Lompat ke isi

Sima, Moga, Pemalang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sima
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenPemalang
KecamatanMoga
Kode pos
52354
Kode Kemendagri33.27.01.2004 Edit nilai pada Wikidata
Luas- km²
Jumlah penduduk17.400 jiwa
Kepadatan- jiwa/km²


Sima

Sima adalah desa di kecamatan Moga, Pemalang, Jawa Tengah, Indonesia. Terletak di kaki Gunung Slamet-Jateng, desa Sima berada di ketinggian 500-600mdpl. Desa dengan jumlah penduduk kurang-lebih 17.000 jiwa, mata pencaharian utama penduduknya adalah bertani dan berladang. Desa Sima secara administratif terbagi dalam 5 dusun, masing-masing dusun di kepalai oleh seorang Kepala Dusun (Kadus).

Dusun

  1. Krajan
  2. Gintung
  3. Tretep
  4. Karangbulu
  5. Pingit

Potensi

Wisata

Di desa ini terdapat beberapa lokasi wisata yang cukup menarik diantaranya:


Perkebunan Teh Joglo Sijago merupakan salah satu dari kurang-lebih 400 hektar kawasan perkebunan teh milik PTPN Semugih Pesantren di Dusun Simadu, Banyumudal. Area Perkebunan Teh Joglo Si Jago terletak di dusun Sidamulya - Desa Sima. Terletak +/- 2 km dari jalan raya Moga-Karangsari.

PT Perkebunan Sumugih yang berada di lereng Gunung Slamet bagian utara itu, memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan lokasi PT Perkebunan Teh Tambi, di Kabupaten Wonosobo, PT Perkebunan Teh Jolotigo di Kabupaten Pekalongan, dan PT Perkebunan Teh Kaligua di Kabupaten Tegal.

Dikatakan memiliki kelebihan, sebab letak PT Perkebunan Sumugih sangat mudah dicapai terletak di jalur jalan raya Moga-Pulosari yang jalannya halus dan mulus. Luas perkebunan itu kurang-lebih 400 ha, fasilitasnya juga seperti yang ada di PT Perkebunan Tambi, dan lain-lainnya, yang sudah cukup memadai.

Di sana sudah ada mess yang dapat dijadikan penginapan, sekarang ada 17 kamar, ada aula, lapangan tenis, lapangan voli, lapangan sepak bola, tempat camping, dan pabriknya dengan jalan raya hanya beberapa meter (sekitar 200 meter saja). Pemandangan alam di sana juga indah tidak kalah dengan Tambi, Jolotigo, dan sebagainya.

Untuk saat sekarang telah dioperasikan juga pada tanggal 9 Januari 2012 Pondok Wisata Simadu sebagai salah satu unit produksi SMK Pariwisata Liberty PEMALANG. Dengan suasana alam yg indah dan sejuk serta letaknya yang tidak jauh dari kebun teh menjadikan Pondok Wisata Simadu tempat yang asyik dan sehat untuk bermalam, dengan suguhan makanan khas tradisional dan suara alam akan menjadi kenangan tidak terlupakan

Udara sejuk, suasana nyaman, aman, dari jauh tampak Gunung Slamet nan indah. Sayang potensi seperti itu, belum banyak dimanfaatkan untuk kegiatan agrowisata khususnya oleh masyarakat Pemalang. Para remaja, para pejabat, PKK, para siswa SD, SLTP, SLTA, seperti belum tahu bahwa di daerahnya ada potensi agrowisata yang baik, indah, sejuk, dan nyaman. Kalau potensi itu dikembangkan bersama Pemda Kabupaten Pemalang, maka dapat saja semua kegiatan apakah itu rapat-rapat, rekreasi keluarga, studi tur siswa, digalakkan ke sana. Apalagi kalau digabungkan dengan Pesanggrahan Moga yang memiliki kolam renang alami, sebab jaraknya hanya 1,5 km, maka potensi itu akan saling mengisi.(Diolah dari berbagai sumber/Elf)


Berkas:Sibedil.jpg


Sibedil, adalah sebuah Curug/air terjun alami dengan ketinggian +/- 10 meter ini terletak di Dusun Karangbulu, Desa Sima - Kec. Moga. Dinamai Sibedil karena tidak jauh dari curug/air terjun terdapat sebuah batu yang bentuknya mirip moncong senapan atau lebih tepatnya moncong meriam yang oleh warga sekitar disebut bedil. Kata bedil/senapan lambat laun menjadi akrab ditelinga dengan pengucapan Sibedil.

Konon, menurut cerita para sesepuh warga, pada masa lalu dan diwaktu-waktu tertentu seperti malam jumat, batu yang menyerupai moncong meriam itu sering mengeluarkan suara dentuman mirip suara senapan/bedil, cerita ini melegenda berdasarkan cerita dari mulut ke mulut. Sampai sekarang kebenarannya masih simpang-siur, Wallahu a'lam bi shawab.

Obyek wisata ini hampir tak tersentuh pembangunan oleh pemerintah. Segala fasilitas yang ada merupakan hasil swadaya masyarakat sekitar.

Daya tarik Curug Sibedil, selain keaslian alamnya juga jumlah air terjunnya yang tidak cuma satu tapi banyak dan berjejer di samping air terjun terbesarnya. Curug ini menyajikan suasana damai sehingga tempat ini cocok untuk melepas kejenuhan dari rutinitas sehari-hari. Apalagi bagi yang suka fotografi menyajikan pemandangan yang memukau.

Seni dan Budaya

Jaran Ebek

Sepanjang Pulau Jawa mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, sampai Jawa Timur dikenal tari Jathilan sebagai tari tontonan barangan dengan memungut uang sekedarnya dari para penonton. Di Jawa Barat disebut Kuda Lumping atau Kuda Kepang. Di Jawa Tengah ada yang bernama Incling, Jathilan, Jaran Kepang, Reyog, Oglek, dan sebagainya. Di Jawa Timur juga dikenal dengan nama Jaran Kepang, Jaran Dhor, dan Jathilan. Tak terkecuali di Desa Sima, Moga, Pemalang, juga memiliki kesenian Kuda Lumping yang oleh masyarakat sekitar disebut dengan istilah Jaran Ebeg

Tariannya biasa dibawakan oleh laki-laki semua berpasangan. Kecuali seorang pawang selalu menyertai mereka dan mengikuti jalannya pertunjukkan. Dilihat dari latar belakang sejarah, tarian ini merupakan tarian rakyat yang paling tua di Jawa. Tari yang selalu dilengkapi dengan perlengkapan tari yang terbuat dari anyaman bambu berupa kuda kepang ini lazim dipertunjukkan sampai puncak, yaitu saat salah seorang penarinya tidak sadarkan diri (ndadi/kesurupan). Dalam keadaan demikian yang bersangkutan akan melakukan hal-hal yang menyerupai kuda atau binatang-binatang yang lainnya. Penari yang sedang ndadi akan makan makanan kuda, yaitu rumput bercapur air sekam. Tanpa alat lain dengan hanya menggunakan gigi ia mampu mengupas kelapa yang masih bersabut. Seringkali pula makan bunga dan kemenyan serta pecahan kaca tanpa merasakan sakit.

Tindak tanduk dan dengusan para penari mirip dengan kuda ini bisa jadi merupakan tarian upacara pada zaman purba untuk memanggil roh binatang totem yang berupa kuda yang diharapkan dapat melindungi masyarakat. Di Bali tarian semacam ini masih ada hingga sekarang yang bernama tari Sang Hyang Jaran. Dalam perkembangannya, tidak lagi berfungsi di dalam upacara. Saat ini lebih banyak terlihat sebagai tarian barangan. Bentuknya pun menjadi macam-macam, ada yang berkembang menjadi dramatari yang menceritakan cerita Panji, dan ada pula yang dilakukan oleh wanita. Pertunjukkan

Tarian diiringi musik gamelan seperti: gong, kenong, kendang, dan slompret. Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain kesenian ini, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis sampai terjadinya kesurupan. Dengan menaiki kuda-kudaan dari anyaman bambu, penunggang kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya. Beling yang dimakan adalah bohlam lampu yang biasa sebagai penerang rumah kita. Lahapnya ia memakan beling seperti layaknya orang kelaparan, tidak meringis kesakitan, dan tidak ada darah pada saat ia menyantap beling-beling tersebut. Selain atraksi makan beling dan mengupas sabut kelapa juga ada atraksi semburan api. Semburan api keluar dari mulut para pemain lainnya, diawali dengan menampung bensin di dalam mulut mereka lalu disemburkan pada sebuah api yang menyala pada setangkai besi kecil yang ujungnya dibuat sedemikian rupa agar api tidak mati sebelum dan sesudah bensin itu disemburkan dari mulutnya. Makna lain yang terkandung dalam pertunjukkan ini adalah warna. Adapun warna yang sangat dominan pada permaian ini, yaitu: merah, putih, dan hitam. Warna merah melambangkan sebuah keberanian serta semangat. Warna putih melambangkan kesucian yang ada di dalam hati juga pikiran yang merefleksikan semua panca indera sehingga dapat dijadikan sebagai panutan warna hitam. Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya, tarian dilakukan di bawah pengawasan seorang pawang atau pemimpin. Biasanya, pimpinan ini adalah seorang yang memiliki ilmu gaib yang tinggi yang dapat mengembalikan sang penari kembali ke kesadaran seperti sedia kala. Dia juga bertanggung jawab terhadap jalannya atraksi, serta menyembuhkan sakit yang dialami oleh pemain jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan sakit atau luka pada si penari. Oleh karena itu, walaupun dianggap sebagai permainan rakyat, pertunjukkan ini tidak dapat dimainkan oleh sembarang orang, tetapi harus di bawah petunjuk dan pengawasan sang pimpinannya.


Kuntulan)

Kesenian ini mulai dikenal masyarakat Pemalang pada sekitar awal abad 20 yaitu pada saat tanah air banyak muncul pergerakan kebangsaan. Tokoh-tokoh masyarakat Pemalang pada saat itu tak mau ketinggalan, ikut dalam kancah perjuangan nasional.

Dibentuklah perkumpulan bela diri, khususnya Pencak Silat. Kegiatan bela diri ini ketika itu biar semakin menarik maka ditambah dengan iringan rebana/terbang dan bedug serta dikumandangkan pula doa-doa shalawat nabi.

Setelah kemerdekaan Indonesia, kegiatan ini kemudian diperkenalkan dengan nama kuntulan tetap berlangsung dan berubah dari alat perjuangan menjadi sarana hiburan rakyat.

Kesenian ini biasanya dipentaskan pada acara peringatan hari-hari besar keagamaan dan nasional, hajatan. Daya tarik seni Kuntulan dari perpaduan gerak seni pencak silat dan disertai sholawat dan iringan rebana.

Di Desa Sima, seni Kuntulan berpusat di Dukuh Karangbulu, salah satu dukuh dari 7 dukuh yang ada di Desa Sima.


Terbang Kencer (Terbangan)

Kesenian ini sebenarnya ada di hampir seluruh daerah di Jawa, Terutama di sepanjang jalur pesisir utara pulau Jawa. Namun, pada tiap daerah penyebutannya berbeda-beda, ada yang menyebut dengan Seni Rebana, Seni Hadrah, dan di Pemalang, Khususnya Desa Sima disebut dengan Terbang Kencer/Terbangan.

Peralatan dari Seni Terbang Kencer adalah Terbang salah satu peralatan musik tradisional, alat ini terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa (melingkar), kemudian bagian atasnya diberi kulit. Jadi, hampir serupa dengan bedug atau gendang. Bedanya, jika bedug badannya besar dan panjang, kemudian gendang badannya kecil dan sedikit panjang, tetapi terbang badannya sedang (lebih kecil dari bedug tetapi lebih besar dari gendang pada umumnya) dan pendek. Pada badan terbang ada tiga pasang logam (besi putih) yang oleh masyarakat setempat disebut kecrek atau genjring atau kencer, sehingga jika terbang tersebut dibunyikan, tidak hanya mengeluarkan suara yang berasal dari kulit, tetapi juga suara gembrinjing (gemerincing). Oleh karena itu, terbang tersebut dinamakan sebagai terbang kencer atau terbang genjring. Meskipun ada dua nama untuk terbang ini, namun masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai terbang kencer.


Peralatan Sesuai dengan namanya, kesenian terbang kencer hanya memerlukan satu jenis alat musik yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “terbang”. Alat ini bentuknya bundar menyerupai piring yang bagian alasnya terbuka. Permukaan bagian atasnya bergaris tengah sekitar 40 centimeter. Permukaan ini ditutup dengan kulit kambing. Jadi, bukan kulit kerbau atau kulit sapi karena kulit mereka lebih tebal ketimbang kulit kambing sehingga jika menggunakannya, suara yang dihasilkannya tidak lebih nyaring dari suara yang dihasilkan dari kulit kambing. Pemasangannya menggunakan perekat (lem), kemudian dipaku dengan paku jamur (paku yang salah satu ujungnya menyerupai bintang). Tampaknya tidak semua orang dapat memasangnya, tetapi ada ahlinya. Oleh karena itu, jika ada kerusakan dan memang harus diganti kulitnya, maka mesti dibawa ke ahlinya yang berada di luar daerah.

Bahan pembuatan terbang kencer yang hanya berupa kayu sawo, kulit kambing, paku jamur, dan rotan memang relatif mudah diperoleh. Namun demikian, di Kelurahan Beji tidak ada ahlinya, sehingga mau tidak mau harus memesan atau membeli di daerah Tegal. Demikian juga, jika permukaan terbang yang terbuat dari kulit kambing rusak, maka mau tidak mau juga ke tempat yang sama, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan, bagian bawah terbang bergaris tengah sekitar 35 centimeter. Jadi, semakin ke bawah semakin menyempit. Badan terbang terbuat dari jenis kayu tertentu, yaitu kayu sawo karena jenis kayu ini disamping keras, kuat, dan tidak mudah retak, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah dapat menimbulkan gaung (efek suara) yang bagus. Pada badan terbang yang semakin ke bawah semakin kecil itu ada tiga lubang yang berukuran tinggi 1 centimeter dan panjang 11 centimeter dengan posisi mendatar. Jarak antara lubang yang satu dan lainnya sama. Di setiap lubang ada dua buah logam yang berbentuk bundar dan pipih menyerupai compac disc (CD) atau digital video disc (DVD) yang terbuat dari nekel (besi putih). Alat ini disebut kecrek atau kencer. Jika terbang ditabuh maka alat ini akan menimbulkan suara gembrinjing (gemerincing). Bunyi inilah yang kemudian membuat terbang tersebut, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, disebut sebagai “terbang grinjing” atau “terbang kencer”. Selain kecrek, terbang juga dilengkapi dengan rotan yang melingkar di dalamnya (di bawah kulit terbang) yang disebut sentek. Garis tengahnya kurang lebih sama dengan garis tengah terbang. Alat ini dimasukkan atau diselipkan pada celah antara kulit dan bagian permukaan bawah terbang. Fungsinya untuk mengencangkan kulit terbang, sehingga suaranya sesuai dengan yang diinginkan (lantang). Jika terbang tidak digunakan (disimpan), alat ini dicopot dan dibiarkan ada dalam terbang. Agar terbang tidak cepat rusak atau berdebu, maka sebelum disimpan dimasukkan dalam sebuah kantong yang terbuat dari kain.

Sebuah terbang kencer beratnya kurang lebih 2 kilogram. Ketika digunakan terbang tersebut diletakkan di atas tangan kiri dengan posisi tangan membentuk sudut 30--40. Jika dalam dalam ruangan, maka posisi duduknya seperti duduknya sinden (bersimpuh). Akan tetapi, jika dalam arak-arakan (dalam lapangan) posisinya berdiri karena harus berjalan menyusuri route yang telah ditetapkan. Beratnya terbang sebenarnya bukan menjadi masalah karena jika pemainnya kecapaian ada penggantinya.

Di masa lalu perlatan terbang kencer hanya sejumlah terbang (4 buah). Kemudian, biar kelihatan lebih semarak ditambah dengan bedug, khususnya ketika arak-arakan. Bedug kecil tersebut dipikul karena ukurannya lebih besar dan relatif berat.

Pemain Pemain terbang kencer minimal berjumlah 4 orang. Jumlah ini ada kaitannya dengan peranan pemain dalam kesenian terbang kencer itu sendiri. Dalam konteks ini ada yang berperan sebagai: telon, banggen, kapat, dan pajek. Masing-masing mangkon terbang tersendiri. Oleh karena itu, dalam suatu pelatihan atau petunjukkan yang hanya dilakukan oleh 4 orang pemain disebut sepangkon. Demikian juga terbang-nya yang berjumlah 4 buah itu disebut terbang sepangkon. Disebut demikian karena pada saat terbang itu tidak dibunyikan (ditabuh dengan telapak tangan), ia ditaruh di atas pangkuan. Group kesenian terbang kencer Desa Sima memiliki 8 buah terbang (rong pangkon). Jika dalam suatu pelatihan dan atau pergelaran ke-8 terbang tersebut digunakan, maka disebut rong pangkon. Meskipun pemainnya ada 8 orang bukan berarti bahwa ketukan yang dilakukan oleh setiap orang berbeda, tetapi sama seperti sepangkon. Jadi, setiap peran dilakukan oleh 2 orang (telon, banggen, kapat, dan pajeg dilakukan oleh 2 orang pemain). Selain pengetuk terbang, ada 3 orang lagi yang berperan sebagai penjawab (pelantun lagu) dan sekaligus ebagai pengganti jika ada salah seorang pengetuk terbang yang karena satu dan lain hal harus diganti (capai misalnya). Lagu-lagu yang dilantunkan bersumber pada kitab Barzanji yang berbahasa Arab. Dengan demikian, secara keseluruhan jumlah pemainnya ada 11 orang. Rangkaian dan ketukan antarpemain yang berbeda itu pada gilirannya membuat satuan bunyi yang khas. Bunyi ini tidak akan terwujud jika ada ketukan yang tidak pas (keliru). Untuk itu, setiap pemain harus betul-betul menguasainya.

Menjadi pemain terbang kencer selain harus berani kerja keras, keseriusan, dan tidak berputus asa, serta ada bakat seni, juga yang tidak kalah pentingnya adalah tidak mempunyai rasa malu, sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang yang prihatin tentang keberadaan terbang kencer karena generasi muda enggan untuk mempelajarinya. Sampai-sampai ia menjelaskan bahwa untuk belajar terbang kencer tidak perlu mengeluarkan biaya. Namun demikian, tidak ada anak muda yang berminat. Pada umumnya mereka malu mempelajari terbang kencer karena dianggap kuno dan kampungan.

Kostum Kostum yang dikenakan oleh para pemain dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Di masa lalu mereka berkemeja putih, bersarung palekat, berjas dan berkopiah (peci). Kemudian, pernah juga mereka berkemeja, bersarung dan berkopiah (peci). Sekarang mereka berbaju muslim (tanpa leher), bersarung dan tetap berkopiah. Alasannya adalah lebih leluasa dan praktis.

Tempat dan Pementasan Kesenian tradisional masyarakat Pemalang yang disebut sebagai terbang kencer tidak membutuhkan tempat atau ruangan yang luas serta panggung. Ia bisa dilakukan di lantai ruang tamu yang dialasi dengan tikar. Malahan, ketika arak-arakan dalam rangka khajatan seseorang atau kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari besar keagamaan (Islam) atau hari-hari besar nasional 17 Agustusan, cukup memainkankannya dengan berjalan.

Dahulu penganten jika tidak diarak seakan-akan belum sempurna, tetapi sekarang malah tidak mau diarak karena malu. Jadi, sekarang yang diarak adalah anak yang akan disunat. Selain itu, anak-anak yang katam Al Quran. Dahulu setiap tahun sekali ada perlombaan terbang kencer. Jumlahnya puluhan karena hampir setiap desa mengikutinya. Yang dinilai antara lain: kerapian (kostum), ketepatan tutukan, dan kesesuaian nada suara. Perlombaan dilakukan di Mesjid Raya Pemalang. Namun, sekarang perlombaan tidak pernah ada lagi.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pemain terbang kencer terdiri atas pemain yang berperan sebagai: telon, banggen, kapat, dan pajek. Telon (bahasa Jawa) berarti “tiga”. Namun demikian, dalam permainan terbang kencer justeru pemeran telon menjadi sangat penting karena ketukannya menjadi pembuka dalam penerbangan. Ketukan tersebut disusul dengan ketukan pemegang banggen, lalu kapat dan diikuti dengan pajek. Pajek dalam suatu permainan terbang kencer dapat dikatakan hanya sebagai pelengkap. Dalam konteks ini ia hanya mengikuti akhir dari rangkain bunyi yang dihasilkan oleh pemegang telon, banggen, dan kapat. Jadi, jika akhiran itu berbunyi “tong”, maka ia akan “mengetong”. Demikian juga jika akhiran itu berbunyi “ding”, maka ia akan “mengeding”. Oleh karena itu, di kalangan penerbang ada semacam guyon (gurauan) bahwa pemajeg diibaratkan sebagai “anak bawang” karena tanpa pajeg permainan terbang kencer tetap berjalan. Hanya saja kumandang-nya (gema bunyi terbang) tidak sempurna. Selain itu, biasanya para penerbang berusaha untuk menguasai berbagai ketukan terbang, baik itu telon, banggen, maupun kapat, termasuk para pemain lainnya yang berperan sebagai penjawab (pelantun lagu-lagu pengiring). Sebab, jika ada yang kecapaian atau berhalangan hadir, maka menggantinya.

Lagu-lagu yang Dilantunkan Lagu-lagu yang dilantunkan dalam pergelaran terbang kencer bersumber pada kitab Barzanji. Ada 7 pasal yang dilantunkan, yaitu: (1) Ashola tuala nabi, (2) Salatun, (3) Subhanama, (4) Sayidi, (5) Shola alaika, (6) Budad, dan (7) Sakratul ya nabi. Ke-7 pasal itu dilantunkan oleh 3 orang secara bersama-sama dan bersamaan dengan pengetukan terbang. Di kalangan mereka para pelantun itu disebut sebagai penjawab. Adakalanya pengetuk terbang juga ikut melantunkannya, terutama bagi yang sudah ahli (biasanya ketuanya). Selain ke-7 pasal tersebut ada pasal-pasal lain yang tidak dilantunkan, tetapi cukup hanya dibaca. Pada saat-saat seperti itu terbang tidak diketuk, sehingga yang terdengar hanya suara si pembaca. Pembacaan tidak dilakukan secara bersama-sama, tetapi salah seorang yang ditugasi oleh ketuanya (biasanya orang fasih pengucapannya dan suaranya bagus).


Fakta Menarik

Ada yang menarik dari Desa Sima adalah semenjak zaman dahulu tampuk kepemimpinan/ jabatan kepala desa dipegang atau dijabat oleh satu garis keturunan layaknya sebuah Kerajaan atau Monarkhi padahal pada waktu pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) dilaksanakan secara langsung, dan rumah kepala desanya berada di daerah/tempat yang dari dulu juga tidak berubah.


  1. Pranala Luar: Desa Sima

ر