Lo Ban Teng
Lo Ban Teng lahir di Tang-Ua-Bee-Kee, kota Cio-bee, propinsi Hok-kian, Tiongkok Tengah pada tanggal 1 bulan keenam tahun 2437 (Masehi 1886), adalah ayah dari Lo Siauw Gok, seorang sinshe dan guru kung fu legendaris Indonesia.
Ayahnya bernama Lo Ka Liong yang memiliki toko arak " Kim Oen Hap", Ia sendiri berasal dari Eng-teng,sebuah kota lain dalam propinsi Hok-kian
Ban Teng yang perawakannya kokoh-kekar semenjak kecil, seorang anak yang 'nakal'. Ketika Ia berusia kira-kira 17 tahun, ayahnya mengirimnya ke Indonesia untuk tinggal di rumah saudara misannya (chin-thong) di kampung Selan, Semarang. Ban Teng tidak kerasan dan hanya berdiam 7 bulan, Ia kembali ke Tiongkok.
Pada usia 19 tahun Ban Teng dikawinkan ayahnya dengan seorang gadis dari Eng-Teng bernama Lie Hong Lan. Dari perkawinan ini ia memperoleh seorang puteri yang dinamakannya Lo Lee Hoa. Ia juga mengangkat seorang anak lelaki untuk menyambung marganya dan dinamakan Lo Siauw Eng.
Ayah dan Ibunya meninggal dunia ketika Ban Teng berusia 23 tahun
Guru silat Ban Teng bernama Yoe Tjoen Gan, seorang antara 5 murid terbaik dari ahli silat Tjoa Giok Beng dari Coan-ciu, pemimpin cabang silat Siauw Lim Ho Yang Pay. Yoe Tjoen Gan adalah seorang pembuat bongpay. Ia meninggal ketika Ban Teng berusia 27 tahun dan mewarisan kepada BanTeng sejilid buku resep-resep obat dan sejilid buku tentang ilmu silat Ho Yang Pay serta sebuah ban pinggang dari kulit yang sampai sekarang masih disimpan para ahli waris Ban Teng).
Ban Teng juga dikenal dengan julukan Pek Bin Kim Kong (Malaikat berwajah putih).
Pek Bin Kim Kong Lo Ban Teng datang kembali ke Semarang - Indonesia di tahun 1927 saat ia berusia kira-kira 41 tahun.Ia mengajak seorang kemenakannya Bernama Lim Tjoei Kang (belakangan namanya juga terkenal dalam kalangan kun-thao di Indonesia) yg dititipkan pada Su-siok Lo Ban Teng yaitu sin-she Sim Yang Tek di Singapura (Sampai sekarang terkenal dalam kalangan persilatan disana)
Belum lama bermukim di Semarang Ban Teng kecantol Go Bin Nio seorang gadis yg ramah halus budi bahasanya. Kemudian nona ini menjadi nyonya Lo yg kedua. Di Tiongkok Ban Teng punya seorang istri dan seorang anak perempuan bernama Lee Hwa.
Setahun kemudian lahir anak pertama dan diberi nama Siauw Hong. Ban Teng bersembahyang kepada arwah gurunya Yoe Tjoen Gan bahwa anak pertamanya diberi marga sesuai gurunya Yoe. Yoe Siauw Hong kemudian hari diserahkan kepada istri pertama Ban Teng di Tiongkok.Lo Ban Teng dari istrinya Go Bin Nio memiliki 12 anak tidak termasuk Lee Hwa dan Siauw Eng .Anak ke 2 Lo Siauw Gok (1931), ke3 Siauw Bok (1934) ke 4 Siauw Tiauw. Tahun 1938 Ban Teng pindah ke Jakarta dan tinggal bersama sin she Lo Boen Lioe (juga jago kun-thao) di Kongsi Besar. anak ke 5 Siauw Loan , ke 6 Siauw Gim, ke 7 Siauw Tjoen, ke 8 Siauw Ling (1943), ke 9 Siauw Tjiok (1947), ke 10 Siauw Tjioe (1949) , ke 11 Siauw Koan (1952), ke 12 Siauw Nyo (1955).
Lo Ban Teng meninggal dunia pada tanggal 27 Juli 1958 dalam usia 72 tahun.
Lo Siauw Gok menjadi ahli waris dan penerus kemahiran silat dan pengobatan dari ayahnya. Informasi terakhir sebagian anak cucu Lo Ban Teng tinggal di pinggiran Jakarta di perumahan "Modernland" - Tangerang.
Kun Tao Istilah KunTao dalam dialek Fu Jian (Hokkian) berasal dari Bahasa Mandarin, yaitu Quan Shu. Kun berarti pukulan, dan Tao berarti jalan. Kun Tao merupakan salah satu nama yang dipakai untuk menyebut teknik beladiri Tiongkok. Setelah pemerintah Tiongkok menstandarisasi bahasa menjadi bahasa persatuan, yaitu bahasa mandarin, maka Kun Tao lebih banyak dipakai untuk bela diri yang berasal dari Tiongkok bagian selatan, maupun yang telah menyebar ke Asia Tenggara.
Ciri khas Kun tao sejak jaman dulu adalah latihannya yang masih tertutup terbatas hanya pada suatu daerah, keluarga, kampung, maupun suatu kelompok tertentu saja, dan belum tentu bermuara kepada teknik-teknik yang terdapat dari biara Shaolin. Bahkan sampai sekarangpun masih banyak terdapat aliran Kun Tao yang menutup diri maupun menyembunyikan inti dari ilmunya kepada orang lain di luar lingkungan mereka.
Gerakan-gerakan yang terdapat dalam Kun Tao banyak yang unik dan terkesan asing oleh praktisi beladiri lain. Kun Tao bukanlah teknik yang dipertunjukkan secara indah. Tapi Kun Tao adalah ilmu yang sesuai dengan jalan alam dan sangat dahsyat serta bertenaga. Intensitasnya adalah untuk mengambil kendali terhadap serangan lawan dan menghancurkannya secara cepat.
Beberapa jenis Kun Tao yang menyebar di Indonesia, banyak yang telah beradaptasi dengan tradisi maupun beladiri lain yang telah ada di tempat tujuan penyebarannya. Salah satu Kun Tao di Indonesia yaitu Kun Tao Lo Ban Teng, yang dikembangkan oleh Siauw Gok Bu Koan (Siauw Gok Martial Art School) yang dipimpin oleh Sifu Lo Hak Loen.
ShaoLin HoYangPay Wu Zu Quan. (sebagian dari isi tulisan ini kami sadur dari beberapa sumber aliran Shaolin Heyang pay Wu Zu Quan yang lain antara lain dari situs resmi Perguruan Kong Han, Filipina.)
Akar dari aliran ini pertama kali ditanamkan oleh Choa Giok Beng (Chua Kiam). Choa lahir tahun 1853, di propinsi Fu Jian, Tiongkok selatan, selama masa dinasti Ching (1644-1911). Beliau tinggal di kampung Pan Be, beberapa mil dari Coan Ciu. meskipun orang tuanya kaya, Giok Beng lebih tertarik dengan latihan bela diri. Kesukaan yang besar terhadap beladiri ini mengantarkannya bertemu dengan salah satu Grand Master Shaolin yaitu Ho yang (He Yang) yang berasal dari propinsi Ho Nan (He Nan).
Selama latihan, Ho Yang menurunkan seluruh ilmunya kepada Giok Beng di perkebunan keluarga Choa. Ketika Ho Yang wafat, beliau mengantarkan jenazah gurunya tersebut sampai ke Ho Nan. Sekembalinya dari Ho Nan, Giok Beng mengambil rute memutar, sehingga membawanya dalam pengembaraan yang sangat sulit selama sepuluh tahun ke seluruh Tiongkok. Selama masa ini, Beng meneliti banyak teknik-teknik dan ide-ide baru dalam beladiri. Terus berlatih dan mengkombinasikan semua teknik itu hingga ia menciptakan sebuah teknik baru dalam beladiri Tiongkok, yang dianggapnya sebagai teknik beladiri pertarungan yang sempurna. Teknik ini dinamakannya HoYang Pay Wu Zu Quan.
Teknik- Teknik yang dimasukkan oleh Choa Giok Beng antara lain : 1. Bai He Quan (Teknik bangau putih dari selatan) 2. Kao Kun (Teknik kera) 3. Tai Cho (Teknik beladiri yang diciptakan Kaisar Tai Zu) 4. Lo Han (Teknik beladiri internal Shaolin) 5. Tat Chun (Teknik latihan baju besi Bodhidharma / Tat Mo)
Bai He memiliki banyak variasi gerakan tangan, siku dan lengan. Kao Kun adalah teknik yang lincah terutama pada teknik penyerangan, bertahan dan teknik perpindahan. Teknik Kaisar Sung Tai Cho pada jaman Dinasty Sung yang menggunakan teknik serangan mengapit, menggunting, dll. Lo Han yang merupakan pelatihan sistem internal memberikan konstribusi pada teknik melangkah. Dan Tat Chun adalah dasar dari pelatihan tubuh para praktisi beladiri ini. Dikabarkan Tat Mo menciptakan dua kitab yaitu Kitab perubah otot (Yak Kun Keng) dan Kitab pembersihan Sumsum (Swe Che Keng). Teknik tersebut diaplikasikan pada latihan beladiri ini.
Setelah menghabiskan masa berkelananya, Choa kembali ke Fu Jian. Disana ia mendapati rumah dan usahanya telah bangkrut karena tidak ada yang mengurus. Choa kemudia berkonsentrasi kepada latihan Kun Tao saja dan membuka sebuah Bu Koan (tempat latihan kuntao) bernama Lin Gi Tong. Di atas pintu, ia menuliskan :” Para tuan yang terhormat mari kita berlatih Sam Chien, dan para pendekar mari meneliti latihan Ngo Ki saya.” Seperti kebiasaan saat itu banyak guru cabang lain yang datang dan menantang Choa. Namun ia tak terkalahkan, sehingga namanya menjadi pembicaraan di seluruh Fu Jian.
Choa tidak terlalu suka dengan kekayaan dan kemakmuran. Hatinya hanya ada pada Kun Tao. Pernah suatu kali ia mengikuti ujian kenegaraan dan lulus. Namun karena kondisi pemerintahan yang kacau dan dilanda korupsi, maka ia pun memutuskan untuk keluar. Choa juga terkenal dengan latihan Pat Hoat nya.
Sebelum berlatih dengan Ho Yang, Choa Giok Beng terlebih dahulu telah menguasai ilmu Tie Sha Cang (telapak pasir besi) dan Gin Kang. Ia juga terkenal dengan sebutan Pan Be Ho (Bangau dari Pan Be). Banyak master aliran lain yang berguru kepadanya. Rumah Choa tidak berpintu, dan hanya terdapat jendela. Orang yang bisa meloncati jendela itu akan diterima Choa sebagai tamu kehormatan. Banyak dari para master itu yang menjadi murid Choa Giok Beng dan pada akhir hidupnya Choa Giok Beng lebih suka berkelana dan hidup sederhana.
Di Coan Ciu, 10 murid terbaik Choa Giok Beng dikenal dengan sebutan Sepuluh Harimau Wu Zu Quan. Mereka adalah :
1. Lim Koei Djie atau Kiu Lu dari Coan Ciu (kepala murid perguruan Choa) 2. Goei In Lam atau Wan Tian Pa 3. Yoe Tjoen Gan (Yu Chiok Sam) 4. Lok Te Kim Kao 5. Ho Hai Sai 6. Tan Tao Sai 7. Hong Kiao 8. Kua Chai Hun Sai 9. Tan Kiong Beng Sai 10. Bicho Seller
Disini para muridnya banyak memakai nama julukan. Sehingga nama asli mereka sendiri banyak dilupakan. Legenda 10 Harimau Wu Zu Quan ini sendiri sangat nyaring gaungnya di seluruh Tiongkok. Melalui kader-kader terbaik merekalah ilmu ini dapat menyebar ke seluruh dunia.
Lo Ban Teng
Pek Bin Kim Kong (Malaikat Berwajah Putih) tulisan ini kami sadur dari harian Star Weekly, tgl 7 - 02 - 1959 Disusun oleh : Tjoa Khek Kjong (dengan perubahan dan penambahan seperlunya)
Sosok Shinshe yang berasal Tiongkok bagian selatan ini, telah menjadi legenda baik di daerah asalnya di kampung Tang Ua Bee Kee, Tjio Bee, Fu Jian, Tiongkok selatan, maupun di Indonesia. Lo Ban Teng lahir tahun 1886. Ayahnya adalah Lo Ka Liong yang juga pemilik sebuah toko arak “Kim Oen Hap”. Ka Liong merupakan seorang pendatang berasal dari daerah Eng Teng.
Sebagai seorang pendatang Ka Liong kerap kali menerima hinaan, pandangan curiga dan perilaku semena-mena dari penduduk di sekitarnya, apalagi melihat Ka Liong adalah seorang yang cukup mapan. Hal ini lazim terjadi di Tiongkok pada waktu itu.
Semasa sekolah, Ban Teng hanya menekuninya selama tiga tahun di sekolah rakyat, karena tidak betah belajar di sana. Ka Liong yang merasa putus asa membujuknya sekolah, akhirnya memutuskan untuk mengajarinya sendiri. Perlakuan anak-anak kampung terhadap Ban Teng kecil pada waktu itu semakin menjadi-jadi. Setiap hari tak ubah neraka baginya. Perkelahian yang selalu berujung kekalahan akibat dikeroyok sudah menjadi menu kesehariannya. Hal ini mengantarkannya berlatih bela diri di bawah bimbingan seorang guru bela diri di desanya. Saat itu umurnya 13 tahun.
Setelah dua tahun berlatih, ia pun mencoba ilmunya, hasilnya ia kalah telak. Bahkan terluka disana-sini. Hal ini membuat sang ayah khawatir, dan mengirimkannya ke rumah saudaranya di Kampung Selan, Semarang, Indonesia. Karena sering dianggap anak yang tidak berguna oleh saudara ayahnya itu, tujuh bulan kemudian Ban Teng akhirnya kembali ke Tiongkok.
Perlakuan masyarakat di sekitarnya terhadap keluarganya tidak berubah, malah semakin meresahkan. Ban Teng tidak mau tinggal diam. Beruntung Sang ayah turun tangan. Ia pun dinikahkan dengan seorang gadis asal Eng Teng bernama Lie Hong Lan. Ketika itu ia berusia 19 tahun. Dari hasil pernikahan ini, ia dikaruniai seorang putri yang nantinya juga merupakan seorang ahli Kun Tao yaitu Lo Lee Hwa. Pada usia 23 tahun berturut-turut ayah dan ibunya meninggal. Hal ini menyebabkan Ban Teng harus menanggung seluruh kehidupan keluarga. Namun niatnya belajar bela diri tidak pernah putus. Beban keluarga bahkan menyebabkan ia harus memungut anak untuk menyambung keturunannya yaitu Lo Siauw Eng.
Suatu hari, melalui seorang pelanggannya memberitahukan cara berlatih memakai sepatu batu untuk meringankan badan. Hal itu langsung membuatnya memesan sepatu tersebut kepada seorang pembuat batu nisan. Hal ini membuat orang tua si pembuat nisan heran dan mempertanyakannya. Setelah mendengar penjelasan Ban Teng, ia malah tertawa terpingkal-pingkal. Jelas tindakannya ini membuat bos muda itu tersinggung. Lalu si orang tua mengajak Ban Teng masuk ke rumahnya. Dan mempertunjukan teknik melempar Tjio So (gembok batu Tiongkok). Ban Teng yang sangat kagum dengan keahlian si orang tua lantas meminta dijadikan murid, namun si orang tua dengan sopan menampiknya. Melalui sahabatnya Ban Teng akhirnya mengetahui bahwa si orang tua bernama Yoe Tjoen Gan, salah satu dari lima murid terbaik aliran Ho Yang Pay Wu Zu Quan pimpinan Choa Giok Beng, yang juga merupakan pembantu terdekatnya. Setelah melalui perjuangan tak kenal lelah, akhirnya Yoe bersedia tinggal di rumah Lo dan mengajar disana. Mula-mula Tjoen Gan tidak mau mengajar inti dari bela diri ini. Hal ini membuat istri Ban Teng menjadi tidak suka dengannya. Sempat terjadi keributan antara kedua pasangan itu, namun akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Hal lain yang merupakan ujian bagi Ban Teng, adalah saat beradu ilmu dengan pegawai tokonya yang menguasai ilmu beladiri dan berbadan besar. Ia kalah telak. Pegawainya menasehati agar tidak mempelajari lagi ilmu dari Yoe, apalagi posturnya tidak menunjukan ia seorang ahli. Ban Teng diam saja tidak menjawab.
Suatu hari saat Ban Teng keluar, murid-murid yang berlatih bersamanya mencoba menguji Yoe Tjoen Gan dengan mengadu tangan karena mereka yakin dengan postur tubuh yang begitu kurus, si tua Yoe pasti kalah. Pertama-tama beliau menolak, tapi karena terus didesak akhirnya ia bersedia. Hasilnya di luar dugaan. Tidak ada yang mampu menahan tangan Yoe. Peristiwa ini membuka mata semua orang akan kehebatan ilmu si orang tua.
Suatu hari untuk urusan bisnis, Ban Teng berangkat ke daerah Amoy. Si orang tua memintanya bertemu dengan Goei In Lam yang berjuluk Hoan Thian Pa (Macan tutul yang membalikkan langit), yang juga merupakan kakak seperguruan Yoe. Sesampainya di tempat Goei, Ban Teng diminta memperagakan hasil latihannya. Bukannya memuji, Goei malah menyuruh pemuda itu segera pulang dan berpesan agar guru Ban Teng lekas menemuinya.
Yoe yang mendengar penuturan Lo Ban Teng segera berangkat ke Amoy. Disana dia dimarahi habis-habisan oleh Goei, yang dianggap telah menyia-nyiakan bakat terpendam muridnya itu. Yoe yang telah terbuka pikirannya akhirnya mengajari seluruh teknik rahasia bela diri ini. Ban Teng menerima seluruh ilmu yang diajarkan Yoe bagaikan orang buta yang menerima mukjizat sehingga bisa melihat. Hatinya sangat senang.
Setelah tiga bulan, Yoe menyuruhnya bertanding lagi dengan pegawai yang pernah mengalahkannya. Hasilnya, hanya dalam dua gebrakan pegawainya sudah tidak mampu berdiri. Hal ini sangat menyenangkan hati Ban Teng. Ia kemudian mencari orang-orang yang dulu mengeroyoknya. Sekali ini pun, ia dikeroyok. Namun, berkat latihan yang matang, ia dapat menjatuhkan semua lawan-lawannya. Hal ini membuat nama Ban Teng menjadi terkenal di seluruh daerah Tjio Bee.
Ketika Yoe wafat, ia telah mewariskan seluruh ilmunya kepada Ban Teng. Pemuda itu sangat berduka atas kematian gurunya itu, dan mengurus upacara pemakamannya seperti layaknya ayah kandung sendiri, serta berkabung untuk gurunya itu. Hal ini membuat hati para paman gurunya terharu. Akhirnya para paman gurunya yang terdiri dari Lim Koei Djie (murid tertua Tjoa Giok Beng), Goei In Lam, dan Ong Tiauw Gan, menurunkan seluruh ilmu mereka baik ilmu Kuntao maupun ilmu pengobatan kepada Ban Teng, sehingga ilmunya pun kian sempurna. Suatu hari anak tertua Lim bertanya mengapa ia menurunkan semua ilmu rahasianya kepada Lo Ban Teng. Lim hanya menjawab :” Kalau bukan kepada Lo Ban Teng, kepada siapa lagi.”
Pada usia 29 tahun, Lo ban Teng mendapat ijin dari paman gurunya untuk membuka toko obat dan menjadi shinshe. Di Tiongkok, Ban Teng sempat beberapa kali mengadu ilmu dengan orang-orang yang suka menjelek-jelekan nama aliran Ho Yang Pay, maupun nama para paman gurunya. Sepak terjangnya yang hebat dan sikapnya yang ksatria membuatnya mendapat julukan Pek Bin Kim Kong (malaikat berwajah putih).
Tahun 1927, Pek Bin Kim Kong mendapat undangan dari sahabatnya yang bernama Jo Kian Ting untuk mengatasi petinju negro yang berbuat onar di Semarang. Ban Teng yang berjiwa setia kawan segera berangkat. Sebelum ke Indonesia, ia menjemput keponakannya yang bernama Lim Tjwee Kang yang sedang menuntut ilmu dari seorang tokoh Ho Yang Pay Wu Zu Quan yang juga temannya yaitu Sim Yang Tek di Singapura. Pertandingan itu batal diselenggarakan karena tidak mendapat ijin. Nama Ban Teng mulai mendapat sorotan dari kalangan penduduk Tionghoa Semarang saat mengadakan pertunjukkan barongsai hidung hijau.
Di Indonesia, shinshe ini menikah dengan seorang gadis bernama Go Bin Nio dan membuahkan putra pertama bernama Siauw Hong. Karena sumpahnya kepada mendiang gurunya bahwa putra pertama darah dagingnya akan diserahkan menjadi anak gurunya, maka Ban Teng merubah marga anaknya menjadi marga Yoe. Pada akhir tahun 1930, lahir Siauw Gok, yang nantinya merupakan ahli waris langsung dari shinshe Lo Ban Teng baik dalam ilmu kuntao, perguruan, maupun ilmu pengobatannya. Pada tahun 1933, keluarga Ban Teng pindah ke Batavia, tepatnya di daerah Kongsi Besar. Lalu berturut-turut, lahir Siauw Bok (1934), Siauw Tiauw (pemain tenis meja ternama di jamannya), Siauw Loan, Siauw Gim, tahun 1941, ketika Jepang masuk ke Indonesia, Ban Teng pindah ke Solo di rumah Lim Tjwee Kang, kemudian mempunyai rumah sendiri. Siauw Tjoen (1941), Siauw Ling (1943), Siauw Tjiok (1947), Siauw Tjioe (1949), Siauw Koan (1952), dan Siauw N’jo (1955).
Shinshe Lo Ban Teng yang berumah di Jelakeng, akhirnya mewariskan seluruh ilmu Kun Tao dan ilmu pengobatannya kepada Lo Siauw Gok. Lo Ban Teng menjadi legenda selama hidupnya terutama di kawasan Glodok. Shinshe Lo Ban Teng menghembuskan napas terakhir tanggal 27 Juli 1958 dalam usia 72 tahun. Pada saat akan dikremasi, terjadi keanehan, dimana kayu yang digunakan untuk membakar sudah habis, tapi jenasah belum habis terbakar. Hal ini terkait oleh perkataan Ban Teng sesaat sebelum meninggal bahwa ia akan menunjukkan kehebatannya terakhir kali. Setelah Lo Siauw Gok berdoa dan mengakui bahwa ayahnya itu memang hebat, barulah jenazah itu terbakar. Percaya atau tidak, itulah fakta nyatanya.
Lo Siauw Gok
Tiong Tee Eng Hiong (Pria Gagah yang Setia dan Berkebajikan)
“Pria Gagah yang Setia dan Berkebajikan” adalah julukan yang diberikan oleh para murid Siauw Gok Bu Koan kepada Sang Maestro yang merintis perguruan ini dari nol. Tidak banyak cerita ataupun cacatan sejarah resmi mengenai Guru Besar Lo Siauw Gok. Anak tertua di Indonesia dari Shinshe Lo Ban Teng dari istrinya yang bernama Go Bin Nio ini lahir pada tanggal 9 Desember 1930.
Siauw Gok sejak kecil telah menjadi tumpuan harapan ayahnya untuk meneruskan warisan ilmu Kun Tao maupun ilmu pengobatan. Maka, iapun dilatih keras oleh ayahnya siang dan malam. Tapi, seperti remaja pada umumnya, ia lebih suka bermain dan berpesiar daripada berlatih.
Pada masa sekolahnya, Siauw Gok sering terlibat perkelahian yang berujung kekalahan pada pihaknya. Hal itu menjadi ejekan teman-teman sebayanya karena mereka mengetahui bahwa ia akan menjadi pewaris dari Shinshe Lo Ban Teng yang terkenal, tapi malah kalah dalam berkelahi.
Memasuki masa remaja, mulai terbuka pikirannya mengenai seni bela diri ini, lalu bermaksud sungguh-sungguh mendalaminya. Hal ini sangat menyenangkan hati ayahnya yang kemudian menggenjotnya dengan latihan yang sangat berat. Ketika melakukan kesalahan, Siauw Gok remaja akan dimaki habis-habisan. Begitu juga saat latihan fisik seperti Ngo Ki (tangan), dan Kong Ka (kaki) ia merasakan gemblengan yang begitu berat.
Latihan yang berat dari ayahnya itu malah membuatnya patah semangat. Dia sudah ketakutan sebelum memulai latihan, apalagi kalau sudah mendengar suara langkah Shinshe Lo Ban Teng yang sedang menunggunya di loteng untuk memulai latihan. Calon pewaris muda inipun semakin hari semakin enggan untuk berlatih bahkan terbesit dalam pikirannya untuk mencari guru bela diri lain. Beruntung Ibunya dapat menengahi situasi ini. Untuk sementara Siauw Gok cuti latihan.
Pada suatu hari datanglah seorang murid yang juga ahli beladiri berasal dari Tiongkok yang bermaksud menimbah ilmu di bawah bimbingan Shinshe Lo Ban Teng yang pada saat itu namanya telah terkenal baik di kota asalnya Tjiobee di propinsi Fu Jian, Tiongkok maupun di Jakarta. Sang Maestro meminta anaknya ini untuk berlatih Ngo Ki dengan murid tersebut. Semakin lama latihan bersama, ternyata Siauw Gok tidak mampu lagi berlatih Ngo Ki dengan teman barunya ini. Hal ini menjadi pergunjingan anggota keluarga yang lain. Bahkan ada juga anggota keluarga yang mengkritiknya dengan pedas : ” Kamu tidak mau belajar dengan giat, semakin ditegur ayahmu, kamu semakin malas. Kamu ini anak yang tidak berguna. Kalau ayahmu meninggal, pasti kamu menjadi gembel.”
Kritikan pedas ini ternyata benar-benar membuka pikiran dan mengobarkan semangatnya sehingga ia menemui ayahnya dan berlutut memohon ayahnya melatih dia kembali. Sang ayah sangat terharu dengan ketulusan anaknya itu sehingga menjanjikan kepada anaknya bahwa dalam waktu 3 bulan, anaknya itu akan memperoleh kemajuan yang pesat.
Setelah 3 bulan berlatih, Siauw Gok pun diminta ayahnya untuk kembali berlatih dengan murid yang dahulu datang meminta petunjuk itu. Hasilnya sungguh mencengangkan, hanya beberapa set melakukan Ngo Ki, murid itu tidak sanggup lagi menahan tangan pemuda ini. Peristiwa tersebut makin memantapkan hati Siauw Gok untuk berlatih sungguh-sungguh di bawah bimbingan Shin She Lo Ban Teng langsung. Sejak itu, sekeras apapun latihan yang didapatnya, ia terus berlatih dengan giat. Semakin keras semakin giat, kira-kira itulah mottonya.
Pada Bulan Desember 1950, calon shinshe ini menikah dengan seorang gadis bernama Kwee Hoen Nio yang kemudian memberikannya seorang putri bernama Lo Hak Soan (1953), dan dua orang putra yaitu Lo Hak Seng (1958, pewaris ilmu pengobatan), dan Lo Hak Loen (1963, pewaris perguruan dan ilmu Kun Tao).
Pada tahun 1952, Shinshe Lo Siauw Gok yang telah sempurna ilmunya itu pindah ke Bandung tepatnya di jalan Kopo dan membuka sebuah toko obat. Namun nasib kurang baik menimpanya, pada tahun 1954 rumah dan toko obatnya kebakaran.
Pek Bin Kim Kong (julukan Shinshe Lo Ban Teng) yang mengetahui peristiwa itu segera meminta Tiong Tee Eng Hiong ini kembali ke Jakarta. Kemudian Shinshe muda ini menjadi wakil ayahnya mengajar di sana. Selama di Jelakeng, Sang Maestro muda inilah ditugaskan ayahnya untuk mengajar adik-adiknya serta para murid ayahnya.
Di Jakarta, ia menetap di Gang Pendidikan, sekarang dekat ITC Roxy Mas, Jakarta Pusat. Di sini lah awal mula terbentuknya Siauw Gok Bu Koan secara tidak langsung, dimana para murid berbakat yang nantinya sebagian besar menjadi asisten pelatih beliau ditempa. Atas seijin ayahnya beliau membuka sebuah koan (tempat latihan) di Gang Teratai, samping Restoran Angke, Jembatan Lima, Jakarta Barat.
Setelah itu pindah ke Kebon Kacang I, Tenabang (Tanah Abang), Jakarta Barat atas tawaran shinshe yang pernah meminta petunjuk kepada ayahnya dan berlatih bersama Siauw Gok dulu. Belum genap setahun, ia memindahkan lagi Koan ke rumahnya. Sekitar tahun 1960, beliau membuka tempat latihan di daerah Sie Ho, Kota, Jakarta Pusat. Total murid di sini sekitar seratusan orang. Koan di Sie Ho tutup saat terjadinya peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, dimana seluruh budaya yang berbau Tionghoa dilarang.
Setelah keadaan stabil, Shinshe Lo Siauw Gok mulai membuka latihan lagi tahun 1976 di rumahnya di gang anggur, Jembatan Dua, Jakarta Utara. Pewaris beliau, Lo Hak Loen yang ketika itu berusia 13 tahun mulai berlatih. Di sini lah tempat latihan terlama yang beliau dirikan. Pada usia 19 tahun, Hak Loen mulai menggantikan ayahnya untuk melatih para murid. Pada era 1980-an, Guru besar ini pindah ke Tangerang tepatnya di perumahan batu ceper indah, hingga menjelang wafatnya pada tanggal 7 Juli 1991 Jenazah Lo Siauw Gok dikremasi dan abunya disebarkan di laut sesuai dengan permintaan terakhirnya. Lo Hak Loen sendiri pindah ke Taman Permata Indah II, Jakarata Utara, dimana disini juga didirikan Koan oleh Shinshe Lo Siauw Gok, dan dipegang langsung oleh Alun (sapaan akrab Lo Hak Loen).
Menurut penuturan sejumlah muridnya, Lo Siauw Gok merupakan sosok yang karismatik, mudah bergaul, disegani, humoris, dekat dengan para muridnya, dan adil. Satu sifat Sang guru besar yang selalu diteladani oleh para muridnya adalah Beliau tidak pernah mau berdebat dengan orang lain.
Pernah suatu kali Beliau diundang oleh mantan muridnya untuk menghadiri pesta pernikahan yang diselenggarakan di Bandung. Ketika itu ia datang bersama muridnya. Karena pesta diadakan keesokan harinya, maka murid yang mengundang Sang guru hendak mempersiapkan sebuah kamar mewah kepada mereka. Namun, ternyata Shinshe Lo Siauw Gok lebih memilih tinggal di gubug reyot di jalan Situ Sawur, Bandung yang merupakan tempat tinggal muridnya yang sehari-harinya bekerja sebagai pengumpul koran bekas. Disana Siauw Gok terlihat lebih leluasa. Selama beberapa hari disana, Shinshe ini juga memberikan sejumlah uang untuk membantu keuangan muridnya. Dari cerita ini, kita bisa melihat kepribadian mulia dari sosok Beliau sebagai seorang ahli waris langsung Shinshe Lo Ban Teng.
Lo Hak Loen
Sifu yang lahir pada tanggal 21 April 1963 ini merupakan putra kedua anak ketiga dari Shinshe Lo Siauw Gok. Lo Hak Loen sejak kecil telah memperlihatkan minatnya yang besar terhadap Kun Tao yang merupakan warisan dari kakeknya dan bertekad mengembangkannya.
Beliau yang sangat disayang oleh ayahnya itu, memulai latihan pada usia 13 tahun, ketika rumah keluarga mereka bertempat di gang Anggur, Jembatan Dua, Jakarta Barat. Pada saat itu, ayahnya menugaskan sang kakak pertama, yang bernama Lo Hak Soan, untuk mengajari Hak Loen selama kurang lebih empat bulan yaitu mempelajari dasar2 dari Kuntao lembut (Yin).
Melihat bakat dan perkembangannya, Sang ayah memutuskan untuk mengajarkan sendiri seluruh ilmu Kun Taonya kepada Alun (panggilan akrab Sifu Lo Hak Loen).Menjelang tahun-tahun terakhir hidupnya sebelum meninggal, Sin She Lo Siauw Gok mewarisi Hak Loen seluruh ilmu Kun Tao & Perguruan oleh ayahnya. Hak Loen sendiri mulai mengajar aliran KunTao Lo Ban Teng sejak berusia 19 tahun, saat lokasi Bu Koan (tempat latihan Kun Tao) bertempat di Jembatan Dua. Lo Hak Loen pun mulai turun tangan sebagai wakil ayahnya untuk melatih, baik murid lama dari sang ayah & murid baru. Namun semua latihan tetap di bawah pengawasan ayahnya.
Setelah Sinshe Lo Siauw Gok lanjut usai dan pindah ke daerah Batu Ceper, Tangerang, Sifu muda ini membuka sebuah Koan di daerah Taman Permata Indah II (TPI II), Jakarta Utara. Karena TPI II sering terkena banjir, maka Alun pun menutup perguruannya. Setelah, sang ayah wafat tahun 1991, perguruan yang dipimpinnya sempat vakum.
Setelah lima tahun vakum, Hak Loen mulai kembali membuka perguruannya, serta memodernisasi cara pengajaran maupun tahapan latihannya. Para Murid ayahnya yang dianggap memiliki dedikasi dan mendukung rencananya dihubungi dan diminta untuk membantu mengarahkan organisasi Siauw Gok Bu Koan, yang merupakan warisan dari Sinshe Lo Siauw Gok.
Alun pun merekrut beberapa murid yang dianggap memiliki potensi dalam ilmu bela diri ini, untuk kemudian dilatih secara khusus dan dijadikan asisten pelatih untuk membuka Bu Koan. Seiring dengan derasnya rasa ingin tahu publik terhadap kuntao warisan ini, maka banyak sekali tawaran membuka Bu Koan. Dan sampai saat ini, Bu Koan yang telah dibuka telah lebih dari lima Bu Koan, dengan pusatnya di perumahan Batu Ceper Indah, Tangerang .
Perkembangan Bu Koan ini ditandai dengan makin membludaknya peminat seni bela diri ini dan tawaran untuk mengadakan pertunjukkan di mana-mana. Kini seiring dengan makin mantapnya organisasi yang terbentuk, Hak Loen yang juga memproduksi Obat Gosok ”Hulu” yang berasal dari resep pusaka warisan keluarganya, juga mulai mengembangkan kurikulum baru dan mencetak kader-kader murid yang handal.
Lo Hak Loen menikah dengan seorang gadis yang bernama Ratna Suryanti pada tahun 1987 dan dikaruniai dua orang putra masing-masing bernama Lo Han Piauw (1988) dan Lo Han Tiong (1991). Keduanya dididik dan dilatih langsung secara keras untuk meneruskan warisan tradisi keluarga ini.
Siauw Gok Bu Koan
Sebagai salah satu perguruan seni bela diri Kun Tao di Indonesia, Siauw Gok Bu Koan telah menjadi ikon bela diri yang berasal dari Tiongkok ini.
Nama perguruan diambil dari nama Guru besar perguruan ini yaitu Sinshe Lo Siauw Gok, yang merupakan anak dari Shin She Lo Ban Teng yang merupakan ahli waris dari Shaolin Hoyang pay Wu Zu Quan atau Shaolin He Yang Yi Ming Pay.
Siauw Gok Bu Koan mulai dikenal sejak Sinshe Lo Siauw Gok mulai membuka kelas latihan di Bandung sekitar tahun 1952. Lalu pindah ke Jakarta sekitar tahun 1954.
Pada fase awal ini, para murid dilatih memakai sistem latihan tradisional, dimana pada masa ini tidak mengenal sistem kenaikan tingkat. Setiap murid berlatih memakai kain selendang pada pinggang (Sabuk kalau dalam beladiri lain) yang sama warnanya.
Murid-murid yang dianggap berbakat dan mampu menguasai suatu teknik maupun jurus, akan mendapatkan penambahan yang lebih mendalam. Bagi yang belum mampu, tidak diperkenankan melanjutkan pembelajaran teknik yang lebih tinggi.
Awalnya, para asisten perguruan ini dilatih terlebih dahulu oleh Sinshe Lo Siauw Gok di rumahnya di gang pendidikan, dekat ITC Roxy Mas, Jakarta Pusat. Lalu para asisten inilah kemudian yang melatih para murid di beberapa tempat latihan. Bu Koan ini mengalami kemajuan pesat saat membuka cabang di daerah Sie Ho(di daerah toko tiga) Jakarta Barat.
Pada saat latihan, para murid yang telah selesai berlatih akan memperagakan teknik yang telah didapatkan dari para asisten pelatihnya di depan Sang Guru Besar. Guru Besar Sinshe Lo Siauw Gok akan memperbaiki gerakan-gerakan yang dirasa kurang tepat. Para murid yang telah selesai berlatih akan mendapatkan sertifikat kelulusan dalam bahasa Mandarin dan Inggris.
Tradisi ini berlangsung sampai saat perguruan pindah ke Taman Permata Indah II, Jakarta Utara, sekitar tahun 1980 an. Setelah Sinshe Lo Siauw Gok ini wafat, perguruan Siauw Gok Bu koan diwariskan kepada putra bungsunya, Lo Hak Loen.
Lo Hak Loen mengembangkan teknik latihan menggunakan sistem pembagian tingkatan, dimana penekanan setiap tingkatannya berbeda-beda. Kenaikan tingkat akan berlangsung setiap semester sekitar bulan April dan bulan Oktober setiap tahunnya. Selain itu, Juga merekrut beberapa murid ayahnya yang dianggap memiliki dedikasi dan mau bekerja sama untuk mengembangkan perguruan.
Selama beberapa tahun kepemimpinan Hak Loen, Siauw Gok Bu Koan telah menyebar di beberapa tempat di Tangerang maupun Jakarta antara lain di Batu Ceper Indah (Pusat perguruan, Tangerang), Modernland (Tangerang), Villa Melati Mas (Tangerang), Bukit Serpong Permai (BSD, Tangerang), Jelambar (Jakarta Barat), Puri Gardena (Jakarta Barat), dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan perguruan maupun murid-murid yang telah merasakan manfaat bela diri ini, banyak tawaran untuk membuka Bu Koan (tempat latihan) di beberapa daerah antara lain Surabaya, Bogor, Makasar, Bandung, dan sebagainya. Bahkan mendapatkan tawaran membuka perguruan di Luar Negeri, seperti di Amerika Serikat, Jerman, dan China.
Di Jerman, Hak Loen mempunyai beberapa orang murid yang telah membuka cabang perguruan..
Para murid lama maupun murid baru yang sedang berlatih di bawah pengawasan Lo Hak Loen banyak yang menjadi pengurus di beberapa cabang olahraga yang lain.
Lo Hak Loen juga merupakan pemilik dari PT. Hans Bersaudara yang memproduksi obat gosok tradisional merk HULU.
Mulai terbukanya sistim perguruan, membuat Siauw Gok Bu koan menerima banyak undangan untuk mempertunjukkan teknik bela diri khas perguruan ini. Antara lain di Gandhi School, Senayan City, La Piaza Kelapa Gading, Plaza Beleza, Taman Anggrek Mall, dll.
Saat ini Siauw Gok Bu Koan pimpinan Lo Hak Loen yang bermuara kepada seni bela diri Kun Tao yang diwariskan oleh Sinshe Lo Siauw Gok ini memiliki nama lengkap :
”Seni Bela Diri Kun Tao Aliran Lo Ban Teng” ”Siauw Gok Bu Koan” ”Lo Hak Loen Toan”