Lompat ke isi

Filsafat ketuhanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan iman dan akal budi, maka dipakai pendekatan yang disebut teologi filosofis.[1] Bagi orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Abrahamistik), maka akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.[1] Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para filsuf tentang Tuhan.[1] Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.[2]


Teisme

Teisme adalah paham yang mempercayai adanya Tuhan. Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos dan νόμος=hukum=aturan=paham, jadi sebuah aturan atau paham tentang Tuhan atau pengakuan adanya Tuhan.

Thomas Aquinas

Imanuel Kant

Hegel

Hegel juga disebut filsuf idealime Jerman.[3]

Schleiermacher (1768-1834)

Schleiermacher adalah penganut Kant, namun baginya Allah lebih baik tidak ditelusuri dengan metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi.[1] Baginya, Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni.[1] Istilah yang dipakai oleh Schleiermacher untuk Allah adalah "Sang Universum".[1] Jika Kant mengenal Allah sebagai pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, sebab Allah hanya pemberi ganjaran kepada orang yang baik dan penghukum orang yang kurang baik.[1] Sebab Allah, bagi Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran ia tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan agar ia sempurna, melainkan agar ia berikhtiar mencapai kesempurnaan itu.[1]

Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melalui kontemplasi dan perasaan.[1] "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya mengekspresikan diri dan tindakannya, agama ingin mendegarkan bisikan suara Sang Universum itu dengan khidmat,... Dalam kepasifan anak-anak, agama ingin ditangkap dan dipenuhi oleh daya pengaruhnya"[1] Agama adalah Sang Universum sendiri.[1] Sang Universum ditangkap dari alam dunia yang mamanifestasikannya.[1] Namun alam dunia bukanlah Sang Universum yang berdiri sendiri, namun tetap memanifestasikan alam.[1] Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Alam adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang lebih tinggi dan lebih baik adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun bereksistensi.[1] Dalam aktivitas umat manusia itulah Allah menyatakan diri, alam diresapi oleh Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka tugas agama adalah mencari menemukan Allah yang ada di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-pengalaman langsung untuk mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh, bukan berfilosofi.[1]

Descartes

Rene Descartes memikirkan Tuhan bermula dari prinsip utamanya yang merupakan “gabungan antara pietisme katolik dan saint.[4] Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan radikalnya, The Methode of Doubt , bahkan menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha Kuasa dalam bayangan kita juga bisa saja menipu, sebab kita yang membayangkan". [5] Dalam menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, dekat kota Ulm - Jerman, disebut sebagai “perjalanan menara”, kata lain dari meditasi yang dilakukan, dia menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618.[1]

Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada akhirnya berguna untuk menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Seharusnya manusia beriman dahulu sehingga pasti menemukan Allahnya.

Whitehead

Deisme

Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang artinya Allah.[3] Namun pandangan ini berbeda dengan teisme, sebab Allah dipercaya hanya pada waktu penciptaan, selanjutnya tidak berhubungan dengan dunia lagi karena dunia yang sudah teratur dari semula.[3] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berjalan sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya.[3] Jadi Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, setelah itu dianggap tidak ada.[3] Paham ini dianggap sebagai benih dari munculnya pandangan ateisme yang secara terbuka menyangkal adanya Tuhan.[3] Pandangan yang muncul pada abad 18 di Perancis.[3]

Voltaire

Agnostisisme

Agnostisisme adalah paham manusia yang tidak mau tahu atau tidak tahu tentang adanya Tuhan.[3] Namun hal ini lebih disebabkan karena kebuntuan pemikiran untuk mendefinisikan Tuhan.[3] Bagi para filsuf ini, Tuhan di berada di luar Jangkauan pemikiran manusia. [3]Bagi mereka yang menganut paham ini, baisanya adalah orang-orang yang menghargai kebebasannya sebagai manusia, bahkan menganggap manusia sebagai yang tertinggi di antar yang hidup di dunia. Orang semacam ini bisa disebut penganut athropomorfisme.

Kierkegaard

Ateisme

Ateisme berari penyangkalan adanya Allah.[2] Namun arti tentang Allah yang disangkal adanya, tidak sama dengan padnagan semua orang, oleh karenanya arti ateisme berbeda-beda juga.[2] Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.

Ludwig Feuebach

Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sebagai proyeksi dari kehendak manusia saja.[3] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[3] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang nyata adalah manusia.[3] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat yang tidak dapat dicapainya.[3] Kehendak manusia untuk berkuasa, serba tahu, ada di mana-mana, dan tidak terikat waktu itu kemudian dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan.[3] Sebab kepastian yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[3] Pandangan seperti ini nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme.[3] Kebaikan pandangan Feuerbach ini adalah menyatakan hakekat manusia untuk kreatif, berbelas kasih, baik, saling menyelamtkan dsb.[3] Aneh bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri supaya ia menjadi kuat, baik, adil dana maha tahu.[3]

Karl Marx

Menurut Karl Marx, agama adalah candu masyarakat, karena agama, masyarakat menjadi tidak maju dan bersikap rasional.[3]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya menipu dan menyesatkan masyarakat.[3] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan bahwa Tuhan adalah khayalan, namun tidak mencari sebabnya.[3] Bagi Marx sebab yang diberikan adalah manusia lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari masyarakat kelas yang dikritiknya.[3] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia untuk menyangkal dan memperbaiki hidupnya yang sedang ditindas, seandainya Tuhan dan agama tidak ada, maka manusia bisa hidup bebas dan bermartabat.[3] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak diperlukan.[3] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[3]

Sigmund Freud

Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori Psikoanalisnya dimulai denan pertanyaan, "Apakah kepercayaan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini berawal dari analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan selanjutnya, "Apakah agama benar-benar baik bagi manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia bertanya akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, namun lebih mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena bertanya, maka sesungguhnya penjelasan yang dikemukakan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dijelaskan dalam intelektual, sehingga perlu ditolak juga.[2] Terlebih lagi jika dicari manfaatnya, agama hanya sebagai penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula ditolak.[2]

Friedrich Nietzsche (1844-1899)

Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah mati".[6] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[6] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih.[6] Kebenaran bagi dia sangat subyektif, dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[6] Subyektivitas itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut baik bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat baik.[6] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang memiliki label baik, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya membelenggu manusia untuk berkembang.[6] Bagi dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu, bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[6] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu mengerjakan apa yang diinginkannya.[6] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang paling baik, sebab manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu manusia itu, katanya.[6]

J. Paul Sartre (1905-1980)

Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia berada, oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan.[7] Tuhan juga tidak hadir ketika dia ingin menemuinya.[7] oleh karena itu Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak umur 12 tahun. Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut sebagai agama baru baginya.[7] Namun secara sistematis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radilak dalam tulisannya Ada dan Ketiadaan terjemahan dari Being and Nothingness.[7]

Lihat pula


referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Tjahyadi" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n (Indonesia) Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1977
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z (Indonesia)Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius 2006
  4. ^ John Veitch., A Discourse on Method – Meditation and Principles, Everyman’s Library 1912 halaman vii
  5. ^ Skirry. Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008 Hlm 24,
  6. ^ a b c d e f g h i (Inggris)Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
  7. ^ a b c d (Indonesia) K Bertens., Filsafat Barat Kontemporer - Perancis, Jakarta: Gramedia, 2001