Belenggu (Buddhisme)
Dalam agama Buddha, sebuah belenggu, rantai atau ikatan (Pāli: samyojana, saŋyojana, saññojana) jiwa, mengikat mahluk hidup kepada saṃsāra, lingkaran kehidupan beserta dengan dukkha. Dengan memutuskan seluruh belenggu, seseorang mencapai nibbāna (Pāli; Skt.: nirvāṇa).
Belenggu penderitaan
Diseluruh Kanon Pali, kata "belenggu" digunakan untuk menjelaskan fenomena intrapsikis yang mengikat seseorang kepada penderitaan. Sebagai contoh, dalam Itivuttaka 1.15 kitab Khuddaka Nikaya, Buddha menyatakan:
- "Bhikkhu, Saya tidak membayangkan belenggu lain - terbelenggu yang oleh karenanya mahluk yang tergabung berkelana dan berpindah-pindah dalam waktu yang lama - seperti belenggu keinginan. Terbelenggu oleh belenggu akan keinginan, mahluk hidup tergabung berkelana dan berpindah-pindah dalam waktu yang lama."[1]
Dilain pihak, penderitaan yang disebabkan oleh sebuah belenggu sebagaimana tersirat dalam percakapan teknis dalam SM 35.232, dimana YM. Sariputta bercakap-cakap dengan YM. Kotthita:
- YM. Kotthita: "Bagaimana, rekan Sariputta, bahwa ... telinga adalah belenggu akan suara atau suara merupakan belenggu akan telinga?..."
- YM. Sariputta: "Rekan Kotthita, sebuah ... telinga bukanlah belenggu akan suara ataupun suara merupakan belenggu akan telinga, akan tetapi keinginan dan nafsu yang timbul daripadanya yang bergantung pada keduanya: terdapatlah belenggu disana.."[2]
Daftar belenggu
Belenggu diberi nomor dengan cara yang berbeda antara Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka Kanon Pali
Daftar sepuluh belenggu menurut Sutta Pitaka
Bodhi | Punarbawa | Belenggu yang disingkirkan | |
---|---|---|---|
sotāpanna | ± tujuh kali; manusia atau dewa |
|
belenggu rendah |
sakadāgāmi | sekali lagi; manusia | ||
anāgāmi | sekali lagi, suddhāvāsa |
||
arahat | tidak ada | belenggu tinggi |
Sutta Pitaka dalam Kanon Pali menjelaskan sepuluh "belenggu-belenggu untuk menjadi":[3]
- percaya pada diri (Pali:sakkāya-diṭṭhi)[4]
- keraguan atau ketidakpastian, terutama mengenai ajaran (vicikicchā)[5]
- Kemelekatan pada ritual dan kebiasaan (sīlabbata-parāmāso)[6]
- nafsu indria (kāmacchando)[7]
- keinginan buruk (vyāpādo atau byāpādo)[8]
- nafsu akan keberadaan materi, nafsu akan kelahiran kembali secara material (rūparāgo)[9]
- nafsu akan keberadaan non-materi, nafsu akan kelahiran kembali di dunia tanpa bentuk (arūparāgo)[10]
- kesombongan (māno)[11][12]
- kegelisahan (uddhaccaŋ)[13]
- kedunguan (avijjā)[14]
Sebagaimana ditampilkan pada tabel disebelah kanan, di dalam Sutta Pitaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu rendah" (orambhāgiyāni saṃyojanāni) dan diberantas segera setelah menjadi seorang pemasuk-arus; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), diberantas oleh seorang arahat.[15]
Tiga belenggu
Baik dalam Saṅgīti Sutta (DN 33) dan Dhammasaṅgaṇi (Dhs. 1002-1006) merujuk kepada "tiga belenggu" sebagai tiga belenggu pertama dari sepuluh belenggu dalam Sutta Pitaka sebagaimana disebutkan di atas:
- percaya pada diri (sakkāya-diṭṭhi)
- keraguan (vicikicchā)
- kemelekatan pada ritual dan kebiasaan (sīlabbata-parāmāso)[16]
Menurut Kanon, tiga belenggu-belenggu telah diberantas oleh para pemasuk-arus dan kembali-sekali.[17]
Daftar sepuluh belunggu menurut Abhidhamma Pitaka
Kitab Dhamma Sangani dalam Abhidhamma Pitaka (Dhs. 1113-34) menyediakan daftar lain mengenai sepuluh belenggu, daftar ini juga ditemukan dalam Culla Niddesa kitab Khuddaka Nikaya (Nd2 656, 1463) dan pada komentar-komentar Kanon Pali. Penomorannya adalah:[18]
- nafsu sensual (Pali: kāma-rāga)
- kemarahan (paṭigha)
- kesombongan (māna)
- pandangan-pandangan (diṭṭhi)
- keraguan (vicikicchā)
- kemelekatan pada kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāsa)
- nafsu akan keberadaan (bhava-rāga)
- kecemburuan (issā)
- keserakahan (macchariya)
- kebodohan (avijjā).
Komentar menegaskan bahwa pandangan-pandangan, keraguan, kemelekatan pada kebiasaan dan rituas, kecemburuan dan keserakahan keluar dari tahapan pertama akan Kesadaran (sotāpatti); nafsu sensual yang kotor dan kemarahan pada tingkatan kedua (sakadāgāmitā) dan bahkan bentuk halus serupa pada tingkatan ketiga (anāgāmitā); dan kesombongan, nafsu akan keberadaan dan kebodohan pada tahapan keempat dan akhir (arahatta).
Belenggu-belenggu yang berhubungan dengan rumah tangga
Secara khusus, Sutta "Potaliya" (MN 54), mengenal delapan belenggu-belenggu (termasuk tiga dari Lima Ajaran) yang mana mengabaikan "menyebabkan pemutusan hubungan" ("lead[s] to the cutting off of affairs") (vohāra-samucchedāya saṃvattanti): (1) menghancurkan kehidupan (pāṇātipāto); (2) mencuri (adinnādānaṃ); (3) ucapan salah (musāvādo); (4) fitnah (pisunā); (5) iri hati dan keserakahan (giddhilobho); (6) kebencian (nindāroso); (7) kemarahan dan kebencian (kodhūpāyāso); dan, (8) kesombongan (atimāno).[19]
Belenggu individual
Belenggu-belenggu berikut merupakan tiga belenggu pertama dalam daftar sepuluh belenggu yang terdapat di Sutta Pitaka sebagaimana disebutkan terdahulu, dan daftar Saṅgīti Sutta dan Abhidhamma Pitaka akan "tiga belenggu" (DN33, Dhs. 1003 ff). Sebagaimana dijelaskan dibawah, pemberantasan tiga belenggu-belenggu ini merupakan petunjuk kanonikal akan seseorang yang berada pada jalur pencerahan.
Pandangan identitas (sakkāya-diṭṭhi)
Secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti "pandangan" (seringkali menunjuk kepada pandangan salah, dalam agama Buddha, sebagaimana dicontohkan dalam tampilan tabel berikut).
Secara umum, "percaya akan keberadaan diri sendir" atau, lebih ringkasnya, "pandangan diri" merujuk kepada "kepercayaan bahwa dalam satu khanda atau lainnya terdapat entitas permanen, sebuah attā".[20]
Sama halnya, dalam MN 2,Sabbasava Sutta, Buddha menjelaskan "belenggu akan pandangan" dalam bentuk berikut:
Pandangan enam guru sesat | |
---|---|
Pandangan dari enam samaṇa dalam Tripitaka Pali, juga dikenal sebagai enam guru sesat, sesuai Sāmaññaphala Sutta (DN 2).[21] | |
Pūraṇa Kassapa | |
Amoralisme (akiriyavāda; natthikavāda) | Tidak ada pahala atau hukuman atas perbuatan baik maupun buruk. |
Makkhali Gosāla (Ājīvika) | |
Fatalisme (ahetukavāda; niyativāda) | Kita tak berdaya; penderitaan sudah ditakdirkan. |
Ajita Kesakambalī (Carwaka) | |
Materialisme (ucchedavāda; natthikavāda) | Hiduplah bersenang-senang; dengan kematian, semuanya akan musnah. |
Pakudha Kaccāyana | |
Eternalisme dan kategorialisme (sassatavāda; sattakāyavāda) | Empat unsur, kesenangan, kesakitan, dan jiwa adalah abadi dan tidak berinteraksi. |
Nigantha Nātaputta (Jainisme) | |
Brata (mahāvrata) | Diberkahi, dibersihkan oleh, dan dipenuhi [hanya] dengan penghindaran terhadap segala kejahatan.[22] |
Sañjaya Belaṭṭhiputta (Ajñana) | |
Agnostisisme (amarāvikkhepavāda) | "Aku tak berpikir begitu. Aku tak berpikir demikian pula atau sebaliknya. Aku tak berpikir tidak atau bukan-tidak." Penundaan penilaian. |
- "Demikian lah bagaimana [seseorang dengan pandangan salah] hadir dengan tidak sesuai: 'Siapakah saya di masa lalu? ... Bagaimana saya di masa mendatang? ... Saya kah? Tidakkah saya? Apa saya? ...'
- "Sebagaimana ia hadir dengan tidak sesuai, satu dari enam jenis pandangan timbul dalam dirinya: ...
- "As he attends inappropriately in this way, one of six kinds of view arises in him: ...
- 'Saya memiliki jiwa...'
- 'Saya tidak memiliki jiwa...'
- 'Justru karena pengertian akan jiwa saya mengartikan jiwa...'
- 'Justru karena pengertian akan diri saya mengartikan tanpa-jiwa...'
- 'Justru karena pengertian akan tanpa-jiwa, saya mengartikan jiwa...'
- 'Ini adalah jiwa saya sesungguhnya ... adalah jiwa milik saya yang senantiasa...'
- "Hal ini disebut juga semak-belukar mengenai pandangan, sebuah hutan belantara mengenai pandangan, pemutar balikkan mengenai pandangan, geliatan akan pandanggan, sebuah belenggu mengenai pandangan. Terikat oleh belenggu mengenai pandangan, yang awam ... tidak terbebaskan, Saya menyampaikan kepada mu, dari penderitaan & tekanan."[23]
Keraguan (vicikicchā)
Pada umumnya, "keraguan" merujuk kepada keraguan mengenai ajaran Buddha, Dhamma. (Pengajaran setara lainnya ditampilkan pada tabel di sebelah kanan.)
Lebih jelasnya, dalam SN 22.84, Tissa Sutta,[24] Buddha dengan tegas memperingatkan terhadap ketidakpastian mengenai Jalan Utama Berunsur Delapan, yang dijelaskan sebagai jalur yang tepat menuju Nibbana, memimpin seseorang melewati kebodohan, nafsu indria, kemarahan dan keputusasaan.
Kemelekatan akan kebiasaan dan ritual (sīlabbata-parāmāso)
Sīla merujuk pada "perilaku moral", vata (atau bata) untuk "tugas keagamaan, ketaantan, tata cara, pelaksanaan, kebiasaan,"[25] dan parāmāsauntuk "menjadi terikat kepada" atau "penularan" dan memiliki konotasi akan "penyalahgunaan" Dhamma.[26] Keseluruhan, sīlabbata-parāmāso diterjemahkan menjadi "penularan pengaruh buruk akan peraturan dan ritual, kecanduan akan pekerjaan baik, khayalan bahwa hal tersebut cukup"[27] atau, lebih sederhananya, "jatuh kembali kepada kemelekatan akan pedoman dan peraturan."[28]
Sementara belenggu akan keraguan dapat dianggap sebagai upaya untuk menyinggung ajaran Shramana''samana'' yang bersaing selama masa Buddha, belenggu mengenai kebiasaan dan riual sepertinya merujuk kepada beberapa adat kebiasaan penguasa brahmanik kontemporer.[29]
Memangkas belenggu
<font=3>Meditasi |
"Disini, O bhikkhu, seorang bhikkhu mengerti mata dan bentuk materi dan belenggu yang timbul tergantung pada keduanya (mata dan bentuk); ia mengerti bagaimana belenggu yang tidak timbul menjadi timbul; ia mengerti bagaimana mengabaikan belenggu yang timbul tersebut; dan ia mengerti bagaimana hal yang tidak-timbul di masa mendatang akan belenggu yang diabaikan terjadi. [Dan oleh karenanya] ia mengerti telinga dan suara .... indera pembauan dan bau-bauan .... indera pengecapan dan rasa .... indera sentuhan dan obyek yang dapat disentuh .... [dan] kesadaran dan obyek-obyek batin ..." |
– Satipatthana Sutta (MN 10)[30] |
Pada MN 64, "Khotbah Panjang kepada Mālunkyāputta," Buddha menyatakan bahwa jalan untuk mengabaikan lima belenggu rendah (yang adalah, lima dari "sepuluh belenggu" pertama sebagaimana disebutkan terdahulu) adalah melalui pencapaian jhana dan pengetahuan akan vipassana secara bersamaan.[31] Dalam SN 35.54, "Mengabaikan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa seseorang yang mengabaikan belenggu-belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai ketidak kekalan" (Pali:anicca) duabelas sumber indera (āyatana), hal-hal yang sehubungan dengan enam indera-kesadaran (viññaṇa), dan hasil reaksi sentuhan (phassa) dan sensasi (vedanā).[32] Pada hal yang sama, dalam SN35.55, "Menumbangkan Belenggu," Buddha menyatakan bahwa ia yang menumbangkan belenggu "ketika ia mengetahui dan melihat ... sebagai tanpa diri" (anatta) sumber indera, indera kesadaran, sentuhan dan sensasi.[33]
Kanon Pali secara tradisional menjelaskan pemangkasan belenggu-belenggu ini dalam empat tingkatan:
- Ia yang memotong tiga belenggu pertama (Pali: tīṇi saŋyojanāni) menjadi "pemasuk-arus" (sotapanna);
- Ia yang memotong tiga belenggu pertama dan secara berarti melemahkan dua belenggu berikut untuk menjadi "kembali sekali" (sakadagami);
- Ia yang memotong lima belenggu pertama (orambhāgiyāni samyojanāni) menjadi seorang "tidak-kembali" (anagami);
- Ia yang memotong seluruh sepuluh belenggu menjadi seorang arahat.[34]
Hubungan dengan konsep inti lainnya
Sama dengan konsep Buddhis yang ditemukan di seluruh Kanon Pali termasuk lima hambatan (nīvaraṇāni) dan sepuluh kekotoran (kilesā). Dengan perbandingan, dalam tradisi Theravada, belenggu-belenggu menjangkau kehidupan berlipat kali dan sangat sulit untuk dihapus, sedangkan hambatan bersifat rintangan sementara. Kekotoran mencakup seluruh kekotoran batin termasuk belenggu dan hambatan.[35]
Lihat pula
- Anatta, mengenai belenggu pertama (sakkāya-diṭṭhi)
- Empat tingkat pencerahan, mengenai penghapusan belenggu-belenggu
- Lima hambatan, juga termasuk belenggu keempat (kamacchanda), kelima (vyapada), kesembilan (uddhacca) dan kedua (vicikiccha)
- Upadana (Kemelekatan), dimana empat jenis kemelekatan awal adalah kemelekatan untuk merasakan kesenangan (kamupadana), pandangan salah (ditthupadana), kebiasaan dan ritual (silabbatupadana) dan doktrin-diri (attavadupadana).
Referensi
- ^ Thanissaro (2001).
- ^ Bodhi (2000), p. 1230. Tangentially, in discussing the use of the concept of "the fetter" in the Satipatthana Sutta (regarding mindfulness of the six sense bases), Bodhi (2005) references this sutta (SN 35.232) as explaining what is meant by "the fetter," that is, "desire and lust" (chanda-raga). (While providing this exegesis, Bodhi, 2005, also comments that the Satipatthana Sutta commentary associates the term "fetter" in that sutta as referring to all ten fetters.)
- ^ Belenggu-belenggu ini diberi nomor, sebagai contoh, dalam SN 45.179 dan 45.180 (Bodhi, 2000, hal. 1565-66). Artikel berbahasa Pali dan terjemahan bahasa Inggris untuk sepuluh belenggu ini didasari oleh Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry (retrieved 2008-04-09).
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry (retrieved 2008-04-09), menjelaskan sakkāya-diṭṭhi sebagai "teori akan jiwa, bidaah individualitas, spekulasi akan keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "pandangan akan kepribadian"; Harvey (2007), p. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; Thanissaro (2000) menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 615, "Vicikicchā" entry (retrieved 2008-04-09), menjelaskan vicikicchā sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), p. 73, and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan."Thanissaro (2000) menggunakan "ketidakpastian." Harvey provides, "kebimbangan akan tanggung-jawab kepada tiga perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 and S ii.69-70).
- ^ Sebagai contoh, lihat : Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 713, "Sīla" entry (retrieved 2008-04-09), mengenai konsep serupa akan sīlabbatupādāna (= sīlabbata-upādāna), "berupaya setelah bekerja dan ritual." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pemahaman menyimpang akan peraturan dan sumpah"; Gethin (1998), p. 73, menggunakan "bergantung pada peraturan dan sumpah"; Harvey (2007), p. 71, uses "pemahaman akan peraturan dan sumpah"; Thanissaro (2000) menggunakan "pemahaman akan peraturan dan pelaksanaan"; dan, Walshe (1995), p. 26, menggunakan "keterikatan akan ritus dan rituals."
- ^ Untuk diskusi yang lebih luas mengenai istilah ini, lihat, contoh., Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 203-4, "Kāma" entry, and p. 274, "Chanda" entry (retrieved 2008-04-09). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.179), Gethin (1998), p. 73, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkan kāmacchando sebagai "nafsu indria" ("sensual desire").
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 654, "Vyāpāda" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan vyāpādo sebagai "berlaku buruk, berbuat jahat: keinginan untuk melukai, kedengkian, keinginan buruk." Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), p. 71, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 26, menerjemahkannya sebagai "keinginan buruk" ("ill will") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keengganan" ("aversion").
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan rūparāgo sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam rūpa" ("lust after rebirth in rūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan bentuk" ("lust for form") Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan akan bentuk" ("desire for form"). Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan akan bentuk" ("passion for form"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan dalam Dunia Bentuk" ("craving for existence in the Form World").
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 574-5, "Rūpa" entry (retrieved 2008-04-09), menyarankan bahwa arūparāgo dapat dijelaskan sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam arūpa" ("lust after rebirth in arūpa"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu akan ketidakadaan bentuk" ("lust for the formless"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "keinginan untuk keadaan tanpa bentuk" ("desire for the formless"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "keterikatan akan bentuk murni atau dunia-dunia tanpa bentuk" ("attachment to the pure form or formless worlds") Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan untuk apa yang tidak berbentuk" ("passion for what is formless"). Walshe (1995), p. 27, menggunakan "keinginan akan keberadaan di Dunia Tanpa Bentuk" ("craving for existence in the Formless World").
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 528, "Māna" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan māna sebagai "kebanggaan, kesombongan, keangkuhan" ("pride, conceit, arrogance"). Bodhi (2000), p. 1565, SN 45.180, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kesombongan" ("conceit"). Gethin (1998), p. 73, menggunakan "kebanggaan" ("pride"). Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kesombongan 'Saya adalah'" ("the 'I am' conceit").
- ^ Untuk membedakan antara belenggu pertama, "pandangan akan diri" dan belenggu ke delapan "kesombongan," lihat, contoh:, SN 22.89(trans., Thanissaro, 2001).
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 136, "Uddhacca" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan uddhacca sebagai "melampaui-keseimbangan, pergolakan, kegirangan, kebingunan, tergesa-gesa" ("over-balancing, agitation, excitement, distraction, flurry"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Harvey (2007), p. 72, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, menerjemahkannya sebagai "kegelisahan" ("restlessness"). Gethin (1998), p. 73, uses "agitation."
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 85, "Avijjā" entry (retrieved 2008-04-09), mendefinisikan avijjā sebagai "kedunguan; akar buruk utama dan kelahiran kembali yang terus menerus" ("ignorance; the main root of evil and of continual rebirth"). Bodhi (2000), p. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), p. 73, Thanissaro (2000) and Walshe (1995), p. 27, translate it as "ignorance." Harvey (2007), p. 72, menggunakan "kedunguan spiritual" ("spiritual ignorance").
- ^ Untuk referensi sutta-tunggal baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" dan "belenggu-belenggu rendah," lihat, DN 33 (bagian kelima) dan AN 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: SN 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahana, lima belenggu rendah sendiri (tanpa rujukan akan belenggu-belenggu tinggi) didiskusikan, contoh, dalam MN 64.
- ^ Untuk daftar dalam Saṅgīti Sutta mengenai tiga belenggu-belenggu, lihat, contoh, Walshe (1995), p. 484. Untuk daftar tiga belenggu dalam Dhammasaṅgaṇi, lihat : Rhys Davids (1900), pp. 256-61. Lihat pula, Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, entry for "Saŋyojana" (retrieved 2008-04-09), mengenai tīṇi saŋyojanāni. (C.A.F. Rhys Davids (1900), p. 257, menerjemahkan ketiga istilah ini sebagai "teori kepribadian, kebingungan, dan penularan akan hal-hal yang semata-mata merupakan peraturan dan ritual" ("the theory of individuality, perplexity, and the contagion of mere rule and ritual."))
- ^ See, e.g., MN 6 and MN 22.
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 656, "Saŋyojana" entry merujuk Cula Niddesa 657, 1463, dan Dhamma Sangani 1113. Pada faktanya, keseluruhan bagian dari Dhamma Sangani ditujukan kepada belenggu-belenggu (buku III, ch. V, Dhs. 1113-34), lihat pula Rhys Davids (1900), hal. 297-303. (Rhys Davids, 1900 hal. 297, menyediakan terjemahan dalam bahasa Inggris mengenai istilah-istilah berbahasa Pali: "sensualitas, penolakan, kesombongan, pendapat spekulatif, kebingungan, penularan aturan dan ritual semata, gairah untuk eksistensi baru, iri hati, kekejaman, kebodohan.") (""sensuality, repulsion, conceit, speculative opinion, perplexity, the contagion of mere rule and ritual, the passion for renewed existence, envy, meanness, ignorance.") Pada naskah-naskah setelah masa kanon, daftar ini juga dapat ditemukan dalam komentar Buddhagosa (dalam Papañcasudani) pada bagian Satipatthana Sutta mengenai enam dasar indera dan belenggu-belenggu.(Soma, 1998).
- ^ Untuk terjemahan dalam bahasa Inggris, lihat : Ñāṇamoli & Bodhi (2001), pp. 467-469, dan Upalavanna (undated). Untuk romanisasi transliterasi bahasa Pali, SLTP (undated).
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry (retrieved 2008-04-09). Lihat pula, anatta.
- ^ "DN 2 Sāmaññaphala Sutta; The Fruits of the Contemplative Life". www.dhammatalks.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 10 July 2024.
- ^ Bhikku, Ñāṇamoli; Bhikku, Bodhi (9 November 1995). The Middle Length Discourses of the Buddha: A Translation of the Majjhima Nikaya (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-Fourth). Simon and Schuster. hlm. 1258–59. ISBN 978-0-86171-072-0. Diakses tanggal 10 July 2024.
- ^ Thanissaro (1997a).
- ^ Thanissaro (2005)
- ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), p. 597, "Vata (2)" entry (retrieved 2008-04-09).
- ^ Ibid., p. 421, "Parāmāsa" entry (retrieved 2008-04-09).
- ^ Ibid., p. 713, "Sīla" entry regarding the suffix "bbata" (retrieved 2008-04-09).
- ^ Thanissaro (1997b).
- ^ Sebagai perbandingan, lihat : Gethin (1998), hal. 10-13, untuk sebuah diskusi yang dilakukan Buddha mengenai tradisi sramanik dan brahmanik.
- ^ Soma, 1998, bagian "The Six Internal and the Six External Sense-bases." Perlu digaris bawahi bahwa hanya belenggu yang diabaikan, bukan organ indera atau obyek indera.
- ^ Ñāṇamoli & Bodhi (2001), pp. 537-41.
- ^ Bodhi (2000), p. 1148.
- ^ Bodhi (2000), p. 1148. Perhatikan bahwa Sutta-Sutta yang menjadi rujukan (MN 64, SN 35.54 and SN 35.55) dapat dilihat saling melengkapi dan konsisten jika, sebagai contoh, menyimpulkan bahwa seseorang perlu menggunakan pencapaian jhanik dan pengetahuan vipassana guna "mengetahui dan melihat" ketidak kekalan dan inti tanpa-diri dari sumber indera, kesadaran, kontak dan sensasi. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai ketidak kekalan dan tanpa-diri, lihat Tiga Corak Umum.
- ^ See, e.g., Bhikkhu Bodhi's introduction in Ñāṇamoli & Bodhi (2001), pp. 41-43. Bodhi in turn cites, for example, MN 6 and MN 22.
- ^ Gunaratana (2003), dhamma talk entitled "Dhamma [Satipatthana] - Ten Fetters."