Lompat ke isi

Jamila dan Sang Presiden

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jamila dan Sang Presiden
Berkas:Jamila dan sang presiden.jpg
Poster promosi
SutradaraRatna Sarumpaet
ProduserRatna Sarumpaet
Raam Punjabi
Ditulis olehRatna Sarumpaet
PemeranAtiqah Hasiholan
Christine Hakim
Eva Celia Latjuba
Dwi Sasono
Fauzi Baadila
Surya Saputra
Penata musikThoersi Argeswara
SinematograferShamir
PenyuntingSastha Sunu
DistributorSatu Merah Panggung
MVP Pictures
Tanggal rilis
30 April 2009 (2009-04-30)
Durasi87 menit
NegaraIndonesia
AnggaranRp6,5 milyar[1]

Jamila dan Sang Presiden (dirilis secara internasional dengan judul Jamila and the President) adalah sebuah film Indonesia yang dirilis pada tahun 2009 yang disutradarai oleh Ratna Sarumpaet dan dibintangi oleh Atiqah Hasiholan dan Christine Hakim. Film ini menceritakan kisah hidup seorang pekerja seks komersial (PSK) yang dipenjara karena membunuh seorang menteri.

Film ini diadaptasi dari sebuah karya drama berjudul Pelacur dan Sang Presiden, yang ditulis Ratna setelah menerima sebuah hibah dari UNICEF untuk menelaah perdagangan anak di Indonesia dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah tersebut. Dalam mempersiapkan skenario, Ratna menghabiskan beberapa bulan untuk mewawancarai PSK di berbagai kota. Film ini menghabiskan waktu tiga tahun untuk diproduksi, biarpun sebagian besar pemain dan kru sudah ikut serta dalam drama.

Setelah dirilis pada tanggal 30 April 2009, Jamila mendapatkan respon yang cukup hangat di Indonesia. Di kancah internasional, film ini dimuat di beberapa festival film dan mendapatkan penghargaan di Perancis, Italia, dan Taiwan. Film ini juga sempat diajukan ke Academy Award ke-82 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik, tetapi tidak dinominasikan.

Alur

Film ini dimulai dengan narasi dari Jamila (Atiqah Hasiholan) bahwa dia adalah korban perdagangan manusia, lalu diikuti beberapa adegan kehidupan malamnya yang mewah tetapi tidak memuaskan. Setelah mendengar berita bahwa seorang menteri pemerintah, Nurdin (Adjie Pangestu), telah dibunuh, Jamila menyerahkan diri kepada polisi. Ini mengejutkan Ibrahim (Dwi Sasono), yang suka dan merasa empati kepada Jamila; Ibrahim berusaha membebaskan Jamila. Atas perintah presiden, Jamila ditempatkan di suatu lembaga permasyarakatan (LP) di luar kota Jakarta; di sana, dia berada di bawah pengawasan sipir Ria (Christine Hakim).

Di LP itu, Ria membaca buku harian Jamila dan mengetahui latar belakangnya. Ternyata Jamila dijual ibunya kepada mucikari, yang kemudian menjualnya kepada keluarga kaya. Saat tinggal dengan keluarga tersebut, Jamila diperkosa baik oleh ayah angkatnya maupun kakak angkatnya. Sebagai balasan, Jamila membunuh kakaknya itu lalu melarikan diri; sementara, ibu angkatnya (Jajang C. Noer) membunuh suaminya atas perilakunya yang biadab. Jamila menjadi pekerja di suatu pasar, tetapi sekali lagi harus melarikan diri ketika mengetahui ada pria yang hendak memerkosanya. Dia berlindung dalam suatu diskotek, yang pada kemudian hari dirazia polisi; Jamila, yang disangka merupakan seorang pekerja seks komersial (PSK) di tempat itu, ditangkap. Setelah dibebaskan, Jamila dibesarkan seorang PSK tua yang baik hati, bernama Susi (Ria Irawan); Susi juga tertangkap dalam razia itu.

Sementara, di luar LP ada sejumlah kelompok fanatik yang menuntut agar Jamila dijatuhkan hukuman mati. Di dalam LP, seorang penjaga (Surya Saputra) merasa kasihan atas nasib Jamila dan berusaha membantunya. Namun, Jamila mengabaikannya. Ria, biarpun mulai agak bersimpati kepada Jamila, sempat bertengkar verbal mengenai pembunuhan Nurdin; ini membuat Jamila ditempatkan di isolasi.

Beberapa hari kemudian, Jamila divonis dan dijatuhi hukuman mati, yang akan dilaksanakan dalam waktu 36 jam. Ria mengunjungi Jamila di selnya dan menyatakan bahwa dia berniat menghubungi presiden untuk meminta perpanjangan waktu. Jamila menolak, lalu menceritakan pengalamannya mencari adiknya Fatimah di Kalimantan dan bagaimana dia sempat membunuh orang yang menempatkan Fatimah dalam bordil tetapi tidak juga menemukan adiknya.

Hari sebelum hukuman mati Jamila dilaksanakan, Ibrahim bertemu dengan Susi, yang menceritakan hubungan cinta Jamila dengan Nurdin. Jamila menjadi hamil dengan anak Nurdin dan menyuruh menteri itu bertanggung jawab, tetapi Nurdin malah menghilang, lalu mempermalukan Jamila di muka umum dan menyatakan bahwa dia hendak menikahi wanita lain. Ketika mereka berdua bertemu di hotel, Nurdin mengancam Jamila dengan pistol; untuk membela diri, Jamila mengambil pistol itu dan membunuh Nurdin. Setelah napak tilas itu selesai, terlihat Jamila berjalan menujuh tempat eksekusinya; presiden tidak mengindahkan permohonan Ria. Bunyi tembakan pistol pun terdengar, mengimplikasikan bahwa akhirnya Jamila dihukum mati. Kemudian film menuliskan fakta-fakta mengenai perdagangan anak dan prostitusi.

Produksi

Jamila disutradarai oleh Ratna Sarumpaet, seorang aktivis hak perempuan.[2] Film ini, yang merupakan debut Ratna, didasarkan sebuah karya drama yang dia pernah pentaskan sebelumnya, berjudul Pelacur dan Sang Presiden; drama tersebut dipentaskan oleh "Teater Satu Merah Panggung" pada tahun 2006 di lima kota.[3][4][5] Ratna didorong untuk menulis cerita ini pada tahun 2005, setelah UNICEF mendekatinya dan meminta agar dia membuat survei atas perdagangan anak di Asia Tenggara dan menyadarkan masyarakat akan masalah tersebut.[4][6] Saat menulis skenario, Ratna mewawancarai PSK di Surabaya, Surakarta, Garut, dan Kalimantan dalam periode enam bulan; hasil telaahan ini digunakan untuk Jamila pula.[7]

Ratna menampilkan putrinya, Atiqah Hasiholan, dalam peran utama,[6] sementara artis senior Christine Hakim– seorang teman akrab Ratna– diseleksi sebagai pemeran Ria; Ria Irawan dipilih sebagai pemeran Susi. Awalnya, Atiqah menganggap bahwa tokohnya itu seorang "PSK jalang biasa", tetapi setelah mendalami dunia Jamila, dia mulai beranggapan bahwa tokohnya itu "seorang korban kehidupan".[4] Agar pemeranannya lebih baik, Atiqah menunjungi beberapa lokalisasi dan berbicara dengan PSK di sana untuk mendalami motivasi mereka; dia menarik kesimpulan bahwa kemiskinan adalah faktor utama.[5] Saudara Ratna, Sam Sarumpaet, bertugas sebagai wakil sutradara, dan dapat menolong Ratna ketika terjadi masalah teknis.[8]

Sebagian besar pemain dan kru, termasuk Atiqah, sudah pernah ikut serta dalam drama.[3][8] Ratna melaporkan bahwa produksi film ini menghabiskan dana sebanyak Rp.6,5 milyar dan waktu selama tiga tahun.[1][1]

Tema

Ratna menyatakan bahwa film ini tentang "begitu buruk dampak kemiskinan pada moralitas manusia dan kehidupannya";[2] dalam suatu wawancara dengan majalah Tempo, dia menyatakan bahwa dia tidak mempunyai pesan politik, melainkan hanya hendak menunjukkan fakta.[9] Nauval Yazid, dalam resensi untuk The Jakarta Post, menulis bahwa film ini merupakan sebagian dari genre "wanita-yang-selalu-tersiksa", yang menurut dia sering dijumpai dalam dunia perfilman Indonesia; dia membandingkannya dengan Ponirah Terpidana (1984), yang dibintangi Hakim dan Slamet Rahardjo.[3] Anissa S. Febrina, yang juga menulis untuk The Jakarta Post, menyatakan bahwa film ini menunjukkan "keadaan naas mereka yang jarang diakui [penonton]: korban perdagangan anak dan wanita."[4]

Gaya penceritaan

Sebagian besar latar film terjadi dalam LP. Sebuah resensi dalam koran Jakarta Globe mencatat bahwa Jamila mempunyai "rasa yang spartan", yang didukung oleh pengambilan gambar. Film ini menggunakan keheningan untuk memprovokasi respons emosional dari penonton, dengan napak tilas untuk mendorong cerita.[7] Tokoh presiden tidak pernah muncul dalam film ini; dia justru diwakili oleh long shot Istana Merdeka.[1]

Rilis dan pencapaian

Jamila diluncurkan di FX Plaza di Jakarta pada tanggal 27 April 2009 dan dirilis secara luas pada tanggal 30 April.[10] Film ini mendapat respon yang cukup hangat. Yazid menulis bahwa film ini "sudah tentu salah satu film Indonesia yang terbesar terakhir ini" dan memuji peranan Hakim; namun, dia merasa bahwa perananan Atiqah terlalu teatris.[3] Sebuah resensi dalam Jakarta Globe menyatakan bahwa film ini "menarik karena subjek dramatisnya dan perjalanan cerita yang pas", tetapi tidak menjawab semua pertanyaan penonton karena jumlah tokoh yang diwujudkan.[7] Marcel Thee dan Armando Siahaan, yang menulis dalam koran yang sama pada bulan Desember 2009, memilih Jamila sebagai film Indonesia terbaik tahun 2009; mereka merasa bahwa perjuangan tokoh utama "menyajikan cerita bak naik roller coaster".[11] Aguslia Hidayah, yang menulis dalam majalah Tempo, menyatakan bahwa film ini terasa seakan tidak ada klimaks; dia juga merasa bahwa peranan Atiqah terlalu teatris dan peranan Hakim datar.[1] Eko Hendrawan Sofyan, yang membuat resensi untuk Kompas, menulis bahwa film ini mengingatkan penonton bahwa kemiskinan dan prostitusi masih menjadi masalah besar yang harus ditangani secepatnya.[10]

Di Indonesia, Jamila dinominasikan untuk beberapa penghargaan. Pada Festival Film Indonesia 2009, film ini dinominasikan untuk enam penghargaan, yaitu Film Bioskop Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Adaptasi Terbaik, Penyuntingan Terbaik, Tata Suara Terbaik, dan Tata Artistik Terbaik;[12] tetapi tidak ada satu pun yang diraih.[13] Di luar negeri, Jamila ditayangkan di beberapa festival film, termasuk di Bangkok, Hong Kong, dan Australia; pada Asiatica Film Mediale di Roma, Italia, Jamila meraih NETPAC Award.[14] Pada Asia Pacific Film Festival ke-53 di Taipei, Taiwan, film ini meraih Penyuntingan Terbaik.[15] Jamila diajukan untuk Film Berbahasa Asing Terbaik pada Academy Award ke-82,[2] tetapi tidak dinominasi.[16] Pada Vesoul International Film Festival of Asian Cinema di Vesoul, Perancis, Jamila meraih dua penghargaan, yaitu Prix de Public (Penghargaan Umum) dan Prix Jury Lyceen (Penghargaan Juri Lyceen);[14] menurut The Jakarta Post, film ini membuat para penonton Eropa syok karena temanya tentang perdagangan anak, yang sudah umum di Asia.[6]

Rujukan

Catatan kaki
Bibliografi

Pranala luar