Lompat ke isi

Kampung Dukuh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Berkas:Kampung Dukuh.jpg
Kampung Dukuh Setelah Kebakaran

Sejarah

Kampung dukuh di dirikan oleh seorang ulama yang bernama Syekh Abdul Jalil.[1] Landasan budaya kasebut mangaruhan dina jieunan fisik pilemburan kasebut sarta adat istiadat masarakat Kampung Dukuh. [1] Ia adalah seorang ulama yang diminta oleh Bupati Sumedang untuk menjadi penghulu atau kepala agama di kesultanan Sumedang pada abad ke-17, dimana pada waktu itu Bupati sumedang adalah Rangga Gempol II dan penunjukan Syekh Abdul Jalil tersebut atas dasar saran dari raja mataram.[2] Pada waktu diminta menjadi penghulu atau kepala agama di Sumedang, syekh abdul jalil mengajukan 2 syarat, yang pertama tidak boleh melanggar hukum syara (hukum agama, seperti membunuh, berzinah, merampok dsb), dan yang kedua adalah bupati/pemimpin dan rakyatnya harus bersatu.Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>

Keadaan Penduduk

Mata pencaharian utama masyarakat kampung dukuh adalah bertani.[3] Model pertanian yang biasa di lakukan yaitu model pertanian lahan basah (sawah) dan pertanian lahan kering (huma/berladang).[3] Masyarakat kampung dukuh dalam bertani pada lahan basah (sawah) biasanya menggunakan lahan yang terletak pada pinggir-pinggir sungai, dan lahan yang dapat digunakan untuk cara bertani ini cukup sedikit.[3] Sedangkan untuk bertani pada lahan kering itu cukup luas, karena biasanya masyarakat adat kampung dukuh akan mebukah hutan untuk dijadikan lahan untuk berladang atau bertani.[3] Karena lahan ini cukup luas.[3] maka masyarakat biasanya banyak yang melakukan bertani pada lahan kering, yaitu seperti ngehuma,berladang.[3] Selain itu juga masyarakat kampung adat dukuh sering memanfaatkan hutan sekitarnya, untuk memenuhi kekebutuhan hidup.[3] Biasanya dimanfaatkan untuk mengambil kayu bakar, mengambil bahan untuk membuat rumah.[2] Hal ini biasa dilakukan oleh masyarakat kampung dukuh sebelum masuknya jawatan kehutanan atau perhutani.[3] Dimana setelah masuknya perhutani ke wilayah adat dukuh, masyarakat menjadi tidak punya akses terhadap hak ulayat mereka.[3]

catatan

  1. ^ a b Darpan, Suhardiman Budi. 2007. Seputar Garut. Tarogong: Komunitas Srimaganti.
  2. ^ a b [Rostiyati, Ani dkk.(2004).Potensi Wisata Di Daerah Pameungpeuk Kabupaten Garut.Bandung: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Jawa Barat.) (kaca 36)
  3. ^ a b c d e f g h i [1]