Lompat ke isi

Nachrowi Ramli

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Nachrowi Ramli
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat DKI Jakarta
Masa jabatan
2010 – 2015
Informasi pribadi
Lahir12 Juli 1951 (umur 73)
Indonesia Jakarta, Indonesia
Partai politikLambang Partai Demokrat Partai Demokrat
Suami/istriHj. Alfina Efi Maria
AnakDinar Eka Finarli
Githa Dwi Hastuti
Metha Tri Nirbaya
Ditha Ria Karinda
Situs webwww.nachrowi-ramli.com
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Mayor Jenderal (Purn) H. Nachrowi Ramli, (lahir 12 Juli 1951) adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat DKI Jakarta. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di dunia militer dan intelijen, khususnya bidang telik sandi.

Pria yang akrab dipanggil Nara ini adalah satu dari sedikit putra Betawi yang berhasil menjadi Jenderal TNI AD dan perwira teknik elektro. Di Akademi Militer (Akmil)[1], Nara teman satu angkatan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan lulus tahun 1973. Setelah itu, Nara berkarier di dunia intelijen sejak tahun 1974 hingga menjadi Kepala Lembaga Sandi Negara Republik Indonesia tahun 2002 – 2008.

Putra Betawi ini lahir dan besar di kawasan Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Komitmen Nara terhadap perkembangan masyarakat dan budaya Betawi ditunjukkan dengan kegemarannya mendalami silat Betawi serta kiprahnya sebagai Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus Betawi) dan Ketua Dewan Penasehat Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi).

Selesai mengabdi di militer dan Lembaga Sandi Negara, Nara kemudian berkiprah di dunia politik sebagai Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta. Terpilih secara aklamasi dalam Musyawarah Daerah pada bulan November 2010. Nara berhasil melakukan konsolidasi dan menegakkan disiplin bagi para kader partai. Partai Demokrat adalah partai pemenang Pemilihan Umum 2009. Di DKI Jakarta, Partai Demokrat mendapatkan 32 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.

Anak Gang Masjid, Kramat Sentiong

Mayor Jenderal (Purnawirawan) Haji Nachrowi Ramli atau akrab kita panggil “Bang Naramon” lahir dan besar di Jakarta, tepatnya di Gang Masjid Jalan Kramat Sentiong, pada 12 Juli 1951. “Rumah kami itu halamannya luas dan suasana Sentiong saat itu sangat Betawi. Di belakang rumah induk yang bergaya Betawi, ada lima rumah lagi yang ditempati tiga adik bapak, satu tukang becak—bapak kasih karena kasihan daripada dia tidur di becak, dan satu lagi disewakan.”

Bapak Nara, haji Ramli bin Miun, adalah anggota Laskar Rakyat yang alih profesi menjadi pegawai Percetakan Negara Republik Indonesia tapi kemudian mengajukan pensiun dini dan membuka usaha percetakan sendiri. Nara masih ingat bagaimana ia membantu bapaknya. “Pulang sekolah, saya kempit tas berisi buku kwitansi dan bon bikinan bapak. Saya bawa tuh ke Senen, Jatinegara, dan lain-lain. Semuanya dengan berjalan kaki karena angkutan umum masih jarang.”

Masa kecil Nara diisi dengan kegiatan mengaji di madrasah dan di Perguruan Jamiatul Wasliyah tak jauh dari rumahnya. Ia punya guru ngaji favorit, antara lain Ustadz Muin, Ustadz Almudaris, dan Ustadz Ali Sofyan. “Mereka digandrungi karena cara penyampaiannya, dan pergaulannya juga bisa match dengan murid-muridnya. Saya merasa itulah yang menghantarkan saya dekat ke agama, dan bisa menulis, membaca, dan berhitung dalam bahasa Arab,” ujar Nara.

Ketika Nara duduk di kelas II SMP, bapaknya meninggal dunia. Bekas luka akibat menginjak merang ketika bergerilya di bekas persawahan di Karawang, Jawa Barat, berubah menjadi infeksi sehingga harus dioperasi, tapi gagal. haji Ramli bin Miun, pejuang Laskar Rakyat, menghembuskan napas terakhir pada usia 53 tahun. Sejak 7 Juli 1965 itu Nara menjadi anak yatim.

Peristiwa G 30 S yang meletus beberapa bulan kemudian ikut menyeret Nara yang waktu itu kelas II SMP berjuang menumpas pemberontak beserta antek-anteknya. Nara bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) Rayon Kramat Salemba—Rakarsa, dalam memperjuangkan hati nurani rakyat. “Hampir tiap hari saya dan teman-teman naik truk, ikut demo kemana-mana. Ketika Arif Rahman Hakim tertembak di depan istana dan jaket kuningnya yang berlumuran darah diarak kemana-mana, saya ikut.”

Untuk membantu perekonomian keluarga—karena dari usaha percetakan peninggalan sang bapak saja tidak cukup—Nara menjadi penyalur aneka barang kebutuhan pokok, utamanya telur. “Setiap minggu itu saya bisa ngeborong 10 sampai 15 peti telur. Satu peti isinya 200 butir. Ngambilnya dari pedagang di Senen. Pertama ambil sedikit dulu dan saya bayar tepat waktu sehingga lama-lama ada kepercayaan dan bisa bayar dua minggu kemudian. Untuk menjaga kualitas telur kita kudu ngerti. Japada masa itu saya udah jago ngeker telur.”

Tamat SMP Muhammadiyah 3, Nara melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1 di Jalan Kramat Raya 49 Jakarta Pusat. Mata pelajaran favoritnya adalah ilmu pasti dan nilainya selalu paling tinggi, sehingga jurusan itulah yang dipilihnya ketika naik ke kelas dua. Karena pintar dalam ilmu pasti, teman-temannya meminta Nara mengajari mereka, bahkan sampai harus menginap segala kalau musim ujian tiba. “Soal ilmu pasti ini turunan dari ibu saya, Hajjah Soekarni. Dia pendidikan Belanda dan sempat ikut pendidikan staf di RS Cipto Mangunkusumo. Ibu itu ngitung apa-apa, cepet aja,” cerita Bang Nara.

Ada dua guru yang cara mengajarnya membuat Bang Nara terkesan. Pertama, guru ilmu analit ruang bernama Pak Idris. “Kalau ngajar, dia suka nyuruh saya maju, dan saya bisa selesaikan. Orangnya tidak begitu tinggi, sepatunya selalu pake tali, dan itu buat nendang. Jadi kalau nggak bisa, kita ditendang. Kalau kita nggak bisa jawab, dia langsung bilang ‘Bodoh. Kalau kalian nggak suka belajar, silakan keluar’. Sampai satu setengah tahun lalu sebelum dia meninggal, kami masih suka bertemu.”

Guru lain yang dikagumi Bang Nara adalah Pak Djafar A.R, orang Aceh yang menjadi guru civic atau kewarganegaraan di kelas satu dan kelas dua. “Kewarganegaraan itu kan mengangkat rasa nasionalisme kita. Nah, saya juga terkesan dengan caranya mengajar. Dia juga selalu menunjuk saya sebagai ketua rombongan kalau ada kunjungan ke SMA-SMA, misalnya ke SMA Muhammadiyah di Tangerang dan daerah-daerah lain. Jadi semua jadwal saya yang siapkan, materi yang dibicarakan dalam pertemuan, pertandingan olahraga persahabatan, dan sebagainya. Makanya ketika saya lulus Akabri, dia bilang ‘sudah pantaslah itu’.”

Naramon mengakui sangat menikmati masa SMA, dan pengajaran yang dia terima semasa sekolah membentuk kepribadiannya. “Kalau di Muhammadiyah masuk kelas kan baca Al Fatihah dulu sebelum belajar, pulang baca Wal Asri (Surah Al-‘Ashr). ‘Demi waktu. Manusia yang tidak memanfaatkan waktu, akan merugi.’ Ini saya catat betul.***

Berani Tidak Dikenal

Peristiwa G 30 S pada 1965 tidak saja mengubah peta perpolitikan di tanah air, tapi juga masa depan Nara. Untuk pertama kalinya Nara bertemu Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang Kopassus) Sarwo Edhie Wibowo. “Orangnya gagah, matanya tajam kayak kucing. Dan sama rakyat deket. Kita yang waktu itu demo, boleh naik tank. Dia bahkan turun tank, dia ikut parade di jalan.” Nara—yang waktu itu kelas dua SMP—langsung menjadikan Sarwo Edhie sebagai idola.

Selain silat yang memang sudah dipelajarinya sejak kecil, Nara giat berolahraga seperti tenis, tenis meja, dan angkat beban. Ia membuat sendiri halter, dari dua kaleng bekas susu dicor dan disambungkan dengan sebatang besi. Setiap pagi dan sore, Nara berlatih. “Badan saya itu, istilah anak-anak sekarang, six pack.” Kebugaran fisik itu sangat membantunya ketika mengikuti seleksi Akabri mulai dari tingkat daerah, pusat, hingga lolos ke ke Magelang tahun 1969.

Waktu empat tahun di Lembah Tidar merupakan masa penuh ujian mental dan fisik namun Bang Nara berhasil melewatinya. Keinginannya hanya satu: mengabdi kepada Bangsa dan Negara. Bersama ratusan taruna lainnya, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono, Nara diwisuda pada 1973. Selanjutnya ia mengikuti kursus dasar kecabangan teknik elektro selama enam bulan di Pusat Pendidikan Perhubungan TNI AD di Cimahi, Jawa Barat. Di sana untuk pertama kali ia belajar ilmu sandi. Nilainya untuk mata pelajaran itu seratus.

Penugasan pertama Nara adalah sebagai perwira sandi di Badan Pelaksana Sandi (Balak Sandi) Mabes TNI AD di Jakarta. Karena nilainya bagus ketika mengikuti kursus Perwira Sandi di Sekolah Intelijen Strategis, ia ditunjuk untuk mengikuti pendidikan di Akademi Sandi Negara tahun 1978. Ia merupakan satu-satunya tentara di antara 20 siswa angkatan keempat di akademi yang menerapkan sistem gugur per semester itu. Peserta lainnya dari kejaksaan dan lulusan SMA. Waktu itu ia belum genap seminggu menjadi pengantin baru, menikahi gadis yang telah menjadi pacarnya selama lima tahun: Alfina Evi Maria.

Nara menyelesaikan pendidikan dalam waktu dua tahun dan lulus sebagai salah satu siswa terbaik sehingga berhak menyandang gelar Ahli Sandi Tingkat III—gelar yang langka waktu itu dan tingkat Profesional ahli tertinggi di Republik Indonesia. Makin mantaplah ia berkarir sebagai perwira sandi, sebuah dunia yang punya aturan main sendiri: “Berani tidak dikenal”.***

Bertugas Sebagai Diplomat

Pada 1984 Nara terpilih untuk mengikuti persiapan penugasan luar negeri. Ia ditarik ke Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dan selanjutnya diperbantukan ke Departemen Luar Negeri. Selama dua tahun bekerja di Pusat Persandian Deplu yang mempunyai jejaring dengan 101 kedutaan Besar Republik Indonesia di seluruh dunia, Nara yang saat itu berpangkat kapten, belajar politik luar negeri. “Suasana Perang Dingin waktu itu begitu tegang dan setiap hari saya menerima laporan mengenai kasus-kasus di luar negeri, dan laporan setiap dubes ke Menlu.”

Penugasan baru ini menambah cakrawala pengetahuan dan mempertajam kemampuan analisis Nara. Dari yang tadinya hanya tahu seputar TNI —bahwa setiap pagi Panglima TNI menerima laporan Pangdam mengenai situasi politik keamanan seperti ada perkelahian, tembak-menembak, penyelundupan, dan segala macam—sehingga Nara menjadi paham situasi global. Ia juga mempelajari bagaimana tata cara pergaulan di dunia internasional yang memiliki aturan tersendiri.

Awal Agustus 1986, Nara ditempatkan sebagai Atase Administrasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, Mesir. Belum genap satu minggu, tugas berat langsung menyambutnya. Bang Nara harus mengamankan perjalanan istri Wakil Presiden Umar Wirahadikusuma yang berkunjung ke Kairo dan sekitarnya. Sepekan kemudian Nara harus terbang ke Harare, Zimbabwe, untuk membantu kelancaran misi delegasi Indonesia dalam KTT Non Blok ke-VIII.

Untuk menanamkan rasa cinta tanah air, Nara seringkali mendapat tugas sebagai perwira upacara bendera di Kedutaan Besar Indonesia di Kairo. Ia mendidik anak-anak Indonesia dengan pelajaran berbaris, bahkan memesan langsung baju seragam paskibra ke Jakarta. Bersama Duta Besar Ahmad Jumiril dan Abdurrahman, serta atase pertahanan, ia ikut memberikan pemahaman mengenai Pancasila dan UUD 1945 kepada ratusan mahasiswa yang sudah lama meninggalkan tanah air.

KBRI di Kairo merupakan jangkar untuk sejumlah kedutaan besar RI di benua Afrika, antara lain Sudan, Somalia, dan Jibouti. Belasan kedubes RI lainnya yang sistem komunikasinya tidak sampai ke Jakarta, melaporkan situasi mereka masing-masing ke Kairo, baru diteruskan ke Jakarta.

“Waktu Perang Teluk pertama pecah pada 1990, kita sudah siapkan radio dari yang gede sampai yang kecil. Dengan yang kecil ini kita sudah siap menggelandang di padang pasir sebab semuanya kan dibom sama Irak. Semua perintah operasi sudah saya susun. Anak-anak saya semua, yang masih kecil-kecil, sudah saya siapkan kopernya satu-satu. Ada apa-apa, berangkat! Sementara saya sebagai perwira komunikasi, sesuai prosedurnya, harus meninggalkan lokasi paling belakangan.”

Untunglah situasi membaik. Pada 1991 Nara pulang ke tanah air. Sebagai satu-satunya ahli sandi tingkat III yang di miliki TNI AD, ia tergolong kader pimpinan pada masa depan. Oleh karena itu tidak segan-segan Kepala Lembaga Sandi Negara RI waktu itu, Laksamana Muda TNI Soebardo, berebut dengan pimpinan TNI, sehingga akhirnya Menteri Sekretaris Negara Moerdiono Menyampaikan pesan Presiden Soeharto untuk panglima TNI jenderal Try Sutrisno: “Kasi tau Try, ini perwira tetap di Lembaga Sandi.”***

Mengibarkan Panji Sandi

Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) berdiri pada 4 April 1946 dengan nama Lembaga Sandi Angkatan Perang di Yogyakarta. Simbolnya bulu ayam dan cabe rawit. Bulu ayam berarti informasi, tulis-menulis. Sedangkan cabe rawit adalah rahasia. “Maksudnya, rahasia itu kalau dikelola dengan baik akan menguntungkan rakyat—seperti cabe rawit dikasi terasi dan garam, kan enak. Sebaliknya, informasi kalau ditelan mentah-mentah seperti cabe rawit, akan menghancurkan dan mematikan. Itu falsafahnya,” kata Nara.

Nara meniti karir dari pejabat eselon tiga pada 1991 sampai akhirnya menjadi Kepala Lemsaneg pada 2002 menggantikan Laksamana Muda B.O. Hutagalung. “Saya ingat betul ketika serah terima dari pejabat lama, itu panji sandi refleks saya kibarkan—padahal itu berat. Sejak saat itu saya ngebut menyosialisasikan pentingnya keamanan dan persandian.”

Dua hal tersebut menjadi penting karena Nara berkaca kepada pengalamannya sendiri. Banyak ruang kerja menteri, duta-duta besar, dan pejabat negara lainnya, yang tidak “steril” alias disusupi alat penyadap. Rapat-rapat penting membahas berbagai kebijakan strategis juga banyak yang bocor, baik karena disadap maupun karena belum ada kesepakatan tentang definisi “rahasia negara” dan bagaimana mengamankannya. Untuk mencegah rapat-rapat penting—seperti sidang Kabinet disadap—Nara membeli jammer alias alat pengacak sinyal telepon genggam. Sedangkan untuk menyamakan persepsi “rahasia Negara” dan prosedur pengamanannya, Nara beserta jajaran Lemasneg menyusun Sistem Persandian Nasional (SISDINA). Ia harus bekerja keras meyakinkan sejumlah menteri, pejabat Negara dan pejabat BUMN mengenai pentingnya mengamankan informasi terkait rencana kebijakan-kebijakan pemerintah.

Dua tahun setelah menjabat Kepala Lemsaneg, SISDINA pun diluncurkan pada bulan April 2004—bertepatan dengan ulang tahun Lemsaneg ke-58. Sejak itu semua kementerian dan BUMN harus memiliki fungsi sandi. Untuk menunjang upaya mengamankan rahasia negara, Lemsaneg membeli berbagai peralatan persandian. Nara memberlakukan syarat yang ketat, bahkan ia ikut menguji peralatan tersebut, misalnya dengan membawanya ke Finlandia untuk diuji pada suhu minus 20 derajat dan ke Saudi Arabia pada suhu 50 – 60 derajat. “Itu mesin nggak boleh meleleh dan nggak boleh beku. Saya nggak mau beli sembarangan,” tegas Nara.

Pencapaian Nara lainnya adalah berdirinya Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) dengan kampusnya yang megah di Ciseeng, Bogor, Jawa Barat. Awalnya ia tidak terlibat dalam pembangunan kampus tersebut namun karena upaya pencarian lahan tidak berhasil sementara tahun anggaran akan berakhir, Nara pun ditunjuk sebagai ketua panitia.

Dapat lokasi plus rekomendasi dari pejabat setempat, masalah berikutnya adalah bangunan. “Kalau bangunan nggak dimulai tahun itu maka gedung STSN tidak akan jadi. Tahun berikutnya, saya berhasil meyakinkan Bappenas dan Depkeu, bahwa pembangunan sekolah tersebut harus dilanjutkan.”

Untuk meningkatkan kemampuan profesional pegawai Lemsaneg, Nara membuka hubungan dengan negara-negara lain, salah satunya dengan Selandia Baru dan italia yang memilki satu dari sedikit universitas dengan jurusan kriptologi [2].

Gedung Lemsaneg yang tadinya tidak memadai juga diperbaiki. Mobil dinas ditambah dan puluhan sepeda motor ikut dibeli untuk memudahkan mobilitas karyawan. Nara tidak mau kejadian yang menimpa Kepala Lemsaneg Soebardo yang dilarang masuk istana karena mobilnya jelek terulang kembali. Di zaman Nara pula, keharusan mengikutsertakan Kepala Lemsaneg dalam tim inti (main group)keberangkatan presiden dihidupkan kembali. Terakhir kebiasaan itu ada di zaman Roebiono Kertopati, Kepala Lemsaneg yang pertama. “Kalau boleh jujur, Ibu Mega adalah presiden yang concern pada sandi,” kata Bang Nara.

Meski “hanya” berbintang dua, dalam kedudukannya sebagai Kepala Lembaga Sandi Negara, Nara merupakan satu dari sepuluh orang penentu politik dan keamanan Negara. Ia terlibat dalam berbagai rapat koordinasi politik dan keamanan yang dipimpin oleh Menko Polhukam.

Setelah mengabdi selama 34 tahun, Nara mengakhiri karirnya sebagai perwira intelijen dengan keahlian utama di bidang persandian pada 2008. Di kantor Menko Polhukam ia meninggalkan jejak berupa “sub sandi” yang dibentuk usai Pemilu tahun 2004. Karena andilnya dalam menangani situasi di Nanggroe Aceh Darussalam, Nara mendapat Satyalencana Dharma Nusa. Ia juga menerima bintang Jasa Utama karena pengabdiannya yang dianggap melebihi dari keharusan yang ada. Tanda jasa yang di milikinya ada 10, sehingga tidak diragukan lagi pengabdiannya kepada bangsa dan negara.

Jika Anda berkunjung ke museum sandi di dalam kompleks Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Nara juga punya andil dalam pembangunannya. Ia sengaja meminta Sri Sultan Hamengkubuwono X agar diijinkan membangun museum tersebut. Nara juga mendirikan sebuah bangunan di Bukit Menoreh, untuk menandai bahwa di situlah pertamakalinya sandi-menyandi untuk Republik ini dilakukan. Di tangan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Nachrowi Ramli, panji Sandi dikibarkan dalam arti yang sesungguhnya.***

Saatnya Menata Jakarta

Selama 34 tahun mengabdi sebagai perwira TNI, Nara sudah membuktikan bahwa ia mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dengan hasil yang membanggakan. Beberapa pencapaiannya bahkan jauh melebihi apa yang ditugaskan sehingga ia berhak mendapat Bintang Jasa Utama.

Persentuhan Bang Nara dengan Partai Demokrat juga adalah sebuah kisah sukses tersendiri. Nara tergabung dalam tim Echo DKI Jakarta, ikut menghantarkan Partai Demokrat meraih suara 34% di DKI Jakarta untuk pemilu legislatif tahun 2009 dan memastikan SBY terpilih kembali menjadi Presiden RI periode 2009 – 2014.

Salah satu hasil Pemilu 2009 adalah terbentuknya susunan baru dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta saat itu yaitu Ferrial Sofyan terpilih menjadi Ketua DPRD DKI Jakarta. Agar fokus dan total dalam melaksanakan tugas maka beliau harus melepas jabatan Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta.

Untuk mengisi kekosongan jabatan dan mempersiapkan Musyawarah Daerah, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat menugaskan Nara sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta. Baru pada Musyawarah Daerah ke-11 tanggal 4 November 2010, Nara terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta [3].

Nara percaya pada satu prinsip manajemen yang diambil dari filosofi Jawa: Ambeg Paramarta—mendahulukan apa yang paling penting. Nara meyakini, untuk bisa memutuskan mana yang paling penting dan perlu didahulukan, informasi menjadi kunci. Seribu solusi bisa diajukan tapi kalau tidak dilengkapi dengan informasi yang komprehensif, keputusan yang diambil seorang pemimpin menjadi tidak tepat. Ketersediaan informasi yang lengkap pun tak akan berarti apa-apabila tidak ada keberanian dari sang pemimpin untuk mengambil risiko, dalam hal ini adalah membuat suatu keputusan.

Demikian juga dalam konteks Menata Jakarta menjadi kota yang lebih aman dan nyaman. Menurut Nara, semua permasalahan akan dikaji komprehensif. Dalam soal macet misalnya, banyak solusi sudah dibuat tapi tanpa pertimbangan matang. Misalnya, busway. Sudah dibangun jalur khusus namun di sisi lain tidak ada tindakan terhadap kendaraan yang menyerobot jalur busway. Belum lagi soal kendaraan umum yang tak memenuhi syarat yang masih beroperasi di jalanan. Trotoar-trotoar dipakai untuk komersial dibiarkan di depan mata. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Inti semuanya adalah tidak adanya ketegasan dalam menegakkan aturan dan tidak hadirnya pemimpin yang serius, tegas, dan bernyali untuk menyelesaikan persoalan.

Sebagai Ketua Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus Betawi) yang membawahi 114 organisasi, Nara juga tidak menutup mata terhadap berbagai permasalahan sosial yang ada. Desakan ekonomi membuat warga Betawi merasa tersingkirkan sehingga perlu membentuk organisasi-organisasi. Kuncinya adalah pemberdayaan, di samping orang Betawi sendiri harus meningkatkan kemampuannya sehingga mempunyai daya saing yang memadai. Sejalan dengan kedudukannya sebagai Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia wilayah DKI Jakarta [4], terobosan-terobosan itulah yang sedang dilaksanakan Nara.

Karena itu, sejalan dengan amanat yang diberikan oleh Musyawarah Daerah DPD Partai Demokrat DKI Jakarta kepadanya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada tahun 2012, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Nachrowi Ramli menyatakan: SAATNYA MENATA JAKARTA, PENUH KETEGASAN DAN KEBERANIAN[5].

Riwayat Jabatan

  1. Perwira intelijen di lingkungan TNI AD, 1974 – 1986
  2. Atase KBRI Mesir, 1986 – 1992
  3. Direktur "D". Deputi II Lembaga Sandi Negara RI, 1995
  4. Deputi Bidang Pamsan & Komlek Lembaga Sandi Negara RI, 1998.
  5. Deputi Bidang Keamanan Lembaga Sandi Negara RI, 1999
  6. Sekretaris Lembaga Sandi Negara RI, 2001
  7. Kepala Lembaga Sandi Negara RI, 2002 - 2008

Organisasi

  1. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Propinsi DKI Jakarta, 2009 – 2010 (plt), 2010 - 2015
  2. Ketua Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Propinsi DKI Jakarta
  3. Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus Betawi)
  4. Ketua Dewan Penasehat Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi)
  5. Ketua I Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI)

Penghargaan

  1. Satyalencana Kesetiaan 8 tahun dari Mabes ABRI, 1985
  2. Satyalencana Kesetiaan 16 tahun dari Mabes ABRI, 1998
  3. Satyalencana Kesetiaan 24 tahun dari Mabes ABRI, 1992
  4. Satyalencana Dwidya Sistha dari Lembaga Sandi Negara RI, 1997
  5. Satyalencana Dharma Nusa dari Mabes ABRI, 1998
  6. Penghargaan Persandian 20 tahun dari Mabes ABRI, 1999
  7. Penghargaan Persandian 30 tahun dari Presiden RI, 2003
  8. Bintang Kartika Eka Pakci Nararya dari Lembaga Sandi Negara RI, 2005
  9. Bintang Yudha Dharma Nararya dari Presiden RI, 2006
  10. Bintang Kartika Eka Pakci Pratama dari Presiden RI, 2006
  11. Bintang Yudha Dharma Pratama dari Presiden RI, 2008
  12. Bintang Jasa Utama dari Presiden RI, 2008

Pranala Luar

Jabatan politik
Didahului oleh:
Ferial Sofyan
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat DKI Jakarta
20102015
Diteruskan oleh:
Sedang Menjabat

Catatan Kaki