Lompat ke isi

Pangestu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pangestu adalah singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal yang artinya adalah Persatuan untuk menuntut bersatu, paguyuban ini didirikan di Surakarta pada tanggal 20 Mei 1949, yang merupakan wujud dari ikatan para anggota Pangestu. Arti kata Paguyuban Ngesti Tunggal adalah: Paguyuban artinya perkumpulan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan. Ngesti artinya upaya batiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tunggal artinya bersatu dalam hidup bermasyarakat, bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa. Visi Pangestu adalah terwujudnya kancah pendidikan dan pengolahan jiwa untuk membangun kepercayaan yang benar bagi para anggota Pangestu serta semua umat yang percaya dan membutuhkan, sehingga berwatak Satria Pinandhita berdasarkan ajaran Sang Guru Sejati. Misi Pangestu dalam rangka mencapai visi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hidup damai dan rukun bersama semua golongan dengan tidak membeda bedakan jenis, bangsa, derajat, agama atau kepercayaan 2. Berupaya bertunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan cara dan syarat-syarat menurut tuntunan Sang Guru Sejati. 3. Menyebarluaskan pepadang, yaitu ajaran Sang Guru Sejati kepada siapa saja yang memerlukan pepadang, tanpa paksaan dan tanpa pamrih. Tujuan-tujuan dari Pangestu: 1. Bercita-cita hidup bertunggal dengan semua golongan dengan tidak membeda

   bedakan jenis, bangsa, derajat, agama/kepercayaan

2. Ingin kembali dengan Tuhan Yang Mahatunggal 3. Menabur pepadang, yakni wejangan-wejangan Sang Guru Sejati kepada siapa pun

   yang sungguh-sungguh membutuhkan pepadang, tanpa pamrih dan tanpa paksaan

Pangestu memiliki pedoman dasar yang disebut Dasa Sila sebagai sikap hidup ke luar dan ke dalam (lahir batin) bagi anggotanya. Yang dimaksud dengan Dasa Sila adalah: 1. Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa 2. Berbakti kepada Utusan Tuhan 3. Setia kepada Kalifatullah (Pembesar Negara) dan Undang-undang Negara 4. Berbakti kepada tanah air 5. Berbakti kepada orang tua (ayah ibu) 6. Berbakti kepada saudara tua 7. Berbakti kepada guru 8. Berbakti kepada pelajaran keutamaan 9. Kasih sayang kepada sesama hidup 10. Menghormati semua agama Asal usul dan perkembangan persekutuan ini berasal dari R. Soenarto Mertowardojo, yang di kalangan warga Pangestu lebih dikenal dengan Pakde Narto, lahir pada tanggal 21 April 1899 di desa Simo, Kabupaten Boyolali, Surakarta, putra keenam dari delapan bersaudara dari keluarga Bapak R. Soemowardojo seorang mantri di desa tersebut. Pade Narto dipercayai oleh pengikutnya sebagai orang terpilih menjadi warana, yang menerima Sabda Ilahi dari Sukma Sejati. Sabda Ilahi yang diterima beliau bukanlah sesuatu yang serta merta turun begitu saja, melainkan diperoleh setelah R. Soenarto berupaya keras melalui masa pencarian panjang yang disertai berbagai pengalaman spiritual sejak beliau berusia 7 tahun. Pada saat itu ia harus masa ngenger (mengabdi dengan mendapat perlindungan yang mengharuskan sang anak mengerjakan tugas-tugas) kepada orang lain dengan berpindah-pindah, selama 15 tahun. Masa ini merupakan ajang tempaan watak narima, berkorban perasaan dan bersabar yang harus dijalani Pakde dalam usia yang masih sangat muda. Menghadapi keadaan itu, beliau tidak pernah mengeluh kepada ayah-bunda atau kepada orang lain. Pakde juga menunjukkan sikap jiwa yang teguh berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Waktu terus berjalan dan akhirnya masa ngenger pun berlalu. Pangalaman berat inilah yang menjadi sangat penting dalam hidupan Pakde Narto. Ketika beliau beranjak dewasa, keinginan untuk terus mencari dan memahami ke-Esa-an Tuhan berikut semesta alam dan isinya semakin mengental di dalam dirinya. Melalui perenungan yang dalam, muncul pertanyaan-pertanyaan besar, seperti di mana Tuhan bertakhta, bagaimana manusia dapat bertemu dengan Tuhannya, apa sebenarnya yang dimaksud dengan surga dan neraka dan jika ada, di mana letaknya. Hal-hal itulah yang mendorong Pakde untuk belajar kepada beberapa guru. Akan tetapi jawaban yang diperoleh beliau tidak ada yang memuaskan bahkan mengecewakan. Beliau kemudian berjanji dalam hati untuk tidak berguru lagi dan akan memohon langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pakde menyadari bahwa laku yang benar hanyalah memohon sih pepadang Allah yang senyatanya Mahamurah, Mahaasih, Mahaadil. Beliau yakin akan diberi pepadang asal memohon dengan sungguh-sungguh. Pada suatu hari, tepatnya hari Ahad Pon, 14 Februari 1932, kira-kira pukul setengah enam sore, ketika beliau sedang duduk-duduk seorang diri di serambi Pondok Widuran, Sala, pertanyaan-pertanyaan yang selalu menjadi pemikiran beliau, timbul kembali. Pakde kemudian berniat memohon kepada Tuhan agar diberi sih pepadang-Nya. Setelah memohon dengan khusyuk lalu dilanjutkan dengan solat daim, dengan tidak terduga-duga, Pakde menerima Sabda Ilahi dalam hati sanubari yang suci seakan-akan menjawab pertanyaan beliau, sebagai berikut :

“Ketahuilah, yang dinamakan Ilmu Sejati ialah petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang menunjukkan jalan benar, jalan yang sampai pada asal mula hidup”.

Ketika Bapak Soenarto menerima Sabda tersebut, beliau merasa bagaikan disiram air dingin dan badan terasa gumriming merinding lalu disusul oleh perasaan takut. Dengan termangu-mangu Bapak Soenarto bertanya dalam hati “Siapakah gerangan yang bersabda itu tadi ?”. Kemudian terdengar Sabda berikutnya yang merupakan jawaban atas pertanyaan Pakde Narto sebagai berikut :

“Aku Suksma Sejati, yang menghidupi alam semesta, bertakhta di semua sifat hidup”. “Aku Utusan Tuhan yang abadi, yang menjadi Pemimpin, Penuntun, Gurumu yang sejati ialah Guru Dunia. Aku datang untuk melimpahkan Sih Anugerah Tuhan kepadamu berupa Pepadang dan tuntunan. Terimalah dengan menengadah ke atas, menengadah yang berarti tunduk, sujud di hadapan-Ku. Ketahuilah siswa-Ku, bahwa semua sifat hidup itu berasal dari Suksma Kawekas, Tuhan semesta alam, letak sesembahan yang sejati ialah Sumber Hidup, yang akan kembali kepada-Nya. Sejatinya hidup itu Satu, yang abadi keadaannya dan meliputi semua alam seisinya.”

Demikian sabda demi sabda diterima berturut-turut dalam beberapa bulan dan semua Sabda ini dicatat oleh dua orang priagung yang membantu Pakde Narto saat itu, yaitu Bp. R.Tumenggung Hardjoprakosa dan Bp. R. Trihardono Soemodihardjo. Himpunan Sabda Ilahi inilah yang kemudian menjadi Pustaka Suci Sasangka Jati. Turunnya ajaran Sang Guru Sejati merupakan fenomena wahyu melalui perantara R. Soenarto yang tidak dapat dijangkau oleh daya angen-angen atau pikiran manusia. Kita tidak dapat hanya menggunakan alam pikiran untuk menerima ajaran Sang Guru Sejati, yang lebih diperlukan adalah hati nurani dan kesadaran yang paling dalam. Ajaran ini dipastikan dapat membantu umat manusia untuk dapat lebih menghayati dan menjalankan ajaran agamanya dengan lebih baik. Dengan dasar tujuan itulah atas prakarsa Pakde Narto organisasi Pangestu didirikan pada tanggal 20 Mei 1949. Organisasi Pangestu terbentuk ketika kota Sala diduduki tentara Belanda pada clash kedua. Pada masa itu kota Sala diliputi keadaan yang mencekam karena tentara Belanda melarang segala bentuk kegiatan yang dilakukan secara berkelompok atau berkumpul lebih dari lima orang. Pada suatu hari, tepatnya hari Jumat Pon, 20 Mei 1949, pukul 16.30 Pakde Narto kedatangan tujuh orang siswa yang datang secara diam-diam. Para siswa tersebut adalah : Bapak Soeratman, Bapak Goenawan, Bapak Prawirosoeparto, Bapak Soeharto, Bapak Soedjono, Bapak Ngalimin dan Bapak Soetardi. Sore itu Pakde Narto mengajak para siswa tersebut untuk manembah bersama memohon agar perjuangan bangsa Indonesia lekas selesai dan berada di pihak yang jaya. Sang Guru Sejati bersabda dengan perantaraan lisan Pakde Narto, yang salah satu intinya adalah perintah Sang Guru Sejati kepada siswa-Nya untuk menyebarluaskan pepadang-Nya atau ajaran-Nya kepada seluruh umat. Setelah menerima sabda dari Sang Guru Sejati, para siswa mengadakan perundingan dan menghasilkan terbentuknya pengurus Pangestu yang pertama. Susunan tersebut adalah sebagai berikut : Ketua adalah Bapak Goenawan, Penulis adalah Bapak Soetardi, Bendahara dipercayakan kepada Bapak Soeratman sedangkan pembantu-pembantu adalah Bapak Soedjono, Bapak Soeharto, Bapak Ngalimin, dan Bapak Prawirosoeparto. Pakde Narto sendiri bertindak sebagai Paranpara sesuai dengan Sabda Sang Guru Sejati. Inilah susunan pengurus sementara yang pertama sebagai tanda berdirinya organisasi yang semata-mata berorientasi pada kejiwaan dan dikenal sebagai Paguyuban Ngesti unggal. Pakde Narto wafat pada tanggal 16 Agustus 1965 dan imakamkan di Bonoloyo, Sala. Apabila ajaran Sang Guru Sejati diringkas, maka terdapat enam hal pokok sebagai berikut : 1. Mengingatkan semua umat yang lupa akan kewajiban suci, yaitu mereka yang ingkar

   (murtad) akan perintah Allah.

2. Menunjukkan jalan benar ialah jalan utama yang berakhir dalam kesejahteraan,

   ketenteraman, dan kemuliaan abadi.

3. Menunjukkan adanya jalan simpangan yang berakhir dalam kegelapan, kerusakan, dan

   kesengsaraan.

4. Menunjukkan larangan Tuhan yang harus dijauhi, jangan sampai dilanggar. 5. Menunjukkan adanya Hukum Abadi. 6. Menerangkan tentang dunia besar dan dunia kecil ialah semesta alam seisinya. Perlu diketahui bahwa ajaran Sang Guru Sejati tersebut bukanlah agama baru dan tidak bertentangan dengan ajaran agama yang nyata-nyata dari Wahyu Ilahi. Ajaran Sang Guru Sejati justru dapat memperdalam ajaran agama.

Ajaran Sang Guru Sejati mengandung hal-hal sebagai berikut : 1. Ilmu ke-Tuhanan (Tauhid dan Tasawuf). 2. Filsafat hidup, karena menunjukkan suatu sikap jiwa yang berdasarkan suatu

   pengertian tertentu untuk menghadapi pengaruh gelombang kehidupan dengan
   persoalan-persoalannya. 

3. Ilmu jiwa (psikologi) karena menguraikan susunan (struktur) jiwa kita, kerjanya

   (fungsi) masing-masing bagian serta hubungannya (korelasi) satu dengan lain. 

4. Ilmu kesehatan, terutama kesehatan jiwa yang banyak berpengaruh terhadap kesehatan

   jasmani. 

5. Metafisika, karena menerangkan adanya bentuk-bentuk halus di samping badan materi)

   kasar, yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindera atau alatalat. 

6. Ilmu seni hidup, karena memberikan petunjuk agar dalam kehidupan manusia dapat

   mencapai dan menikmati iklim yang sebaik-baiknya, yaitu kebahagiaan dunia    dan
   akhirat.