesia)Lawrence E. Toombs. 1978. Di Ambang Fajar Kekristenan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 54.

Templat:Link FA