Lompat ke isi

Sadrach

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 18 Agustus 2011 21.32 oleh 75.17.50.38 (bicara) (Mengenal Kristen: ejaan nama Radin)

Kiai Sadrach (lahir tahun 1835 – meninggal di Purworejo, 14 November 1924) adalah salah seorang yang menjadi penyebar agama Kristen di tanah Jawa. Ia dilahirkan sekitar tahun 1835, di daerah Karesidenan Jepara. Sumber lain ada yang mengatakan di lahir di karesidenan Demak.

Mengenal Kristen

Nama kelahirannya adalah Radin, dan saat dia berguru di pesantren daerah Jombang namanya bertambah menjadi Radin Abas. Akan tetapi, setelah belajar di Jombang ia pun hijrah ke Semarang dan bertemu dengan seorang penginjil yang bernama Hoezoo dan kemudian Radin Abas pun ikut kelas Katekisasi yang diajar oleh Hoezoo tersebut.

Di dalam proses Kelas Katekisasi tersebut, ia berkenalan dengan seseorang yang sudah sepuh (tua) bernama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung yang asalnya sedaerah dengan Radin, yaitu dari daerah Bondo, Karesidenan Jepara. Semenjak perkenalan tersebut, Radin menyatakan kehendaknya menjadi murid Tunggul Wulung.

Dibaptis

Setelah menjadi murid Tunggul Wulung, mereka berdua pun sempat bepergian ke Batavia. Di Batavia inilah Radi dibaptis dan menjadi anggota gereja Zion Batavia yang beraliran Hervormd. Saat dibaptis beliau pada tanggal 14 April 1867 dan telah berusia 26 tahun dan memiliki nama baptisan Sadrach. Semenjak saat itu beliau tidak lagi dipanggil Radin Abas, akan tetapi Sadrach Radin yang lambat laun hanya dipanggil Sadrach saja. Sejak saat dibaptis itulah dia bertugas untuk menyebarkan brosur dan buku-buku tentang agama Kristen, dari rumah ke rumah di seputar Batavia.

Setelah dibaptis dan menyebarkan brosur-brosur kekristenan, Sadrach pun kembali ke Semarang. Di sana Kiai Tunggul Wulung telah mendirikan beberapa desa Kristen, yaitu Banyuwoto, Tegalombo, dan yang paling terkenal adalah desa Bondo di Utara Jepara.

Setelah sempat menjadi pemimpin jemaah Bondo, karena Tunggul Wulung berkeliling untuk menarik orang-orang untuk tinggal di Bondo. Setelah Tunggul Wulung kembali ke Bondo, Sadrach pun keluar dari Bondo dan keliling menuju Kediri saat berusia 35 tahun dan pergi ke Purworejo.

Di Purworejo-lah Sadrach diangkat anak oleh Pendeta Stevens-Philips. Sadrach tinggal di Purworejo pada tahun 1869 selama setahun dan pindah ke Karangjasa sekitar dua puluh lima kilometer sebelah Selatan Purworejo.

Keputusan Sadrach untuk meninggalkan Steven-Philips merupakan keputusan khas dari kiai-kiai Jawa pada saat itu, yaitu motif kepercayaan diri dan semangat untuk mandiri dan merdeka. Untuk itu pun, Sadrach lebih bebas berkarya tanpa di bawah pengawasan Philips lagi.

Kiai Ibrahim yang tinggal di Sruwoh, desa tetangga, adalah orang pertama yang ditobatkan oleh Sadrach dengan metode debat umum. Orang kedua yang ditobatkan adalah Kiai Kasanmetaram yang terkenal pada zaman itu. Metode yang dipergunakan oleh Sadrach adalah debat yang berlangsung hingga beberapa hari lamanya.

Semenjak itu kiai-kiai yang berdebat dan akhirnya tidak lagi ikut katekisasi dengan Steven-Philips, akan tetapi menerima ajaran katekisasi dari Sadrach. Namun demikian hubungan Sadrach dengan Stevens-Philips tetap berlanjut. Sadrach menganggap Philips sebagai pelidungnya secara formal yang menjembatani dengan para penguasa Belanda. Semua murid Sadrach dibaptis oleh Pendeta dari Pekabar Injil Belanda.

Ditangkap Belanda

Sadrach menjadi guru yang sangat berpengaruh, karena kemampuannya tidak hanya berdebat umum, akan tetapi juga di dalam menguasai roh-roh kekuatan gelap. Akan tetapi Sadrach sempat ditangkap dan dipenjara oleh Pemerintah Belanda karena dianggap sebagai ancaman politik yang potensial karena memiliki pengaruh yang kuat di kalangan pribumi.

Namun demikian Sadrach dibebaskan setelah dipenjara selama hampir tiga bulan, oleh karena Pemerinta Belanda tidak dapat menemukan bukti yang cukup kuat. Setelah keluar penjara, ia kembali dapat bekerja tanpa rintangan. Di dalam metode berikutnya, Sadrach lebih memilih menggunakan simbol. Sadrach tertarik menggunakan simbol yang merupakan aspek yang penting di dalam kebudayaan Jawa. Simbol yang dipilihnya adalah sapu, yang dibagikannya kepada 80 kelompok jemaat setempat. Ia memberikan sapu dengan pesan bahwa jemaat harus bersatu dan kuat, terikat satu sama lain bagaikan sapu yang diibaratkan sebagai Yesus.

Meninggal dunia

Pada tanggal 14 November 1924 di dalam usianya yang lebih dari 90 tahun, tokoh besar Radin Abas Sadrach Supranata ini meninggal dunia. Beliau meninggal dunia di dalam tidurnya dengan tenang. Saat pemakamannya hadir kerabat-kerabatnya seperti Bupati Kutoarjo dan Kulon Progo. Sehingga tampak jelas bahwa Sadrach telah dikenal luas pada zaman itu.

Daftar Pustaka

  • Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Suatu Ekspresi Keristenan Jawa pada Abad XIX, oleh Soetarman Soeediman Partonadi, Jakarta BPK Gunung Mulia, 2001
  • Kiai Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa, oleh C. Guillot, Jakarta Grafiti Pers
  • Kyai Sadrach, Seorang Pencari Kebenaran, Sebabak Sejarah Pekabaran Injil di Jawa Tengah, oleh I. Sumato Wp, Jakarta BPK Gunung Mulia 1974.