Kampung Dukuh
Artikel ini tidak memiliki referensi atau pranala luar ke sumber-sumber tepercaya yang dapat menyatakan kelayakan dari subyek yang dibahas. (ajukan diskusi keberatan penghapusan) Artikel ini akan dihapus pada 13 November 2011 jika tidak diperbaiki.Untuk pemulai artikel ini, jika Anda mempertentangkan nominasi penghapusan ini, jangan menghapus peringatan ini. Silakan hubungi sang pengusul, hubungi seorang pengurus, atau pasang tag {{tunggu dulu}} |
Sejarah
Kampung dukuh di dirikan oleh seorang ulama yang bernama Syekh Abdul Jalil.[1] Landasan budaya kasebut mangaruhan dina jieunan fisik pilemburan kasebut sarta adat istiadat masarakat Kampung Dukuh. [1] Ia adalah seorang ulama yang diminta oleh Bupati Sumedang untuk menjadi penghulu atau kepala agama di kesultanan Sumedang pada abad ke-17, dimana pada waktu itu Bupati sumedang adalah Rangga Gempol II dan penunjukan Syekh Abdul Jalil tersebut atas dasar saran dari raja mataram.[2] Pada waktu diminta menjadi penghulu atau kepala agama di Sumedang, syekh abdul jalil mengajukan 2 syarat, yang pertama tidak boleh melanggar hukum syara (hukum agama, seperti membunuh, berzinah, merampok dsb), dan yang kedua adalah bupati/pemimpin dan rakyatnya harus bersatu.[2] Jika kedua syarat tersebut tidak di langgar maka ia ia akan mengundurkan diri dari jabatan penghulu/kepala agama.[1] Dua belas tahun kemudian terjadilah pembunuhan utusan dari kerajaan banten.[2] Pembunuhan itu diperintahakan aleh Rangga Gempol II karena, rangga gempol menolak untuk tunduk ke kerajaan Banten, bukannya pada mataram.[2] Pada saat peristiwa itu terjadi Syekh Abdul Jalil sedang berada di Mekkah, Setelah mendengar berita itu dari wakilnya, ia merasa sedih karena telah terjadi pelanggaran terhadap hukum syara.[2] Maka ia pun pergi meninggalkan Sumedang dan menetap di Batuwangi selama tiga setengah tahun.[2] Kemudian ia melanjutkan lagi perjalanannya ke selatan dan tinggal di suatu daerah yang bernama Tonjong selama setengah tahun.[2] Di setiap tempat yang disinggahinya Syekh Abdul Jalil selalu betafakur memohon kepada Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok untuk tinggal dan dan menggajarkan ilmu agamanya dengan tenang.[2] Pada saat bertafakur, ia melihat sebuah sinar sebesar pohon aren ( Arenga Sacchan fera).[2] Sinar itu bergerak menuju suatu tempat, di ikuti oleh Syekh Abdul Jalil, dan sinar itu menghilang diantara sungai Cimangke dan Cipasarangan.[2] Ternyata tempat tersebut sudah ada penghuninya yaitu pakebon dan nikebon (orang yang menunggui huma atau ladang) yang bernama Aki dan Nini Candradiwangsa.[2] Setelah kedatangan Syekh Abdul Jalil, tempat tersebut diserahkan kepadanya oleh aki dan nini Candra dan merekapun pulang ke rumahanya.[2] Sepeninggal aki dan nini Candra, Syekh Abdul Jalil menetap di daerah tersebut dan menyebarkan pengetahuan agama yang ia miliki, sehingga terbentuklah kampung adat dukuh dan masih tetap berdiri sampai saat ini.[2] Kalau dilihat dari sejarahnya masyarakat adat dukuh itu memiliki hak ulayat atau wilayah adat yang mempunyai batas sebagai berikut : pada sebelah utara dibatasi oleh Gunung ragas (haur duni Istilah masyrakat lokalnya), sebelah selatan dibatasi oleh laut kidul (Pantai selatan), sebelah barat dibatasi oleh Sungai Cimangke, dan sebelah timur dibatasi oleh sungai Cipasarangan. Batas-batas ini kemudian secara administratif di jadikan batas desa Cijambe. Dimana sekitar tahun 1984 batas wilayah adat dukuh secara administratif dilakukan pemekarkan menjadi 2 desa, yaitu menjadi desa karang sari dan desa cijambe, kondisi ini masih bertahan sampai saat ini.[2] Wilayah ulayat kampung dukuh merupakan sumber kekayaan masyarakat adat dukuh, karena di dalamnya terdapat kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat tersebut.[1]
Keadaan Penduduk
Mata pencaharian utama masyarakat kampung dukuh adalah bertani.[3] Model pertanian yang biasa di lakukan yaitu model pertanian lahan basah (sawah) dan pertanian lahan kering (huma/berladang).[3] Masyarakat kampung dukuh dalam bertani pada lahan basah (sawah) biasanya menggunakan lahan yang terletak pada pinggir-pinggir sungai, dan lahan yang dapat digunakan untuk cara bertani ini cukup sedikit.[3] Sedangkan untuk bertani pada lahan kering itu cukup luas, karena biasanya masyarakat adat kampung dukuh akan mebukah hutan untuk dijadikan lahan untuk berladang atau bertani.[3] Karena lahan ini cukup luas.[3] maka masyarakat biasanya banyak yang melakukan bertani pada lahan kering, yaitu seperti ngehuma,berladang.[3] Selain itu juga masyarakat kampung adat dukuh sering memanfaatkan hutan sekitarnya, untuk memenuhi kekebutuhan hidup.[3] Biasanya dimanfaatkan untuk mengambil kayu bakar, mengambil bahan untuk membuat rumah.[2] Hal ini biasa dilakukan oleh masyarakat kampung dukuh sebelum masuknya jawatan kehutanan atau perhutani.[3] Dimana setelah masuknya perhutani ke wilayah adat dukuh, masyarakat menjadi tidak punya akses terhadap hak ulayat mereka.[3]
catatan
- ^ a b c d Darpan, Suhardiman Budi. 2007. Seputar Garut. Tarogong: Komunitas Srimaganti.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o [Rostiyati, Ani dkk.(2004).Potensi Wisata Di Daerah Pameungpeuk Kabupaten Garut.Bandung: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Jawa Barat.) (kaca 36)
- ^ a b c d e f g h i [1]