Lompat ke isi

Benteng De Kock

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tetenger di tempat berdirinya Fort de Kock

Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Fort de Kock juga nama lama Bukittinggi.

Benteng ini dibangun semasa Perang Paderi pada tahun 1825 oleh Kapten Bauer di atas Bukit Jirek dan awalnya dinamai Sterrenschans. Kemudian, namanya diubah menjadi Fort de Kock, menurut Hendrik Merkus de Kock, tokoh militer Belanda.

Pada tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh sebuah kota yang juga bernama Fort de Kock, kini Bukittinggi.[1]

Semasa pemerintahan Be­lan­da, Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat peme­rintahan, kota ini disebut sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Sejak tahun 1825 pemerintah koloial Belan­da telah mendirikan sebuah benteng di kota ini sebagai tempat pertahanan, yang hingga kini para wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut yaitu Fort de Kock. Selain itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat peme­rintahan dan tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda, namun juga dijadikan sebagai tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.

Fort de Kock juga diba­ngun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda telah berhasil menduduki daerah di Sumatera Barat. Benteng tersebut meru­pakan tanda penjajahan dan perluasan kekuasaan Belanda terhadap Bukittinggi, Agam, dan Pasaman. Belanda memang cerdik untuk menduduki Su­ma­tera Barat, mereka meman­faatkan konflik intern saat itu, yaitu konflik yang terjadi antara kelompok adat dan kelompok agama. Bahkan Belanda sendiri ikut membantu kelompok adat, guna menekan kelompok aga­ma selama Perang Paderi yang berlangsung 1821 hingga tahun 1837.

Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda diperbolehkan membangun basis pertahan militer yang dibangun Kaptain Bauer di puncak Bukit Jirek Hill, yang kemudian diberi nama Fort de Kock.

Setelah membangun di Bukit Jirek, Pemerintah Kolo­nial Belanda pun melanjutkan rencananyamengambil alih beberapa bukit lagi seperti Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malam­bung. Di daerah tersebut juga dibangun gedung perkantoran, rumah dinas pemerintah, kom­pleks pemakaman, pasar, sarana transportasi, sekolah juga tempat rekreasi. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda tersebut dalam istilah Minangkabau dikenal dengan “tajua nagari ka Bulando” yang berarti Terjual negeri pada Belanda. Di masa itu memang, Kolonial Belanda menguasai 75 persen wilayah dari lima desa yang dijadikan pusat perdagangan.

Keadaan sekarang

Sejak direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh pemerintah daerah, Fort de Kock, kawasan benteng kini menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park). Hingga saat ini, Benteng Fort de Kock masih ada sebagai bangunan bercat putih-hijau setinggi 20 m. Benteng Fort de Kock dilengkapi dengan meriam kecil di keempat sudutnya. Kawasan sekitar benteng sudah dipugar oleh pemerintah daerah menjadi sebuah taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak-anak.

Benteng ini berada di lokasi yang sama dengan Kebun Binatang Bukittinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang. Kawasan benteng terletak di bukit sebelah kiri pintu masuk sedangkan kawasan kebun binatang dan museum berbentuk rumah gadang tersebut berada di bukit sebelah kanan. Keduanya dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya dalam kota Bukit Tinggi. Kawasan ini hanya terletak 1 km dari pusat kota Bukittinggi di kawasan Jam Gadang, tepatnya di terusan jalan Tuanku nan Renceh. benteng ini adalah satu dari 2 benteng belanda yang ada di sumatera barat , yang satu lagi terletak di Batusangkar dengan nama benteng Fort Van der Capellen karna 2 kota inilah dahulu yang paling susah ditaklukan belanda saat peran paderi

Catatan Kaki

Referensi

  • Amir B, 2000, “Sejarah Sumatera Barat. Fakultas Ilmu Sosial”, UNP, Padang,
  • Azizah Etek, Syahril Tanjung, Yosmardin, Mursyid A.M, Nazief E.S, Reno Oktaviani,2004 “Dinamika Pemerintah Lokal Kota Bukittinggi”, Kerjasama Pemerintah Kota Bukittinggi Lembaga Pengembangan Masyarakat, Institut Ilmu Pengetahuan LPM-IIP, Bukittinggi.

Bappeda dan Badan Statistik Kota Bukittinggi, Bukittinggi dalam Angka 2002, Bukittinggi : Kerjasama Dinas Bappeda dan Badan Pusat Statistik. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minagkabau, 1978, Sejarah perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau 1945-1950, Jakarta : BPSIM. Boestamam Iskandar, “Kesan dan Pengalaman Dikaitkan Sejarah Taman Bundo KanduangKodya Bukittinggi, Bukittinggi: Dinas Taman Bundo Kanduang, 1993. Edison, “Taman Bundo KanduangBukittinggi 1980-1993”. Skripsi, Padang: Jurusan sejarah, Universitas Andalas, 1994. Hardinoto, Paulus H Sohargo, ”Pengembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang”. Malang: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. J. Pangklaykim dan Hazil Tanzil, Manajemen Suatru Pengatar, Jakarta. Ghalia Indonesia, 1982. Marjani Martamin, “Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949”. Padang : Proyek investasi dan dokumentasi kebudayaan daerah. Pusat penelitian sejarah, Dep P dan K, 1979/1980.

  • Syafni Arita, ”Bukittinggi Kota Wisata Suatu Kajian Historis 1984-2000”. Skripsi, Padang: Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang, 2001.
  • Wawancara dengan Soedirman, Bukittinggi: Tanggal 5 Januari 2005.
  • Zul Asri, 2001, “Bukittinggi 1945-1980, Perkembangan Kota Secara Fisik dan Hubungannya dengan Kepemilikan Tanah”, Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok.

Lihat Pula