Lompat ke isi

Pendapat berbeda

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pendapat berbeda (bahasa Inggris: dissenting opinion) umumnya berada dalam hukum peradilan tingkat tinggi adalah merupakan pendapat dari satu atau lebih, dari hakim dalam membuat pernyataan yang memperlihatanketidak setujuan terhadap putusan penghakiman dari mayoritas hakim dalam majelis hakim yang membuat keputusan penghakiman di dalam sebuah sidang pengadilan, pendapat ini akan dicantumkan dalam amar keputusan, akan tetapi dissenting opinion tidak akan menjadikan sebuah preseden yang mengikat atau menjadi bagian dari keputusan penghakiman.

Dissenting opinion yang memuat atas ketidak setujuan pendapat kadang-kadang dapat disebut dapat terdiri dalam beberapa bagian pendapat yang dimungkinkan karena adanya sejumlah alasan: interpretasi yang berbeda dari kasus hukum, penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda, atau interpretasi yang berbeda dari fakta-fakta. perbedaan pendapat ini akan ditulis pada saat yang sama seperti pada bagian pendapat dalam keputusan penghakiman, dan sering digunakan untuk perbedaan argumentasi yang digunakan oleh mayoritas hakim dalam melakukan penghakiman, dalam beberapa kasus, sebuah perbedaan pendapat dalam kasus keputusan penghakiman yang umumnya akan dapat digunakan sebagai dasar untuk memacu perubahan terhadap sebuah undang-undang oleh karena banyaknya perbedaan pendapat.

Dissenting Opinion adalah pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu karena hakim itu kalah suara atau merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim. Dissenting Opinion ini merupakan jargon baru dalam sejarah peradilan Indonesia. Filosofi adanya lembaga hukum Dissenting Opinion adalah untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat pencari keadilan (justiabelen) dari para hakim yang memutus perkara. Seperti diketahui, mayoritas perkara pengadilan diputus oleh sebuah majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim atau lebih. Dalam pengambilan putusan akhir, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di antara majelis hakim itu. Jika terjadi perbedaan pendapat, maka putusan diambil berdasar suara terbanyak. Doktrin Dissenting Opinion lahir dan berkembang dalam negara-negara yang menggunakan sistem hukum Common Law, seperti di AS dan Inggris. Doktrin itu lalu diadopsi negara-negara yang menganut sistem hukum kontinental, seperti Indonesia, Belanda, Perancis, dan Jerman. Pertentangan yang terdapat dalam aturan hukum berupa satu undang-undang dengan lainnya. Pemecahannya menyangkut masyarakat yang komplek dan mengikuti cara pandang mereka. Mencari kebenaran yang hakiki dalam penafsiran hukum yang sebenar-benarnya. Penerapan legal opinion khususnya Dissenting Opinion dalam hukum international melalui beberapa media (media cetak, TV, seminar ), namun tidak lepas dari tujuan akhir yakni mencari kebenaran hakiki yang seadil-adilnya.

Pengertian mengenai Dissenting Opinion Dissenting Opinion menurut H.F Abraham Amos adalah perbedaan tentang amar putusan hukum dalam suatu kasus tertentu, dalam masyarakat yang majemuk dan multi kultur, perbedaan tenatang pemahaman suatu hukum sudah menjadi hal yang biasa. Kesemua hal di atas, dapat tersirat dan tersurat sebagaimana pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni "(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat." Hal ini sebagai salah satu bentuk saluran hukum yang dapat dipakai oleh hakim untuk membentuk hukum, sedangkan pada Pasal 14, yakni "(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan." Hal ini sebagai bentuk pengakuan bahwa hakim itu independen dan sebagai corak dari sistem hukum Anglo Saxon.

Prosedur Dissenting Opinion Dalam tata laksana pembuatan legal opinion mempuanyai beberapa prosedur yang perlu diperhatikan : 1. Struktur hukum yang mengatur dalam masyarakat dan negara, apakah dalam suatu negara itu mengikuti sistem hukum Common Law (Anglo Saxon) atau mengikuti Civil Law (Eropa continental) dalam ketegasan hukumnya; 2. Tuntutan nilai kepastian hukum, dalam hal ini bagaiman cara berperilaku para aparatur penegak hukum dan bagaimana konsistensi dalam menerapkan suatu hukum yang sudah ditetapkan; 3. Penafsiran hukum yang sejalan dengan penafsiran yang ada dalam masyarakat, sehingga hukum mempunyai pandangan yang sama baik secara normatif, sosiologis, yuridis, filosofis dan empiris;dan 4. Pandangan hukum harus berorientasi pada netralitas persoalan yang obyektif. Dalam penerapan Dissenting Opinion harus melihat beraneka cara pandang dalam menafsirkan hukum.

Faktor Dissenting Opinion Bagaimanapun, sebuah putusan adalah hasil dari pikiran dan ijtihad hakim tentang pandangannya terhadap perkara aquo secara bebas, terbuka dan jujur dengan menggunakan pertimbangan hukum. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan : 1. Raw in-put, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal dst; 2. Instrumental in-put, faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal; dan 3. Environmental in-put, faktor lingkungan, sosial budaya yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya lingkungan organisasi dan seterusnya (Moerad, 2005 : 116) Apabila dilihat lebih jauh, faktor-faktor tersebut dibagi atas faktor subjektif dan faktor okbjektif yaitu :


1. Faktor Subjektif : a. Sikap perilaku yang apriori, adanya sikap hakim yang berlandaskan kepada terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana; b. Sikap perilaku yang emosional. Hakim yang mempunyai sifat mudah tersinggung akan berbeda dengan sifat seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Putusan seorang hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan seorang hakim yang sabar; c. Sikap arrogance power, sikap lain yang mempengaruh suatu putusan adalah arogansi kekuasaan. Disini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melecehkan orang lain (Jaksa, Pembela apalagi Terdakwa); dan d. Moral seorang hakim juga berpengaruh, karena bagaimanapun juga pribadi hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut terlebih dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara. 2. Faktor Objektif : a. Latar belakang budaya, Kebuadayaan, agama, pendidikan seorang hakim tersebut ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun tidak mutlak, tetapi setidak-tidaknya mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu keputusan;dan b. Profesionalisme, Kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi keputusannya. (Moerad, 2005 : 117-118)

Pustaka

Pranala luar