Muktazilah
Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basra, Irak, di abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atho (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atho berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Mu’taziliyah memiliki 5 ajaran pokoq, yakni :
- Tauhid. Mereka berpendapat :
- Tak mengakui sifat Allah SWT, sebab yang dikatakan orang sebagai sifatNya ialah dzatNya sendiri.
- al-Qur-an ialah makhluk.
- Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Ia.
- KeadilanNya. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya.
- Janji dan ancaman. Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat.
- Posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan Wasil bin Atho yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin berdosa besar, statusnya di antara mukmin dan kafir, yakni fasik.
- Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela). Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih.
A liran Mu’taziliyah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.
Tokoh-tokoh Mu’taziliyah yang terkenal ialah :
- Wasil bin Atho, lahir di Madinah, pelopor ajaran ini.
- Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq Mu’taziliyah.
- an-Nazzam, murid Abu Huzail al-Allaf.
- Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahab/al-Jubba’i (849-915 M).
Meski kini Mu’taziliyah tiada lagi, namun pemikiran rasionalnya sering digali cendekiawan Muslim dan nonmuslim.