Lompat ke isi

Revolusi Nasional Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Intro (Ricky)

Revolusi Nasional Indonesia

Bung Tomo, salah satu pemimpin pejuang revolusioner.[1]
Tanggal17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
LokasiIndonesia
Hasil Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia
Pihak terlibat
 Indonesia

 Belanda(sejak 1946)

 Britania Raya (hingga 1946)
Tokoh dan pemimpin
Indonesia Sukarno
Indonesia Jen. Sudirman
Indonesia Let.Gen. Sri Sultan Hamengkubuwana IX
Indonesia Mohammad Hatta
Indonesia Syafruddin Prawiranegara
Belanda Simon Spoor
Belanda Hubertus van Mook
Belanda Willem Franken
Britania Raya Sir Philip Christison,
Kekuatan
Pasukan Republikan:
183.000
Pemuda:
Diperkirakan 60,000
Tentara Kerajaan Belanda:
20,000 - 180,000 orang
Tentara Hindia Belanda:
60,000
Inggris:
30,000+[1]
Korban
45,000 hingga 100,000 pejuang tewas

1,200 militer Inggris tewas [2] 3,144 tentara Hindia Belanda tewas[3]

3,084 tentara Kerajaan Belanda tewas[3]
25,000 hingga 100,000 rakyat sipil tewas [4]

Revolusi Nasional Indonesia adalah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan Belanda. Rangkaian peristiwa ini terjadi antara deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda di tahun 1949. Meskipun demikian, gerakan revolusi sendiri telah dimulai pada tahun 1908, yang saat ini diperingati sebagai Tahun Kebangkitan Bangsa.

Selama sekitar empat tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi secara sporadis. Selain itu terdapat pula pertikaian politik serta dua intervensi internasional. Dalam peristiwa ini pasukan Belanda hanya mampu menguasai kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, namun tidak memiliki kontrol di desa dan daerah pinggiran. Karena sengitnya perlawanan bersenjata serta perjuangan diplomatik, Kerajaan Belanda berhasil ditekan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.[5]. Revolusi ini berujung pada berakhirnya administrasi kolonial Hindia Belanda dan mengakibatkan perubahan struktur sosial di Indonesia, di mana kekuasaan raja-raja mulai dikurangi atau dihilangkan.

Latar belakang (Alven)

Pergerakan nasionalisme Indonesia untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, seperti Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia PNI, Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia PKI, tumbuh dengan cepat di pertengahan abad 20. Budi Utomo, Sarekat Islam dan gerakan nasional lainnya memprakarsai strategi kerja sama dengan bergabung bersama Volksraad Belanda dengan harapan Indonesia akan diberikan pemerintahan sendiri oleh Belanda tanpa campur tangan Kerajaan Belanda [6]. Sedangkan gerakan nasionalisme lainnya memilih cara non kooperatif dengan menuntut kebebasan pemerintahan Indonesia sendiri dari koloni Hindia Belanda[7]. Yang paling terkenal memimpin pergerakan ini adalah Soekarno dan Mohammad Hatta, dua mahasiswa dan pemimpin nasionalis yang diuntungkan dengan reformasi politik etis

Pendudukan Indonesia oleh Jepang selama tiga setengah tahun masa Perang Dunia II merupakan faktor penting untuk revolusi pergerakan nasionalis berikutnya. Belanda memiliki sedikit kemampuan untuk mempertahankan penjajahan di tanah Indonesia dengan melawan kekuatan tentara Jepang dan dalam waktu tiga bulan awal pertempuran dengan Jepang, Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda. Jawa dan sebagian Sumatera (kekuasaan pemerintahan Indonesia tanpa Hindia Belanda) menjadi langkah Jepang untuk menduduki wilayah Indonesia dengan mendukung gerakan nationalis Indonesia. Walaupun hal itu dilakukan semata untuk keuntungan Jepang dengan memanfaatkan gerakan nasionalis untuk dapat menerima Jepang di Indonesia

Deklarasi kemerdekaan

Euforia revolusi (Andy)

PROKLAMASI

Internal turmoil (hariadhi)

Beberapa kekacauan internal terjadi di pihak Indonesia selama terjadinya revolusi, antara lain:

Revolusi sosial

"Revolusi sosial" yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap pranata sosial Indonesia yang terlanjur masa penjajahan Belanda, dan terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa penjajahan Jepang. Di seluruh negara, masyarakat bangkit melawan kekuasaan aristokrat dan kepala daerah dan mencoba untuk mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam atas nama rakyat. Kebanyakan revolusi sosial ini berakhir dalam waktu singkat, dan dalam kebanyakan kasus gagal terjadi.

Kultur kekerasan dalam konflik yang dalam memecah belah negara ini saat dalam pengusaan Belanda seringkali terulang di paruh akhir abad keduapuluh. Istilah revolusi sosial banyak digunakan untuk aktivitas berdarah yang dilakukan kalangan kiri yang melibatkan baik niat altruistik, untuk mengatur revolusi sosial sebenarnya, dengan ekspresi balas dendam, kebencian, dan pemaksaan kekuasaan. Kekerasan adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dipelajari rakyat selama masa penjajahan Jepang, dan tokoh-tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh feodal, antara lain para raja, bupati, atau kadang sekedar orang-orang kaya, seringkali menjadi sasaran penyerangan, kadang disertai pemenggalan, serta pemerkosaan juga sering menjadi senjata untuk melawan wanita-wanita feodal. Di daerah pesisir Sumatera dan Kalimantan yang dikuasai kesultanan, misalnya, para sultan dan mereka yang mendapat kekuasaan dari Belanda, langsung mendapat serangan begitu pemerintahan Jepang angkat kaki. Penguasa sekuler Aceh, yang menjadi basis kekuasaan Belanda, turut dieksekusi, meskipun kenyataannya kebanyakan daerah kekuasaan kesultanan di Indonesia kembali jatuh ke tangan Belanda.

slot 1

slot 2

Referensi

  1. ^ Frederick, William H. (1982). "In Memoriam: Sutomo" (PDF). Indonesia. Cornell Modern Indonesia Project. 33: 127–128. seap.indo/1107016901. 
  2. ^ Kirby, Woodburn S (1969). War Against Japan, Volume 5: The Surrender of Japan. HMSO. hlm. 258. 
  3. ^ a b http://www.1945-1950ubachsberg.nl/site/erevelden.htm
  4. ^ Friend, Bill personal comment 22 April 2004; Friend, Theodore (1988). Blue Eyed Enemy. Princeton University Press. hlm. 228 & 237. ISBN 978-0-691-05524-4. ; Nyoman S. Pendit, Bali Berjuang (2nd edn Jakarta:Gunung Agung, 1979 [original edn 1954]); Reid (1973), page 58,n.25, page 119,n.7, page 120,n.17, page 148,n.25 and n.37; Pramoedya Anwar Toer, Koesalah Soebagyo Toer and Ediati Kamil Kronik Revolusi Indonesia [Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, vol. I (1945); vol. II (1946) 1999; vol. III (1947); vol. IV (1948) 2003]; Ann Stoler, Capitalism and Confrontation in Sumatra's Plantation Belt, 1870–1979 (New Haven:Yale University Press, 1985), p103.; all cited in Vickers (2005), page 100
  5. ^ Friend (2003), page 35
  6. ^ "Nationalism in Netherland East Asia’ "Pacific Affairs". 1931. diakses pada 10 November 2013
  7. ^ "Who Killed Brigadir Mallaby’ "J.G.A Parrot". 1931. diakses pada 10 November 2013