Situs Biting
Situs Biting adalah sebuah situs arkeologis yang terletak di desa Kutorenon, kecamatan Sukodono, Lumajang, provinsi Jawa Timur. Situs ini diperkirakan merupakan peninggalan dari kerajaan Lamajang dan tersebar di atas kawasan seluas sekitar 135 hektare. Bangunan yang paling mengesankan adalah bekas tembok benteng dengan dengan panjang 10 kilometer, lebar 6 meter dan tinggi 10 meter.
Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha.
Pada tahun 1995 di Kawasan Situs Biting mulai dibangun Perumnas Biting yang tentu saja banyak merusak peninggalan Sejarah (Situs) yang ada. Namun anehnya pihak-pihak terkait yaitu Balai Pelstarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur yang merupakan lembaga penyelamat seolah diam melihat perusakan ini sehingga lebih kurang 15 Hektar kawasan ini rusak oleh pembangunan ini.
Pada tahun 2010 berdasarkan lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) melakukan advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat lokal Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya.
Advokasi yang dilakukan oleh para pelestari Situs Biting telah melahirkan berbagai event seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata Jawa Timur dari Kabupaten Lumajang yang akan diadakan setiap bulan juni.
Pelestarian Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah.
Dalam sejarahnya, prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Adipati Arya Wiraraja memberikan bantuan kemudian melakukan kesepakatan "pembagian tanah Jawa menjadi dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian Sumenep". Setelah itu Adipati Arya wiraraja memberi bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik terhadap Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Terik' menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden wijaya sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.
Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan Jendral Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati raden wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata. Hal ini dikarenakan permintaan Arya wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemputri putri Jawa tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I. Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi. Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya yaiti Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan patih di Majapahit. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada tahun 1331 masehi.
Daftar Pustaka:
Ketut Riana, "Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit". Jakarta: PT Kompas Gramedia Nusantara, 2009.
Ki J. Padmapuspita, "Pararaton". Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa, 1966
Mansur hidayat, "Sejarah Lumajang: Melacak Ketokohan Arya Wiraraja dan Keemasan Lamajang Tigang juru". Denpasar: Cakra Press, 2012.
Slamet Mulyana, "Tafsir Sejarah: Nagarakrtagama". Yogyakarta, LKiS, 2009
----------------, "Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit". Yogyakarta, LKiS, 2011