Lompat ke isi

Normal (perilaku)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 8 Desember 2011 16.18 oleh Dimma21 (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '[[File:Brontchite oûs4.jpg|thumb|Perilaku manusia diibaratkan seperti telur, dimana telur yang berbeda diantara telur-telur yang seragam akan disebut '''Tidak Normal'...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Perilaku manusia diibaratkan seperti telur, dimana telur yang berbeda diantara telur-telur yang seragam akan disebut Tidak Normal

Dalam perilaku, normal mengacu pada kurang tidaknya deviasi yang signifikan dari suatu kerata-rataan. Ungkapan "tidak normal" sering diterapkan dalam arti negatif (menegaskan bahwa seseorang atau beberapa situasi adalah tidak layak, sakit, dll) Abnormal sangat bervariasi dalam cara yang menyenangkan atau tidak menyenangkan ini adalah untuk orang lain. [1]

Pendapat - pendapat

Terdapat berbagai pendapat mengenai definisi normal, diantaranya:

  • Oxford English Dictionary mendefinisikan "normal" sebagai "sesuai dengan standar". Definisi lain yang mungkin adalah bahwa "normal" adalah seseorang yang sesuai dengan perilaku dominan dalam masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai alasan seperti perilaku imitatif yang sederhana, penerimaan sengaja atau tidak konsisten dengan standar masyarakat, takut penghinaan atau penolakan, dll
  • Menurut Kartono dalam Darwis mengemukakan bahwa ada dua jenis perilaku manusia, yakni perilaku normal dan perilaku abnormal. Perilaku normal adalah perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, sedangkan parilaku abnormal adalah perilaku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Perilaku abnormal ini juga biasa disebut perilaku menyimpang atau perilaku bermasalah. [2]
  • Menurut WHO, normal adalah keadaan dimana seseorang yang sempurna fisik, mental dan sosialnya, tidak mengidap penyakit dan kelemahan-kelemahan tertentu.[3]
  • Karl Meninger mengatakan bahwa normal adalah adanya penyesuaian timbal balik dari nilai-nilai manusaia terhadap alam/lingkungannya secara maksimal, efisien dan menyenangkan baik bagi manusia itu sendiri maupun alam lingkungannya, yang bukan semata-mata agar efisien, puas atau taat pada lingkungan, tetapi secara menyeluruh, mampu mengelola integrasi social dan kebahagiaan hidup, perasaan inteligensi. [3]
  • Menurut Wb Boehm, normal adalah kondisi dan taraf pemfungsian social yang oleh lingkungan social dapat diterima dan secara individu dirasa menyenangkan.[3]

Kriteria

Maslow dan Mittelmann dalam Kartono (1985) membuat kriteria bagi seseorang yang pribadinya berfungsi normal-sehat, ditambahkan oleh saanin sebagai berikut[3]:

  • Memiliki perasaan aman yang wajar. Mempu berkontak dengan orang lain dalam bidang kerja, di tengah pergaulan dan dalam lingkungan keluarga.
  • Mempunyai derajat penilaian sendiri yang wajar, memilliki wawasan yang rasional dengan rasa harga diri yang tidak berlebihan. Memiliki rasa sehat secara moril dan tidak dihinggapi rasa-rasa berdosa atau bersalah. Dapat menilai perilaku orang lain yang asosial dan non manusiawi sebagai gejala masyarakat yang menyimpang.
  • Memiliki tujuan hidup yang realistis. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan yang bisa dicapai dengan kemampuan sendiri, sebab sifatnya wajar dan realistis. Ditambah ddengan keuletan dalam mencapai tujuan hidup tersebut, demi manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.
  • Memiliki hubungan yang efektif dengan kenyataan. Tanpa adanya fantasi dengan angan-angan yang berlebihan. Dapat menerima segala cobaan hidup ddengan lapang dada, memiliki kontak yang riil dan efisien dengan dirinya sendiri dan mudah melakukan adaptasi atau mengasimilasikan diri jika lingkungan sosial tidak bisa diubah. Bersikap kooperatif terhadap kenyataan yang tidak bisa ditolak.
  • Memiliki kepribadian yang terintegrasi dan konsisten. Mempunyai kebulatan unsur jasmaniah dan rohaniah, dan mudah mengadakan asimilasi dan adaptasi dengan perubahan yang serba cepat, dan mempunyai minat pada macam-macam aktivitas. Mempunyai moralitasyang tidak kaku dan memiliki daya konsentrasi terhadap satu usaha yang diminati.
  • Mampu mengolah dan menerima pengalamannya dengan sikap yang luwes. Bisa menilai batas kekuatan sendiri dan situasi yang dihadapi. Menghindari teknik pembenaran diri dan pelarian diri yang tidak sehat.
  • Memiliki spontanitas dan emosionalitas yang wajar. Mampu menjalin relasi yang kuat dan lama seperti persahabatan, komunikasi sosial dan relasi cinta. Jarang kehilangan control terhadap diri sendiri. Penuh tenggang rasa terhadap pengalaman orang lain. Dapat tertawa dan bergembira secara bebas, dan mampu menghayati penderitaan dan kedudukan tanpa lupa diri.
  • Memiliki kesanggupan untuk dapat memuaskan kehendak-kehendak jasmaniah secara wajar dan tidak berlebih-lebihan, dengan kesanggupan untuk memuaskan melalui cara-cara yang disetujui.
  • Memiliki dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat. Mampu memuaskan nafsu-nafsu tersebut dengan cara yang sehat, namun tidak diperbudak oleh nafsu itu sendiri. Mampu menikmati kesenangan hidup, dan bisa cepat pulih dari kelelahan,
  • Adanya sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya dan terhadap kebudayaan namun dia masih memiiki originalitas serta individualitas yang khas dan dapet membedakan perbatan buruk dan yang baik.
  • Memiliki pengetahuan diri yang cukup antara lain bisa menghayati motif-motif hidupnya dalam status kesadaran. Ia menyadari nafsu dan hasratnya, cita-cita dan tujuan hidupnya yang reaistis dan bisa mengatasi ambisi-ambisi dalam batas kenormalan.

Referensi

  • Jung, C.G. (1966). The Problem of the Attitude-Type, in Two Essays on Analytical Psychology, Collected Works, Volume 7 Princeton, N.J.: Princeton University Press. ISBN 0-691-01782-4.
  • Durkheim, Émile. (1895, trans. 1982, first American edition). Rules of Sociological Method. New York: The Free Press. ISBN 978-0029079409.

Pranala luar

  • Lochrie, Karma Desiring Foucault Journal of Medieval and Early Modern Studies – Volume 27, Number 1, Winter 1997, pp. 3–16