Lompat ke isi

Materialisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Epikuros

Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi.[1] Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material.[1] Materi adalah satu-satunya substansi.[1] Sebagai teori, materialisme termasuk paham ontologi monistik.[1] Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme.[1] Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme.[2]

Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti : roh, hantu, setan dan malaikat.[2] Pelaku-pelaku immaterial tidak ada.[2] Tidak ada Allah atau dunia adikodrati/supranatural.[2] Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi.[2] Materi dan aktivitasnya bersifat abadi.[2] Tidak ada penggerak pertama atau sebab pertama.[2] Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal.[2] Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.[2]

Definisi Materialisme

Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme.[1] Materi dapat dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak.[3] Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra.[3] Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis.[3] Orang-orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata (harta,uang,dsb).[3]

Tokoh-tokoh dan Karya-karya Materialisme

Ludwig Feuerbach:Filsuf dari Jerman yang Mendukung Materialisme

Filsuf yang pertama kali memperkenalkan paham ini adalah Epikuros.[4] Ia merupakan salah satu filsuf terkemuka pada masa filsafat kuno.[4] Selain Epikuros, filsuf lain yang juga turut mengembangakan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus.[4] Pendapat mereka tentang materialisme, dapat kita samakan dengan materialisme yang berkembang di Prancis pada masa pencerahan.[4] Dua karangan karya La Mettrie yang cukup terkenal mewakili paham ini adalah L'homme machine (manusia mesin) dan L'homme plante (manusia tumbuhan).[4]

Dalam waktu yang sama, di tempat lain muncul seorang Baron von Holbach yang mengemukakan suatu materialisme ateisme.[4] Materialisme ateisme serupa dalam bentuk dan substansinya, yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak.[2] Jiwa sebetulnya sama dengan fungsi-fungsi otak.[4] Pada Abad 19, muncul filsuf-filsuf materialisme asal Jerman seperti Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel.[4][5] Merekalah yang kemudian meneruskan keberadaan materialisme.[4]

Ciri-ciri paham materialisme

Setidaknya ada 5 dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini:[2]

  • Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah).[2]
  • Tidak meyakini adanya alam ghaib.[2]
  • Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu.[2]
  • Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum.[2]
  • Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak.[2]

Kritik terhadap Materialisme

Salah satu kritik terhadap paham materialisme dikemukakan oleh aliran filsafat eksistensialisme.[2] Materialisme mengajarkan bahwa manusia pada akhirnya adalah thing, benda, sama seperti benda-benda lainnya.[2] Bukan berarti bahwa manusia sama dengan pohon, kerbau, atau meja, sebab manusia dipandang lebih unggul.[2] Akan tetapi, secara mendasar manusia dipandang hanya sebagai materi, yakni hasil dari proses-proses unsur kimia.[2] Filsafat eksistensialisme memberikan kritik terhadap pandangan seperti ini.[2] Cara pandang paham materialisme seperti ini mereduksi totalitas manusia.[2] Manusia dilihat hanya menurut hukum-hukum alam, kimia, dan biologi, sehingga seolah sama seperti hewan, tumbuhan, dan benda lain.[2] Padahal manusia memiliki kompleksitas dirinya yang tak dapat diukur, misalnya saja ketika berhadapan dengan momen-momen eksistensial seperti pengambilan keputusan, kecemasan, takut, dan sebagainya.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 593-600
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x N. Drijarkara. 1966. Pertjikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan Djakarta. Hal. 57-59.
  3. ^ a b c d Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2000. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 946.
  4. ^ a b c d e f g h i P. A. van der Weij. 1988. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 108-110.
  5. ^ Bryan Magee. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius. Hlm 135-136.