Lompat ke isi

Sri Tanjung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sri Tanjung atau juga disebut kisah Banyuwangi (Bahasa Jawa untuk "air harum") adalah sebuah kisah dongeng dalam kebudayaan Jawa yang populer sejak zaman Majapahit. Kisah ini dikenal dalam karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan dalam bentuk kidung yaitu tembang yang dinyanyikan. Selain itu, cerita ini juga terkenal karena biasa dibawakan dalam upacara adat Jawa ruwatan.

Asal mula

Pertanyaan mengenai asal mula atau siapakah pencipta kisah ini tidak diketahui, namun diduga karya ini berasal dari Banyuwangi, karena terkait dengan legenda asal mula nama kota Banyuwangi. Kisah ini diperkirakan berasal dari zaman awal kerajaan Majapahit sekitar awal abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas bukti arkeologi, bahwa selain dalam bentuk tembang, kisah Sri Tanjung juga diabadikan dalam bentuk bas-relief yang terukir di dinding Candi Panataran, Gapura Bajang Ratu dan Candi Brahu.

Cerita

Ceritanya adalah sebagai berikut.[1] Kisah diawali dengan menceritakan tentang seorang ksatria bernama Raden Sidapaksa yang merupakan keturunan Pandawa. Ia mengabdi kepada Raja Sulakrama yang berkuasa di Negeri Sindurejo. Sidapaksa diutus mencari obat oleh raja kepada kakeknya Bhagawan Tamba Petra yang bertapa di gunung. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat ayu dan cantik jelita bernama Sri Tanjung. Raden Sidapaksa jatuh hati dan menjalin cinta dengan Sri Tanjung yang kemudian dinikahinya. Setelah menjadi istrinya, Sri Tanjung diboyong ke Kerajaan Sindurejo. Raja Sulakrama diam-diam terpesona dan tergila-gila akan kecantikan Sri Tanjung. Sang Raja menyimpan hasrat untuk merebut Sri Tanjung dari tangan suaminya, sehingga ia mencari siasat agar dapat memisahkan Sri Tanjung dengan Sidapaksa.

Lantas Sidapaksa diutus oleh Raja Sulakrama pergi ke Swargaloka dengan membawa surat yang isinya pembawa surat akan menyerang Swargaloka. Atas bantuan Sri Tanjung yang menerima warisan selendang ajaib dari ayahnya Raden Sudamala, Sidapaksa bisa terbang ke Swargaloka. Setibanya di Swargaloka, Sidapaksa yang tidak mengetahui apa isi surat untuk para dewa itu menyerahkan surat itu kepada para dewa. Akibatnya dia dihajar oleh para dewa. Namun akhirnya dengan menyebut leluhurnya Pandawa dia dibebaskan dan diberi berkah.

Sepeninggal Sidapaksa, Sri Tanjung digoda oleh Raja Sulakrama. Sri Tanjung menolak, namun Sulakrama memaksa, memeluk Sri Tanjung, dan hendak memperkosanya. Mendadak datang Sidapaksa yang menyaksikan istrinya berpelukan dengan sang Raja. Raja Sulakrama malah balik memfitnah Sri Tanjung dengan menuduhnya sebagai wanita penggoda yang mengajak raja untuk berzinah. Sidapaksa termakan fitnahan sang Raja dan mengira istrinya telah berselingkuh, sehingga ia terbakar amarah dan kecemburuan. Sri Tanjung memohon suaminya agar percaya kepadanya bahwa ia tak berdosa. Dengan penuh kesedihan Sri Tanjung bersumpah apabila ia dibunuh, jika yang keluar bukan darah, tetapi air yang harum, maka dia tak bersalah. Akhirnya dengan garang Sidapaksa yang sudah gelap mata menikam Sri Tanjung dengan keris hingga tewas. Maka keajaiban pun terjadi, benarlah persumpahan Sri Tanjung, dari luka tikaman yang mengalir bukan darah segar melainkan air yang berbau wangi harum semerbak. Raden Sidapaksa menyesali perbuatannya. Sementara sukma Sri Tanjung terbang ke Swargaloka dan bertemu Dewi Durga. Setelah mengetahui kisah ketidakadilan yang menimpa Sri Tanjung, Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh Dewi Durga dan para dewa. Sri Tanjung pun dipersatukan kembali dengan suaminya. Para dewa memerintahkan Sidapaksa untuk menghukum kejahatan Raja Sulakrama. Ia pun membalas dendam dan berhasil membunuh Raja Sulakrama dalam peperangan. Konon air yang harum mewangi itu menjadi asal mula nama tempat tersebut. Maka sampai sekarang ibukota kerajaan Blambangan dinamakan Banyuwangi yang bermakna "air yang wangi".

Referensi

Lihat pula

  1. ^ "Candi Penataran, Tri Bhuwana Tungga Dewi dan Megawati". Bali Post. 10 August 2002. Diakses tanggal 6 May 2012.