Sidang IMC Whitby (1947)
Sidang IMC di Whitby (1947) berada dalam situasi paska-Perang Dunia II. Realita yang mewabah adalah kebangkitan dari negara-negara bekas penjajahan. Hogg sendiri menyatakan bahwa sidang di Whitby ini merupakan reuni pertama persekutuan prostestan sedunia di masa perang. Sidang Whitby menyebutkan masalah misi atau persoalan evangelisme merupakan tugas utama gereja. Pada pemahaman sebelumnya telah ada pemahaman tentang misi yang ditetapkan pada posisi layaknya “anak yatim-piatu” ‘” orphaned missioned” seperti yang diungkapkan oleh Hogg. Evangelisme dianggap sebagai pusat penginjilan kristen sedunia sedangkan keesaan dilihat sebagai hal yang mendesak bagi hubungan antara gereja yang tua dan gereja yang muda. Maka alhasil sidang di Whitby ini mengantarkan konsep atau istilah baru dalam keesaan gereja yaitu “kemitraan dan kepatuhan”. Di dalam sidang Whitby misi tidak hanya dipahami sebagai hakekat saja akan tetapi misi dianggap sebagai pusat dari gereja tersebut. Seperti yang ada dalam tulisan seorang teolog missioner David J. Bosch, ia menyatakan bahwa melalui sidang ini konsep misi beralih dari “church-centric and society-centric mission” (tambaran) menjadi ” mission-centric church”, yang berarti bahwa pemahaman misi beralih dari misi yang terpusat pada gereja dan masyarakat ke gereja yang berpusat pada misi.