Lompat ke isi

Pembicaraan Pengguna:Eka Azwin Lubis

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Halo, Eka Azwin Lubis. Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia!
Memulai
Memulai
Memulai
  • Para pengguna baru dapat melihat halaman Pengantar Wikipedia terlebih dahulu.
  • Anda bisa mengucapkan selamat datang kepada Wikipediawan lainnya di Halaman perkenalan.
  • Bingung mulai menjelajah dari mana? Kunjungi Halaman sembarang.
  • Untuk mencoba-coba menyunting, silakan gunakan bak pasir.
  • Tuliskan juga sedikit profil Anda di Pengguna:Eka Azwin Lubis, halaman profil dan ruang pribadi Anda, agar kami dapat lebih mengenal Anda.
  • Baca juga aturan yang disederhanakan sebelum melanjutkan. Ini adalah hal-hal mendasar yang perlu diketahui oleh semua penyunting Wikipedia.
Bantuan
Bantuan
Bantuan
  • Bantuan:Isi - tempat mencari informasi tentang berkontribusi di Wikipedia, sebelum bertanya kepada pengguna lain.
  • FAQ - pertanyaan yang sering diajukan tentang Wikipedia.
  • Portal:Komunitas - informasi aktivitas di Wikipedia.
Tips
Tips
Kiat
Membuat kesalahan?
Membuat kesalahan?
Membuat kesalahan?
  • Jangan takut! Anda tidak perlu takut salah ketika menyunting atau membuat halaman baru, menambahkan atau menghapus kalimat.

    Pengurus dan para pengguna lainnya yang memantau perubahan terbaru akan segera menemukan kesalahan Anda dan mengembalikannya seperti semula.

Welcome! If you are not an Indonesian speaker, you may want to visit the Indonesian Wikipedia embassy or a slight info to find users speaking your language. Enjoy!
Selamat menjelajah, kami menunggu suntingan Anda di Wikipedia bahasa Indonesia!

Nama  : Eka Azwin Lubis Tempat/Tanggal Lahir : Kisaran, 11 Oktober 1992 Alamat  : Jl. Perjuangan No. 4 Medan Ayah  : A. Ridwan Lubis Ibu  : Asnawiyah Saudara : Dwi Fazriansyah Lubis, Noor Fahmi Lubis, M. Azli Alfaqih Lubis Pekerjaan : Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan UNIMED & Staf Pusat Study Hak Asasi Manusia ( PUSHAM ) UNIMED Hobby : Belajar Menulis untuk menuangkan segala inspirasi dalam diri menjadi setitik sumbangsih dalam mengubah peradaban yang kaku. Motto : Ilmu, lebih baik tidak tau dari pada tau tapi tidak mau memberi tau Pendidikan : - TK Dharma Wanita Kisaran 1998-1999

           - SD Swasta TPI Kisaran 1999-2004
           - SMP Negerei 2 Kisaran 2004-2007
           - SMA Swasta Daerah Kisaran 2007-2010

Organisasi : Ketua Osis SMA Daerah Kisaran 1009/2010

           Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
           LK I HMI Cabang Medan, Sumut 2010
           LK II HMI Cabang Pandeglang, Banten 2011
           Sekretaris Umum Himpunan Nasional Mahasiswa PKn 2012/2014

Pengalaman : Juara III Lomba Debat Nasional 2011 Di Malang, Jawa Timur

           Peserta Lomba Debat Nasional 2012 Di Bandung, Jawa Barat

Tokoh Inspiratif : Muhammad SAW Pemimpin Negara : Mahmou Ahmadinejad Penulis  : Pramodya Ananta Toer Motivator : Majda El Muhtaj

MAHASISWA, ANTARA PERAN DAN TANGGUNG JAWAB

Status sosial yang melekat pada diri setiap Mahasiswa selalu menggiring kita yang pernah dan sedang berada didunia kampus seakan memiliki segala sesuatu yang seakan diatas status sosial masyarakat pada umumnya. Tidak tau faktor apa yang menjadi penyebab hal tersebut dapat terjadi, semua seolah datang dengan sendirinya karena budaya yang muncul secara otodidak. Hal ini terlihat dari pandangan umum yang sering menganggap bahwa Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang punya pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menanggapi satu masalah yang muncul ditengah dinamika kehidupan bermasyarakat. Beragam ungkapan melekat pada diri Mahasiswa yang semakin mempertegas peran Mahasiswa itu sendiri sebagai elemen yang vital dalam kehidupan. Mulai dari agent of change yang menempatkan Mahasiswa sebagai pelopor perubahan yang menjadi titik tolak berubahnya orientasi kehidupan kearah yang lebih baik. Ada juga yang beranggapan bahwa Mahasiswa merupakan agent of social control, dimana peran aktif Mahasiswa dalam mengawal berbagai bentuk kehidupan dan permasalahanya sangat dituntut karena ada pandangan bahwa Mahasiswalah kaum yang netral dan belum terkontaminasi dengan berbagai kepentingan yang berjalan seiring dengan permasalahan terutama yang menyangkut kebijakan publik. Tidak salah juga bila ungkapan yang menyatakan Mahasiswa merupakan iron stock, muncul sebagai harapan yang dititipkan kepada kaum pembaharuan dan sosok-sosok penerus peradaban dimasa yang akan datang. Sehingga pada diri Mahasiswalah kepercayaan untuk memangku dan menjalankan tatanan hidup bangsa kedepannya disematkan. Semua hal tersebut tidaklah keliru apalagi berlebihan. Sebab suka atau tidak suka jika kita berkata dalam konteks nasional, kita harus berani jujur mengatakan bahwa Mahasiswa jugalah yang mampu untuk memangku peran sebagai pengubah berbagai sistem yang dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan pola fikir, karakter, dan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia sehingga dinilai menyimpang dengan cita-cita hidup bangsa. Hal ini terbukti dari bagaimana Mahasiswa mampu untuk mengubah peradaban pemerintahan Orde Baru yang berkuasa tak kurang dari 32 tahun menjadi pemerintahan yang mengagungkan Reformasi sebagai cita-cita birokrasi bangsa. Saat itu Mahasiswa merupakan tonggak terdepan dari runtuhnya pemerintahan Soeharto yang akrab dikenal sebagai zaman Orde Baru. Sistem pemerintahan ala Diktator yang diterpakan oleh Soeharto pada masa itu membuat semua pihak seolah tak punya daya untuk melawan dan menyuarakan kebebasan demokrasinya. Sehingga tidak heran jika beliau mampu untuk menngemban amanah sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun denagn memenangkan 7 kali pemilu. Namun rasa bosan dengan pola kepemimpinannya yang dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia pada sat itu tidak mampu disuarakan karena kuatnya power kekuasaan pemerintah hingga tak satupun pihak yang mampu untuk membantah setiap titah yang dia kehendaki termasuk untuk terus memimpin negara ini. Hingga akhirnya dipertengahan tahun 1998 munculah perlawanan besar-besaran yang pada akhirnya membawa perubahan dalam tatanan kehidupan birokrasi Indonesia. Mahasiswa menjadi motor pergerakan untuk melawan penindasan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Berawal dari krisis moneter yang menerpa sebagian kawasan Asia termasuk Indonesia dan berdampak pada melonjaknya berbagai harga bahan kebutuhan pokok. Moment tersebut dimanfaatkan oleh para agent of change tersebut untuk menghimpun persatuan dan kekuatan dalam menumbangkan rezim yang dianggap sudah usang dan tidak mampu lagi membawa Indonesia untuk berlayar menuju kehidupan masyarakat yang madani. Perlawanan Mahasiswa untuk menyongsong perubahan tersebut bukanlah tanpa rintangan, sebab keberanian kaum intelektual muda ini harus dibayar mahal dengan melayangnya nyawa beberapa Mahasiswa pahlawan reformasi karena protes mereka terhadap pemerintah yang dianggap gagal menstabilkan perekonomian bangsa direspon pemerintah dengan menurunkan pasukan keamanan negara yang saat itu masih dipegang oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sehingga menimbulkan gejolak dihampir seluruh pelosok negeri. Namun perlawanan demi perubahan tersebut bukanlah satu hal yang sia-sia. Praktis Presiden Soeharto yang hampir mustahil untuk dilengserkan, harus rela meletakan jabatannya sebelum masa baktinya sebagai presiden yang memenangkan pemilu untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut usai dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie untuk menakhodai negara ini. Hal tersebut semakin mempertegas peran Mahasiswa sebagai pelaku perubahan yang mampu mengubah apapun yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan kamaslahatan umat termasuk kedudukan seorang presiden sekalipun. Dalam mengawal pemerintahan hingga saat inipun Mahasiswa masih berperan aktif mengingat status sosial yang disandang sebagai pengawal berbagai kehidupan sosial termasuk sistem pemerintahan. Tidak akan kita temui ada pihak yang rela berlelah letih untuk menyuarakan aspirasinya kepada pihak-pihak yang mereka anggap sudah keluar dari koridor hak akan wewenangnya kecuali Mahasiswa. Unjuk rasa seolah menjadi salah satu mata kuliah non kurikulum yang tetap dilaksanakan Mahasiswa untuk mengontrol berbagai penyimpangan yang mereka temui sebagai agent of social control. Kontradiksi Dengan Tanggung Jawab Moral Tidak ada atau hanya segelintir orang tua yang menginginkan anaknya sebagai aktivis Mahasiswa jika kelak duduk dibangku perguruan tinggi untuk menempah ilmu yang lebih optimal sebagai lanjutan dari jenjang pendidikan sebelumnya. Tanggung jawab moral seorang anak kepada orang tuanya apabila memasuki dunia kampus adalah menyelesaikan studi dengan baik tanpa harus mengalami kendala yang berarti apalagi yang datang dari diri sendiri. Sebab disinilah peran aktif seorang peserta didik dipertaruhkan. Bila waktu duduk dibangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, seorang guru memiliki peran yang lebih optimal dalam memancing minat belajar siswanya. Namun di perguruan tinggi pola tersebut diubah 180 derajat, dimana peserta didik yang kemudian disebut Mahasiswa, yang harus berperan aktif untuk mendapatkan ilmu yang maksimal, sementara sang dosen lebih berperan sebagai fasilitator transformasi ilmu yang sedang ditimbah. Apapun hasil yang didapat oleh Mahasiswa, semua berpulang pada pribadi masing-masing dalam mengaktualisasikan diri sesuai pola transformasi yang diterapkan dosen. Sehingga dengan cara yang seperti ini tanggung jawab akademisi secara awam harus lebih dikedepankan oleh setiap Mahasiswa agar tidak blunder dikala masa studi berakhir. Mahasiswa seakan dituntut untuk tidak memfokuskan diri pada hal lain kecuali mata kuliah yang mereka hadapi agar konsentrasi yang dimiliki tidak terpecah dan semua ilmu yang diberi mampu diterima secara optimal. Namun apakah hal tersebut sejalan dengan peran Mahasiswa sebagaimana yang telah dijabarkan diatas. Bukankah jika Mahasiswa harus fokus pada studinya dikampus, meraka akan melupakan peran yang mereka emban sebagai agent of change, agent of social control, maupun iron stock. Tidak salah jika kita menilai bahwa mereka yang menyandang status sebagai sarjana dengan pengalaman ilmu yang optimal karena didapat dengan cara fokus pada pelajaran semasa kuliah akan menjadi penerus peradaban bangsa, namun apakah peran mereka yang lainnya seperti pelaku perubahan dan pelaku pengawal kehidupan sosial dapat terimplementasikan jikalau mereka melulu terfokus pada doktrin mata kuliah yang tentunya mengharamkan mereka untuk turun kejalan melakukan unjuk rasa sebagai perwujudan pengawal dinamika sosial. Atau mungkinkah perubahan yang dinantikan oleh mayoritas masyarakat Indonesia akan datang jika mereka semua yang berhak untuk mengenakan almamater kampus harus berdiam diri dikampusnya masing-masing pada saat gejolak ekonomi melanda Indonesia pada akhir tahun 1990an demi tanggung jawab akademis yang tidak boleh ditinggalkan barang sedetikpun. Disinilah kedewasaan Mahasiswa sesungguhnya tertempa dengan matang karena mereka mampu untuk menyesuaikan ruang yang mereka tempati dengan peran dan tanggung jawab yang mereka emban. Tidak adil jika kita berfikir bahwa setiap Mahasiswa yang hari-harinya disibukan untuk aktif mengikuti perkembangan dan mengawal dinamika birokrasi yang terjadi, memiliki Indeks Prestasi yang rendah. Sebab Mahasiswa yang dapat menempatkan diri sesuai dengan dunianyalah yang memiliki kecerdasan akan ruang dan kedisiplinan akan waktu.

ADIL DALAM BERFIKIR

Hari ini kita dihadapkan oleh berbagai peristiwa sosial yang senantiasa terjadi silih berganti seolah tanpa henti. Mulai dari ketimpangan sosial yang terus menjadi masalah ditengah kehidupan berbangsa sehingga perlahan mulai mengikis eksistensi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah yang seyogyanya merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia karena dipilih langsung oleh masyarakat Indonesia melalui pemilihan umum untuk diamanatkan menjadi orang-orang yang dapat menyambung berbagai aspirasi rakyat untuk mendapatkan kelayakan hidup dalam berkebangsaan. Selain itu masalah ekonomi yang tak kunjung usai juga menjadi satu hal yang cukup urgen dalam setiap pembahasan kinerja pemerintah diberbagai tempat. Belum lagi masalah-masalah lain seperti kebebasan berkeyakinan dan beragama yang kerap menimbulkan konflik antar sesama pemeluk agama yang memiliki pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menjalankan ritual agama dan kepercayaannya, dimana makin hari rakyat Indonesia makin tidak dewasa dalam menerima berbagai perbedaan yang ada karena Indonesia memang bukanlah tempat atau negaranya satu golongan saja sehingga kita tetap harus bersentuhan langsung dengan mereka yang memiliki perbedaan dan kedewasaan untuk dapat menerima dan saling bertoleransi dengan perbedaan itu kerap menjadi tuntutan. Yang paling menjadi fenomena belakangan adalah terindikasinya kasus pelanggaran HAM dikarenakan beberapa konflik yang dipicu oleh sengketa lahan yang akhirnya melibatkan aparat keamanan negara dalam penyelasaaiannya yang berujung pada tindakan sporadis dari pihak yang seharusnya menjadi penengah atau mediator dari pihak-pihak yang bersengketa. Negara ini sangat disubukan oleh banyaknya masalah yang diakibatkan oleh ketidak harmonisan antara pihak pemerintah dan masyarakatnya dalam menjalankan roda kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan pemerintah yang seharusnya menjadi orientasi seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan justru sibuk mementingkan masalah pribadinya sehingga menghilangkan rasa idealismenya sebagai pelayan rakyat yang bertugas memberikan atau memfasilitasi rakyat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Tidak hanya pemerintah saja yang saat ini mengalami krisis identitas, rakyat juga seolah tidak menyadari apa substansi dari bagaimana cara menjadi warga negara yang baik. Kita disibukan dengan cara kita yang lebih mengedepankan kritisi tanpa memberi solusi. Hal ini dapat dilihat dari kurang dewasanya masyarakat kita dalam menanggapi masalah-masalah yang timbul ditengah-tengah mereka. Yang mereka pahami hanyalah jika ada berbagai ketimpangan baik itu sosial, ekonomi, maupun ranah kehidupan lain yang berbau nepotisme itu semata – mata merupakan kesalahan dari pemerintah. Sementara rakyat hanyalah orang yang menjalankan aturan yang ada sehingga tidak pantas untuk dipersalahkan. Cara pandang yang seperti inilah yang saat ini masih tertanam kuat dalam pola fikir sebahagian besar masyarakat Indonesia. Jika begini harus kita akui secara cerdas bahwa hal yang harus dibenahi tidak hanya dari pihak pemerintahnya saja, tetapi yang lebih urgen adalah bagaimana pola fikir masyarakat yang juga harus mendapat perhatian lebih untuk diperbaiki agar keduanya berjalan seimbang. Kerana jikalau pemerintahan berjalan bagus sekalipun namun tidak didukung dengan kedewasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa maka harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang madani hanya akan menjadi suatu mimpi yang utopis. Vox Populity Vox Dai Suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagitu sakralnya kalimat tersebut dimana rakyatlah yang dijadikan orientasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia sekarang mencoba untuk menerapkan hal tersebut. Terbukti dari pemerintahan yang ada saat ini baik Legislatif maupun Eksekutif semuanya dipilih secara langsung oleh masyarakat Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih. Tidak hanya ditataran pusat, sistem pemilihan ala demokrasi secara langsung ini juga dipraktikan untuk memilih pemerintahan daerah. Berarti teori yang ada dikonstitusi yang menyatakan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat telah teraplikasi secara real. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana mungkin jika pemangku kedaulatan itu sendiri didominasi oleh orang – orang yang tidak cerdas yang cenderung masih berfikiran pragmatisme dan egosentris seperti yang diutarakan oleh Quadi Azam bahwa kecil kemungkinan negara dapat berjalan stabil jika rakyatnya hanya bisa memberi sumbangsih pada pemerintah sekedar kritisi tanpa diiringi oleh solusi. Kita paham betul bagaimana tiap kali pesta demokrasi akan segera digelar, maka dengan otomatis masyarakat mulai ternyamankan oleh hamburan uang yang dikucurkan oleh orang-orang yang memiliki niatan untuk duduk dikursi pemerintahan yang mengatasnamakan wakil rakyat. Apa pernah kita melihat jika ada oknum yang mencoba untuk melakukan praktik Money Politic dalam rangka mencari dukungan, maka ramai-ramai masyarakat yang diajak untuk konsolidasi menolaknya. Jawabnya tentu tidak, mereka justru memanfaatkan moment ini untuk memperbaiki ekonomi mereka yang sifatnya sementara. Masyarakat sangat jarang berfikir dampak yang luar biasa hebat apabila mereka memilih orang-orang yang memberikan uang untuk mengambil simpati mereka. Mereka enggan untuk memfilter calon-calon wakil mereka yang memiliki kapasitas dan tentunya loyalitas kepada mereka jika terpilih nanti meskipun mereka tidak memiliki uang atau benda yang bisa dibagi pada saat kampanye namun siap memberi perubahan perekonomian masyarakat dimasa depan. Masyarakat sangat malas berfikir secara idealis akan hal itu, yang ada justru fikiran pragmatis dimana sangat bodoh jika menyia-nyiakan rezeki yang ada meskipun boomerang kemiskinan akan tetap bersahabat dengan mereka. Karena sudah hal yang lazim apabila seorang calon yang menghaburkan uang untuk mendapat dukungan, maka saat ia terpilih menjadi wakil rakyat yang ada bukanlah fikiran bagaimana untuk menyejahterakan rakyat tetapi justru bagaimana untuk mengembalikan modal yang banyak terbuang saat kampanye. Maka wajar jika hari ini kita dihadapkan pada realita dimana pemerintah tidak lagi respons terhadap masalah kemiskinan rakyatnya karena jauh sebelum mereka terpilih, masyarakat sendirilah yang menagajari mereka untuk berfikiran pragmatis. Contoh lain yang lebih sederhana namun jarang kita sadari adalah, bagaimana kita sangat membenci oknum kepolisian yang juga merupakan alat negara yang tergabung dalam lembaga Eksekutif pemerintahan. Kita menganggap saat ini polisi tidak lagi menjadi simbol keamanan negara namun sudah menjadi musuh bersama masyarakat awam. Hal ini dikarenakan setiap ada polisi yang berada dipinggir jalan maka ketakutan yang luar biasa juga akan muncul karena pola fikir yang masih tertidur dimana apabila terjaring operasi razia polisi maka kita harus siap-siap untuk mengeluarkan uang yang cukup besar agar tidak terjadi penahanan oleh aparat kepolisian. Disini sekali lagi kita harus cerdas dalam menyikapinya, selain kesalahan dari oknum polisi yang memang harus diakui kerap ”memeras” meskipun caranya lebih santun dibanding pemalak jalanan apabila ada orang yang melanggar lalu lintas meskipun tidak ada operasi resmi. Masyarakat juga tidak bisa dibenarkan dalam rangka negosisasi ala polisi yang tidak profesional dengan mereka. Yang pertama jelas mereka melanggar lalu lintas sehingga wajar untuk ditertibkan. Yang kedua adalah apabila oknum kepolisian yang tidak profesional tadi menawarkan negosiasi, masyarakat juga harus cerdas untuk menolaknya dan harus lebih memilih untuk diproses dan diselesaikan secara legalitas formal. Dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa kesalahan tidak hanya mutlak terletak dari pemerintah yang berkewajiban menjalankan roda birokrasi negara, tetapi rakyat juga dituntut kecerdasannya dalam peran sertanya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Seperti yang diungkapkan seorang pemerhati Sosial, Husni Mubarok yang menyatakan Keadilan dalam berfikir untuk menjatuhkan penilaian dalam menanggapi peliknya kehidupan berbangsa memang sangat dituntut keberadaannya.

SAKRALISME PANCASILA YANG MULAI TERKIKIS

Begitu sakral dan urgen setiap kali kita membahas Pancasila yang merisikan tentang himpunan dari berbagai karakter, pola fikir dan gaya hidup setiap rakyat Indonesia. Sebab suka atau tidak suka, harus kita akui bahwa Pancasila yang diambil dari bahasa sansekerta yang berarti lima dasar tersebut merupakan landasan Idiologi Bangsa Indonesia. Maka dari itu secara otomatis Pancasila merupakan cerminan dari kehidupan seluruh Bangsa Indonesia. Bila kita tarik kebelakang pasca kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para pejuang Indonesia yang diwakili Panitia Sembilan berembuk untuk segera mengesahkan Dasar Konstitusi dan Dasar Idiologi Indonesia yang baru merdeka tersebut. Sebab sebelum proklamasi Indonesia dibacakan, tepatnya pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan telah melahirkan Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal dari lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Perlu diketahui pula bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara didunia ini yang pada saat kemerdekaannya belum memiliki Dasar Konstitusi yang menjadi landasan dan tolak ukur untuk kedepannya negara ini melangkah. Oleh sebab itu Panitia Sembilan yang diketuai oleh The Father of Land, salah satu Proklamator, sekaligus Presiden pertama Indonesia, yaitu Ir. Soekarno bersama delapan orang lainnya segera melakukan rapat untuk mengesahkan Dasar Konstitusi Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah kemerdekaan, yang sekarang ini kita kenal dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan hingga saat telah mengalami empat kali amandemen yakni pada tahun 1999, 2000, 2001, dan terkahir pada tahun 2002. Dalam UUD 1945 tersebut pula dimuat Dasar Idiologi bangsa Indonesia yakni Pancasila yang terdapat dalam Preambule atau Pembukaan. Pancasila dibuat bukanlah tanpa dasar pemikiran dan kesepakatan yang kuat. Sebab Pancasila selain dianggap sebagai Dasar Idiologi Bangsa Indonesia, juga diharapkan dapat menjadi Landasan Hidup Bangsa, Pandangan Hidup Bangsa, Dasar Negara, Dasar Hukum, Cita-Cita dan Tujuan Hidup Bangsa, dan yang terpenting adalah Pancasila juga merupakan Janji Luhur Bangsa Indonesia. maka begitu sakral dan urgennya nilai-nilai pancasila bagi seluruh bangsa Indonesia yang selain untuk pedoman, namun juga harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Isi dari setiap butir Pancasila mewakili setiap sendi kehidupan segenap rakyat Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, bahasa, budaya, dan tentunya karakter dan gaya hidup yang berbeda-beda pula. Namun Pancasila dapat menampung itu semua menjadi satu kesatuan yang utuh dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Pancasila selalu digambarkan dalam kalungan Burung Garuda yang mencengkram tulisan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan Indonesia dengan makna “ Walaupun Berbeda-Beda Namun Tetap Satu Jua”. Manifestasi atau perwujutan nilai-nilai Pancasila dalam realita kehidupan bangsa Indonesia bukanlah tanpa halangan dan rintangan, sebab masih jelas dalam ingatan kita sejarah kelabu masa lalu bangsa Indonesia dalam mempertahankan Idiologi Pancasila yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September atau yang lebih akrab dengan sebutan G30S/PKI dimana gerakan ini merupakan gerakan yang ingin merubah dasar negara Pancasila menjadi dasar negara yang beridiologi Komunis yang saat itu dimotori oleh Partai Komunis Indonesia ( PKI ) pimpinan Kolonel Untung dan DN. Aidit. Kesaktian dari Pancasila yang merupakan Janji Luhur Bangsa Indonesia dapat meredam semua itu walaupun dampak dari peristiwa tersebut Indonesia kehilangan putra-putra terbaik bangsa yang kita kenal dengan Pahlawan Revolusi. Mereka adalah orang-orang yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan para anggota PKI yang kemudian jasadnya dibuang di daerah Lubang Buaya Jakarta dan ditemukan pada tangga 1 Oktober 1965. Sehingga pada saat ini setiap tanggal 1 Oktober, Indonesia selalu memperingati hari Kesaktian Pancasila untuk mengenang peritiwa tersebut. Begitu sakral dan saktinya Pancasila jika kita melihat tragedi tersebut. Karena Pancasila merupakan Dasar Idiologi bangsa yang tidak dapat ditukar ganti dengan apapun sehingga setiap orang Indonesia merasa berkewajiban untuk menjaga dan mengamalkan setia butir isinya. Jika Dasar Konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 telah mengalami beberapa kali amandeman, bahkan pernah juga diganti seiring bergantinya sistem pemerintahan Indonesia pada masa lalu seperti diberlakukannya Konstitusi RIS pada saat Indonesia berbentuk negara Serikat antara 27 Desember 1945 sampai 17 Agustus 1950, dan diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara ( UUDS 1950 ) dari tanggal 17 Agustus 1950 sampai 5 September 1959, sebelum akhirnya kembali lagi menjadi UUD 1945 pada tanggal 5 September 1959 sampai sekarang setelah keluarnya Dekrit Presiden. Namun Pancasila yang merupakan Dasar Idiologi Indonesia tidak sekalipun pernah berubah isi dan jumlah butirnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Pancasila benar-benar menjadi Kepribadian Bangsa Indonesia dimanapun berada. Karena Pancasila itu sendiri bersifat Supel dan Fleksibel yang dalam kata lain dapat diartikan singkat namun mencakup keseluruhan dan dapat mengikuti setiap perkembangan zaman yang senantiasa bertukar. Bahkan Pancasila siap untuk disandingkan dengan Idiologi manapun yang tidak bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam setiap butirnya tanpa harus takut untuk menutup diri karena Pancasila merupakan Idiologi terbuka. Implementasi Pengamalan Pancasila Saat Ini. Jika kita bahas sekilas sejarah lahir dan bertahannya Pancasila hingga saat ini, ada rasa haru dan bangga kita sebagai generasi penerus Bangsa Indonesia. Sabab kita memiliki Pedoman Hidup dan Cita-Cita Bangsa yang begitu sakral dan fenomenal. Namun apakah semua itu masih terdapat dalam jiwa setiap rakyat Indonesia. Pertanyaan ini wajar untuk diutarakan karena jika kita melihat realita kehidupan Bangsa Indonesia saat ini sangat jauh dari nilai-nilai dasar Pancasila yang perlahan mulai terkikis. Banyak anak bangsa yang mulai tidak mengamalkan isi setiap butir Pancasila, bahkan perlahan mulai dilupakan dan ditinggalkan oleh hampir setiap elemen kehidupan Bangsa Indonesia. Praktis Pancasila saat ini hanya menjadi pajangan dinding sekolah atau instansi pemerintahan dan swasta tanpa pernah untuk dikaji bahkan diaplikasikan dalam sendi kehidupan. Tidak jarang kita berfikir hanya seorang guru PPKn lah yang berkewajiban untuk membahas dan mengamalkan nilai-nilai dari Pancasila karena profesi menuntut mereka untuk melakukan hal itu. Namun selain dari mereka seakan tidak ada lagi yang merasa bertanggung jawab untuk mengamalkan setiap butir isi Pancasila. Ini terbukti dari jika kita bahas satu persatu nilai dasar Pancasila itu sendiri. Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memiliki nilai dasar Tuhan. Memang benar saat ini hampir tidak ada lagi rakyat Indonesia yang tidak berketuhanan. Namun realita justru sangat memprihatinkan dimana tindakan dan tingkah laku buruk sebahagian rakyat Indonesia melebihi mereka yang tidak berketuhanan. Bagaimana kita melihat hampir setiap hari pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik mengabarkan bagaimana seorang anak yang tega membunuh ayah atau ibu kandungnya sendiri karena berbagai alasan. Belum lagi kisah bejat seorang ayah kandung yang sanggup menodai anak kandungnya sendiri. Bukankah hal itu dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beragama dan berketuhanan yang belum tentu akan dilakukan oleh orang-orang diluar sana yang justru tidak percaya dengan adanya Tuhan.

Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sering kali kita dihadapkan pada kasus-kasus tentang ketidak beradaban sebahagian oknum bangsa Indonesia. Begitu banyak tragedi masa lalu yang mengisahkan bagaimana pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia yang hingga saat ini belum terungkap benang merahnya karena melibatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap negara. Bahkan yang palang update dan masih hangat dalam pembahasan adalah tragedi sengketa tanah di Mesuji, Lampung yang berakibat pada pelanggaran HAM yang dialami oleh para petani yang dibantai hingga tewas tanpa Prikemanusiaan. Apakah ini yang dinamakan Negara yang menjunjung tinggi keberadaban dan keadilan.

Ketiga, Persatuan Indonesia. Setelah kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) dapat didamaikan melalui perjanjian Helsinski, kini muncul lagi kelompok separatis lainnya yakni Operasi Papua Merdeka ( OPM ) yang memang bukanlah gerakan baru didunia separatisme Indonesia. Belakangan gerakan ini sering kali mencuri perhatian segenap rakyat Indonesia melalui aksi pengibaran bendera Bintang Kejora yang konon katanya merupakan bendera kesatuan meraka. Belum lagi gerakan separatis dari tanah Maluku yang menamakan dirinya Republik Maluku Selatan ( RMS ). Mereka semua melakukan gerakan separatis ini bukanlah tanpa alasan. Satu hal yang pasti meraka rasakan sehingga terjadi gerakan-gerakan ini adalah ketimpangan sosial yang meraka rasakan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dibawah naungan NKRI. Belum lagi konflik antar etnis atau yang paling sering terjadi adalah bentrokan anatar suku sepeti antara orang dayak dengan orang madura. Ini seharusnya menjadi tugas pemerintah dalam menuntaskan kesenjangan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia agar tetap solid dan bersatu. Keempat adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Memang harus diakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan Demokrasi kerakyatan. Namun dalam konteksnya, hal itu tidak didukung oleh oknum yang menjadi wakil rakyat yang justru kinerja mereka merusak tatanan kehidupan bernegara dan menyengsarakan rakyat Indonesia karena budaya korupsi yang kini telah menjamaah hampir disemua instansi pemerintahan, terutama digedungnya Anggota Dewan yang terhormat yang seharusnya menjadi penyambung lidah orang-orang yang telah memberi amanah terhadap mereka. Kelima, atau yang terakhir adalah keadilah Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Bukan rahasia umum lagi jika kita berbicara keadilan dalam konteks bernegara yang selalu menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa keadilan itu belum tentu sama rata. Hal ini benar adanya dan dapat diterima akal sehat. Namun yang jadi pertanyaan adalah apakah setiap hak yang semestinya didapatkan oleh segenap bangsa Indonesia namun tidak dipenuhi oleh orang-orang yang menjalankan roda pemerintah seperti pendidikan minimal sembilan tahun dan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak didapatkan oleh mereka yang seharusnya berhak untuk mendapatkan, dan justru diperoleh oleh mereka yang tidak berhak untuk mendapatkannya. Lalu apakah ini yang disebut keadilan. Semua itu dilakukan oleh rakyat Indonesia yang tidak mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Maka apakah kita akan tetap menjalankan tradisi yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan Kepribadian, Pandangan Hidup, dan Janji Luhur Bangsa Indonesia. kalau kita mengaku Pancasila merupakan Jiwa bangsa kita, mengapa kita harus meninggalkan dan tidak mengamalkan nilai-nilai Pancasila agar sakralismenya tetap terjaga sampai kapanpun.

HARAPAN DIDALAM KETIDAKTAHUAN

Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. Pasal 7 ayat 1a-e Undang – Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut dengan jelas menegaskan bagaimana seharusnya keprofesionalan seorang guru dan dosen sebagai tenaga pendidik diapklikasikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika kita lihat bagaimana realita saat ini tentang guru yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga pendidik yang senantiasa berupaya sembari berharap bahwa kelak akan muncul generasi-generasi muda Indonesia yang akan membawa perubahan berkat ilmu yang mereka salurkan, keadaan hidupnya sangat jauh berbeda dengan jasa yang mereka lakukan. Namun itulah yang menjadi satu nilai lebih bagi seorang guru dimana mereka tidak pernah menjadikan hal tersebut sebagai satu alasan klasik untuk berhenti mengabdikan dirinya sebagai mentor, fasilitator, bahkan motivator bagi seluruh muridnya tanpa memandang golongan dan latar belakang mereka. Meskipun terkadang hal mulia yang mereka lakukan jarang berbalas dengan respon positif dari pihak – pihak yang bertanggung jawab akan kesejahteraan hidup mereka. Kita tentunya ingat bagaimana seorang guru yang rela mendermakan masa baktinya dengan terjun ke daerah-daerah yang jauh dipedalaman dan sangat jarang tersentuh dunia luar sehingga pendidikan sangat sulit didapat oleh masyarakat yang hidup didaerah tersebut. Para pejabat yang notabenenya merupakan wakil-wakil mereka saja enggan rasanya untuk turun langsung kesana dikarenakan kondisi daerah yang sangat tidak nyaman bagi kebanyakan orang yang memang terbiasa hidup di kota. Namun hal tersebut agaknya tidak berlaku bagi kaum guru yang justru siap untuk hidup terisolasi dari dunia luar demi targetan mulia yakni mencerdaskan seluruh anak bangsa sekalipun berada didaerah yang sangat terisolasi.

Baru – baru ini Pemerintah melaksanakan Program SM-3T ( Sarjana Mendidik didaerah terluar, terjauh, terdepan, dan tertinggal ) Indonesia. Para sarjana muda tesebut ditugaskan untuk mendidik anak-anak yang tinggal didaerah-daerah pedalaman, salah satunya di Aceh tepatnya di Kabupaten Simeulue yang selama ini sangat jarang tersentuh dunia pendidikan. Jika mereka berfikir pragmatis tentu mereka akan berfikir ulang untuk mengemban tugas tersebut karena praktis masa muda mereka akan dihabiskan didaerah yang selama ini mungkin tidak pernah mereka bayangkan untuk hidup disana karena kondisinya yang sangat jauh dan akses jalan juga sulit. Namun itulah yang namanya pengabdian seseorang yang sudah ditempah mentalnya untuk mendedikasikan masa hidupnya sebagai tenaga pendidik. Panggilan jiwa yang tertanam kuat dalam diri para guru muda tersebut mengantarkan mereka untuk berjumpa dengan anak-anak didaerah terluar Indonesia itu yang selama ini haus akan pendidikan. Belum lagi kisah Philipus Ratuhurit, guru honorer selama 15 tahun di Desa Saengga kecamatan Babo, Kabupaten Manokwari. Saengga adalah salah satu desa terpencil di pedalaman Papua. Rumahnya dari bambu ukuran 2 x 3 m sebatas menginap dan memasak serta menyiapkan materi sekolah. Jika bukan karena profesinalitas dan rasa tanggung jawab sebagai mahluk yang diciptakan Tuhan untuk membantu manusia lain menjadi cerdas, tentu mereka tidak akan pernah bertahan dengan keadaan yang sesperti itu. Nasib yang demikian tragis tidak hanya dialami oleh para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang mengabdi dipedalaman saja, para insan guru yang mengabdi dikota juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Para guru honorer yang berada dikota memiliki penghasilan yang tidak lebih banyak dibandingkan tukang becak kayuh sekalipun. Sebagai contoh adalah bagaimana Masih sangat minimnya perhatian pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau terhadap kesejahteraan guru honor yang hingga kini belum mendapat taraf penghasilan yang sesuai dengan pengabdian mereka. Jika dibandingkan antara pendapatan tukang kayuh becak dengan pendapatan gaji guru honor di Meranti, lebih besar pendapatan tukang becak sebab saat ini satu bulan para guru honorer hanya diupah Rp 700 ribu, Itupun bisa diambil tiga bulan sekali. Jadi jika kita bagi 700 ribu dengan 30 hari berarti sekitar 20 ribu saja perhari, sementara tukang kayuh becak bisa mendapatkan 30-50 ribu perhari, ungkap Ws,Yang sudah 4 tahun menjadi guru honor di salah satu Sekolah Dasar Negeri Kota Selat Panjang Meranti, Riau. Peristiwa yang dialami oleh para guru honorer di Kabupaten Meranti tersebut bukanlah satu-satunya yang terjadi didunia pendidikan yang berada dikota. Bahkan di Sumatera Utara sendiri tepatnya di Kabupaten Asahan, masih ada Madrasah-Madrasah Swasta yang memberi upah kepada gurunya tidak lebih dari 500 ribu Rupiah perbulan. Hal tersebut dikarenakan minimnya perhatian dari pemerintah terhadap nasib mereka. Padahal setiap tahunnya 20% dana APBN disalurkan kedunia pendidikan, dana tersebut tidak hanya diperuntukan bagi siswa yang tidak mampu, tetapi juga untuk infrastruktur sekolah, termasuk gaji guru yang merupakan salah satu ikon penting dalam dunia pendidikan. Pemerintah harus cermat dalam memanagement aliran dana tersebut. Indonesia tidak hanya dihuni oleh guru yang merupakan Pegawai Negeri Sipil yang penghasilannya saat ini sudah lebih baik. Namun dunia pendidikan kita juga masih banyak menggunakan jasa para guru honorer yang nasibnya jarang diperhatikan oleh pemerintah. Korban Target Kelulusan Jika sudah memasuki bulan Maret yang merupakan awal persiapan untuk menyambut Ujian Nasional, maka pekerjaan para oknum guru juga otomatis bertambah. Tidak hanya memberi pelajaran ekstra kepada para peserta didik yang mempersiapkan diri untuk mengikuti Ujian Nasional, tetapi juga melobi kesana-kemari untuk mendapat bocoran soal Ujian Nasional demi targetan kelulusan siswa yang mencapai 100%. Hal ini merupakan budaya negatif yang dari tahun ke tahun selalu terjadi bagaimana soal Ujian Nasional yang katanya Dokumen Negara yang bersifat Sangat Rahasia, diolah sedemikian rupa agar dapat diketahui isinya sebelum siswa mengikuti Ujian Nasional. Fenomena ini tidak hanya terjadi disatu atau dua tempat saja. Bahkan hampir seluruh Indonesia kecurangan seperti ini kerap terjadi, meskipun dengan sigap pihak-pihak terkait termasuk Dinas Pendidikan menepis anggapan kecurangan tersebut dengan mengklaim Ujian Nasional yang berlangsung bersih dari kecurangan. Lagi-lagi oknum guru lah yang menjadi korban dari semua ini. Perjuangan mereka untuk mendidik para siswa selama tiga tahun untuk jenjang SMP dan SMA terkesan sia-sia apabila ada siswa yang tidak lulus akibat Ujian Nasional yang hanya berlangsung enam hari. Sehingga hal yang mereka tidak inginkan tersebut diatasi dengan upaya-upaya negatif yang berujung pada kecurangan saat Ujian Naional Sadar atau tidak sadar kecurangan yang dilakukan itu merupakan dampak dari ketidak efektifan sistem Pendidikan di Indonesia yang hingga saat ini masih memberlakukan Ujian Nasional sebagai standart kelulusan bagi para siswa. Oknum guru yang menjadi barisan terakhir yang bersentuhan langsung dengan perbuatan yang seperti ini juga harus sadar bahwa ketidaktahuan mereka dengan cara memberikan jawaban pada saat Ujian Nasional merupakan Boomerang nyata bagi kehidupan bangsa yang akan dipenuhi dengan manipulasi dan kecurangan sebab dari kecil para siswa sudah diajari dengan kecurangan dalam menggapai hasil kelulusannya. Yang perlu diketahui oleh para guru adalah biarkan saja para siswa mengerjakan Ujian Nasional semampu mereka. Toh apabila pada akhirnya hasil yang didapat adalah banyaknya siswa yang tidak lulus akibat Ujian Nasional, ini bukanlah salah mereka, namun hal ini merupakan Pekerjaan Rumah sendiri bagi Kemendiknas untuk mengevaluasi sistem kelulusan yang selama ini mereka terapkan memang tidak efektif.