Politik Minangkabau
Politik Minangkabau adalah suatu sistim politik yang berlandaskan filosofi demokrasi, egalitarian dan keadilan sosial. Sistim politik demokrasi telah dipakai oleh masyarakat Minangkabau sejak berabad-abad yang lalu, dan dianggap oleh berbagai pihak sebagai sebuah sistim yang modern dan mendahului zamannya.
Pra kemerdekaan Indonesia
Jauh sebelum kedatangan kolonialis Belanda, sistim pemerintahan di Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip-prinsip politik yang demokratis, egaliter dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistim Nagari yang otonom, dimana suatu kelompok masyarakat yang berhimpun dalam suatu nagari (setingkat kelurahan/desa) dikelola secara bersama oleh sebuah triumvirat yang disebut Tigo Tungku Sajarangan dan dijalanken oleh seorang yang dipercaya menjabat sebagai Wali Nagari.
Pasca kemerdekaan Indonesia
Sistim politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter merupakan antitesis bagi sistim politik besar lainnya di Indonesia yang diusung oleh budaya Jawa yang cenderung sentralistik, patron klien dan feodalistik. Dalam sejarah sejak Indonesia merdeka, kedua sistim politik ini saling berinteraksi, bersaing dan berdialektika dalam perpolitikan Indonesia dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Pada awal-awal kemerdekaan, sistim politik Minangkabau yang termanifestasi dalam lakon politik dari tokoh-tokoh politik yang berasal dari Minangkabau, seperti Hatta, Syahrir, Natsir, Agus Salim dan lain-lain, mendapatkan tempat yang lebih leluasa dengan berlakunya sistim parlementer yang diwarnai dengan beragam partai politik. Bagi sebuah negara yang masih muda, ternyata sistim ini sering menimbulkan kegaduhan politik, sehingga berakibat pada jatuh bangunnya pemerintahan dan seringnya pergantian kabinet.
Sistim ini berlaku sampai keluarnya Dekrit Presiden pada tahun 1959. Sistim politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistim politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas sampai tahun 1965, dimana akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Soeharto. Selama sekitar 32 tahun selanjutnya, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistim yang hampir sama dengan pendahulunya. Barulah pada tahun 1998, dengan adanya reformasi, perpolitikan Indonesia kembali ke sistim demokrasi, walaupun masih bersifat prosedural atau belum substansial.
Pranala luar
- Nilai Egalitarian Dan Demokratis Masyarakat Minangkabau Berdikari Online, 26 Juli 2010. Diakses 6 Juni 2013.
- Berpikir Minang untuk Indonesia Kompasiana. Diakses 6 Juni 2013.
- RELASI DUA KEPENTINGAN (BUDAYA POLITIK MASYARAKAT MINANGKABAU) Harmonia. Diakses 6 Juni 2013.