Lompat ke isi

Masjid Tuo Kayu Jao

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 20 Desember 2012 21.05 oleh CommonsDelinker (bicara | kontrib) (Berkas Tuo_Kayu_Jao_Mosque.jpg dibuang karena dihapus dari Commons oleh Martin H.)
Masjid Tuo Kayu Jao
Masjid Tuo Kayu Jao setelah dipugar
PetaKoordinat: 1°0′16.146″S 100°37′43.522″E / 1.00448500°S 100.62875611°E / -1.00448500; 100.62875611
Agama
AfiliasiIslam
Lokasi
LokasiJorong Kayu Jao, Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Indonesia
Arsitektur
TipeMasjid
Gaya arsitekturMinangkabau
Peletakan batu pertamaAbad ke-16
Spesifikasi
Panjang15 meter[1]
Lebar10 meter[1]
KubahTidak ada
MenaraTidak ada

Masjid Tuo Kayu Jao adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Jorong Kayu Jao, Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.[2] Masjid yang tercatat telah berdiri sejak tahun 1599 ini merupakan masjid tertua di Kabupaten Solok dan tertua kedua di Indonesia yang masih berdiri sampai saat ini.[3][2]

Masjid Tuo Kayu Jao juga merupakan salah satu cagar budaya di Sumatera Barat yang diawasi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.[4] Masjid ini telah beberapa kali mengalami pemugaran, seperti pemugaran salah satu tiang dan penggantian atap ijuk yang lama dengan yang baru karena telah lapuk. Meskipun telah beberapa kali dipugar, keaslian masjid ini masih tetap dipertahankan.[2] Namun dalam pemugaran terakhir, warna cat masjid ini yang sebelumnya putih diganti menjadi coklat kehitaman.[4]

Saat ini selain digunakan untuk aktivitas ibadah umat Islam, masjid satu lantai ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat, bahkan telah menjadi salah satu daya tarik wisata terkenal di Sumatera Barat terutama di Kabupaten Solok.[5]

Sejarah

Tidak diketahui pasti tahun berapa sebetulnya masjid ini berdiri. Berdasarkan sejumlah catatan masjid ini dibangun pada tahun 1599,[6][7] sementara catatan lain juga ada yang menyebutnya lebih tua dari itu.[4] Namun terlepas dari perbedaan tersebut, pembangunan masjid ini dilakukan menyusul dimulainya perkembangan agama Islam di kawasan Solok pada abad ke-16.[3] Nagari tempat masjid ini berada maupun sekitarnya juga telah dibentuk sebelumnya lengkap dengan tiga unsur kepemimpinan yang dikenal oleh masyarakat Minangkabau, yaitu alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak.[6][7] Menurut pemuka masyarakat setempat, terdapat dua orang yang berperan dalam pembangunan masjid ini, yakni Angku Musaur dan Angku Labai, yang keduanya dimakamkan tidak jauh dari lingkungan masjid.[4]

Arsitektur

Arsitektur yang dimiliki masjid ini secara keseluruhan dipengaruhi oleh corak Minangkabau. Masjid ini memiliki tatanan atap sebanyak tiga tingkat yang terbuat dari ijuk dengan ketebalan sekitar 15 cm[4] dan permukaan dibuat tidak datar melainkan sedikit cekung; permukaan atap yang cekung cocok untuk daerah beriklim tropis karena dapat lebih cepat mengalirkan air hujan ke bawah.[8][6] Antara tingkatan atap yang satu dengan yang lain terdapat celah yang dibuat untuk pencahayaan dengan tingkatan teratas merupakan atap berbentuk limas. Bagian mihrab memiliki atap dengan bentuk berbeda, yaitu berbentuk gonjong layaknya Rumah Gadang. Di sisi lain, corak Islam terlihat pada masing-masing puncak atap yang dilengkapi mustaka.

Atap masjid ini disangga oleh 27 tiang, simbolisasi dari enam suku di sekitar masjid ini yang masing-masing terdiri dari empat unsur pemerintahan ditambah dengan tiga unsur dari agama yakni khatib, imam, dan bilal.[2][7] Simbolisasi lain juga terdapat dalam jumlah jendela yang sebanyak 13, yang mengisyaratkan jumlah rukun salat.[3]

Sebelum pengeras suara ada, masjid-masjid di Indonesia umumnya menggunakan bedug sebagai penananda masuknya waktu salat dan dipukul ketika waktu untuk salat tiba kemudian akan dilanjutkan dengan kumandang azan. Seperti masjid tua lainnya di Indonesia, masjid ini juga memiliki bedug atau disebut tabuah dalam bahasa Minang. Bedug yang diperkirakan berusia sama dengan masjid ini diletakkan di bangunan tersendiri di lingkungan masjid.[8] Sebagai salah satu budaya Islam di Indonesia, keberadaan bedug tersebut masih tetap dipertahankan.

Lihat pula

Rujukan

Catatan kaki
Daftar pustaka

Pranala luar