Lompat ke isi

Kalong

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kalong
Kalong kapauk (Pteropus vampyrus)
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Subordo:
Famili:
Genus:
Pteropus

Erxleben, 1777
Spesies

Lihat pada teks

Kalong adalah anggota bangsa kelelawar (Chiroptera) yang tergolong dalam marga Pteropus familia Pteropodidae, satu-satunya familia anggota subordo Megachiroptera. Kata "kalong" seringkali digunakan alih-alih kelelawar dalam percakapan sehari-hari, walaupun secara ilmiah hal ini tidak sepenuhnya tepat, karena tidak semua kelelawar adalah kalong. Kalong terutama merujuk pada kelelawar pemakan buah yang berukuran besar. Kelelawar buah terbesar, sekaligus kelelawar terbesar, adalah kalong kapauk Pteropus vampyrus yang bisa mencapai berat 1.500 gram, dan bentangan sayap hingga 1.700 mm[1].

Dalam bahasa Inggris kalong biasa dikenal sebagai Giant Fruit Bats atau Flying Foxes. Kalong menyebar di Asia tropis dan subtropis (termasuk di anak benua India), Australia, Indonesia, pulau-pulau di lepas pantai timur Afrika (tetapi tidak di daratan benuanya), serta di sejumlah kepulauan di Samudra Hindia dan Pasifik.

Pengenalan

Kelelawar yang berukuran amat besar. Jari pertama sangat panjang, jari kedua memiliki cakar yang berkembang baik. Tengkorak berukuran besar dan memanjang, dengan rangka otak yang berbentuk hampir seperti pipa. Memiliki tiga geraham depan atas, tetapi yang terdepan sangat kecil dan sering tanggal pada individu yang tua.[2] Kalong tidak berekor.

Kalong hanya memakan buah-buahan, bunga, nektar, dan serbuk sari; ini menjelaskan mengapa kalong terbatas penyebarannya di wilayah tropis. Kalong memiliki mata yang besar sehingga mereka dapat melihat dengan baik dalam keadaan kurang cahaya. Indra yang secara utama digunakan untuk navigasi adalah daya penciumannya yang tajam. Kalong tidak mengandalkan diri pada daya pendengaran seperti halnya kelelawar pemakan serangga yang menggunakan ekholokasi. Kalong sering mencari makanannya sampai jauh, hingga sejauh 40 mil dari tempatnya tidur.

Di Medan dan di beberapa tempat di Indonesia, kalong dijual untuk makanan yang berkhasiat sebagai obat asma . Dimasak dengan gulai, kalong bisa disantap bersama makanan yang lainnya. Kalong juga tinggal di dalam gua berstalaktit yang sering menjadi tempat kunjungan pencinta alam untuk " caving". Kalong di Jakarta banyak bermunculan di malam hari di pohon pohon Angsana, Akasia, dan pohon pohon besar atau agak besar tetapi tidak diburu dan dijual.

Kalong dianggap sebagai obat asma, konon karena dagingnya yang bisa memanaskan badan manusia. Mungkin setelah dimakan dagingnya lebih berasimilasi dengan oksigen sehingga pembakaran tubuh semakin tinggi panasnya dan membuat penderita asma mendapatkan hangat di bagian paru. Kabar lain lagi , kalong dipercaya sebagai obat asma karena kemampuannya hidup di malam hari dimana umumnya penderita asma merasa sesak nafas dan alergi dengan udara malam.

Status konservasi

Lukisan kerangka Kalong India Pteropus giganteus

Banyak jenis kalong yang menghadapi kepunahan. Terutama di Pasifik, sejumlah spesies terancam punah karena perburuan yang berlebihan untuk konsumsi manusia. Di Ghana dan Kepulauan Mariana, daging kalong merupakan makanan lezat, yang mendorong perdagangannya secara besar-besaran. Pada 1989, CITES memasukkan semua spesies Pteropus ke dalam Apendiks 2; yakni daftar jenis-jenis hewan dan tumbuhan yang perdagangannya perlu diawasi secara ketat agar tidak punah. Di samping itu, petani sering pula menganggapnya sebagai hama kebun yang perlu diberantas; sementara yang lain memanfaatkannya sebagai obat sakit asma. Predator kalong di alam adalah burung-burung pemangsa, ular, dan mamalia karnivora.

Spesies

Kalong hitam Pteropus alecto
Livingstone's Fruit Bat Pteropus livingstonii
Kalong mariana Pteropus mariannus
Kalong kapauk Pteropus vampyrus

Catatan kaki dan rujukan

  1. ^ Suyanto, A.. 2001. Kelelawar di Indonesia. Puslitbang Biologi – LIPI. Hal.7
  2. ^ Payne, J., C.M. Francis, K. Phillipps, S.N. Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak, & Brunei Darussalam. Sabah Society, WCS, dan WWF Malaysia. Hal. 179-180
  • Altringham, J.D. (1996). Bats: biology and behaviour. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0198503229. 
  • Hall, L. S. & Richards, G. C. (2000). Flying foxes: fruit and blossom bats of Australia. Sydney: University of New South Wales Press. ISBN 0868405612. 
  • Marshall, A.G. (1985). "Old world phytophagus bats (Megachiroptera) and their food plants: a survey". Zoological Journal of the Linnean Society. 83: 351–369. doi:10.1111/j.1096-3642.1985.tb01181.x. 
  • Mickleburgh, S., Hutson, A.M. & Racey, P. (1992) Old World Fruit Bats: An Action Plan for Their Conservation. Gland, Switzerland: IUCN
  • Neuweiler, G. (2000). The Biology of Bats. New York: Oxford University Press. ISBN 0195099516. 
  • Nowak, R.M. & Walker, E.P. (1994). Walker's bats of the world. Baltimore: Johns Hopkins University Press. ISBN 0801849861. 

Pranala luar