Lompat ke isi

Lareh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 16 Juni 2012 05.10 oleh Rahmatdenas (bicara | kontrib) (menghapus Kategori:Minangkabau; menambahkan Kategori:Adat Minangkabau menggunakan HotCat)

Lareh adalah suatu wilayah pemerintahan era tanam paksa Hindia Belanda setingkat kadipaten atau kabupaten sekarang ini yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Minangkabau atau Sumatera Barat sekarang.

Lareh biasa disebut juga kelarasan. Sebuah wilayah lareh dikepalai oleh Angku Lareh (Tuanku Laras) atau Kapalo Lareh (Kepala Laras)

Etimologi

Lareh dalam bahasa Minang artinya jatuh seperti daun pepohonan yang sudah kering akan "lareh" (jatuh/gugur) dengan sendirinya apalagi ditiup angin. Dari kata lareh atau laras inilah dibentuk kata kelarasan, keselarasan atau harmoni. Menurut tambo adat Minangkabau, ada kisah tentang kata lareh ini. Dahulu di sebuah puncak bukit (entah dimana posisinya sekarang) terdapat sebuah pohon besar yang mempunyai tiga dahan. pada suatu hari terjadi pohon ini digoyang oleh angin kencang, maka jatuhlah dahannya yang tiga tersebut ke tiga penjuru, satu jatuh (lareh) ke arah Tanah Datar, satu lagi lareh ke arah Agam dan yang terakhir jatuh ke arah limapuluh kota. Oleh karena itu disebut Lareh itu sebagai 3 luhak. Secara istilah Lareh berarti suatu sistem budaya yang menghendaki adanya keselarasan antara unsur-unsur yang ada dalam sistem tersebut.

Pembagian Lareh Menurut Adat Minangkabau

Ada tiga Lareh dalam Minangkabau:

  1. Lareh Koto Piliang, menganut sistem budaya aristokrasi militeristik yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan. Kelarasan ini banyak dipakai di Tanah Datar, sebagian daerah Solok dan daerah-daerah rantau Minangkabau.
  2. Lareh Bodi Caniago atau dikenal sebagai Adat Perpatih di Negeri Sembilan, Malaysia, menganut sistem budaya demokrasi sosialis digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Kelarasan ini banyak dipakai di Kabupaten Lima Puluh Kota, Riau dan Negeri Sembilan, Malaysia.
  3. Lareh Nan Panjang yang digagas oleh adik laki-laki dari kedua tokoh di atas yang bergelar Datuk Sakelap Dunia Nan Banago-nago, yang melarang pernikahan orang Minang dalam satu nagari. Kelarasan ini banyak dipakai oleh Agam dan Padang Panjang

Pranala Luar