Lompat ke isi

Danghyang Astapaka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Danghyang Astapaka atau Mpu Astapaka adalah seorang pendeta Siwa-Buddha yang melakukan perjalanan suci Dharma Yadnya ke Bali pada tahun 1530 Masehi atas permohonan Raja Dalem Waturenggong agar dapat melaksanakan Yadna Homa (Agnihotra) demi kesejahteraan rakyat di kerajaan Bali. Ia merupakan putera dari Danghyang Angsoka.[1] Dalam Babad Karangasem juga disebutkan, Danghyang Astapaka merupakan guru dari I Gusti Oka (raja ke-2 Karangasem), yang mempunyai pesraman di Bukit Mangun, di Desa Toya Anyar.

Silsilah

Dalam silsilah dan kisah bhagawanta, Dang Hyang Astapaka merupakan putra dari Danghyang Angsoka dan juga keponakan dari Danghyang Nirartha.

Perjalanan ke Bali

Kisah perjalanan Dang Hyang Astapaka menurut catatan Selwkumar (SriSaybaagawan), Dang Hyang Astapaka awalnya tinggal di daerah keling Jawa Timur yang merupakan tanah leluhurnya. Sebelum melaksanakan perjalanan suci "Dharma Yadna" ke Bali, ia terlebih dahulu mengaturkan sembah suci (lagura) ke hadapan ayahnya di tahun 1530 M. Akhirnya ia sampai di Desa Mas Gianyar, tempat Pasraman pamannya yang bernama Danghyang Niratha. Raja Dalem Waturengong segera mengutus seorang bendesa untuk memohon agar Sang Maha Rsi Siwa Budha Astapaka datang bertemu raja di Swecapura. Keesokan harinya, kedua Maha Rsi tersebut berangkat bersama para mangala utusan Dalem mengadap Sri Aji Bali.

Pura Taman Sari

Berdasarkan Babad Budhakeling, sejarah Pura Taman Sari tidak bisa lepas dari perjalanan Dang Hyang Asthapaka ke Bali. Wilayah Desa Pakraman Budhakeling awalnya memang ada sebelum kedatangan Danghyang Astapaka, tetapi belum memiliki nama dan batas-batas. Setelah Dang Hyang Asthapaka ke Bali, keturunannya secara perlahan mulai membangun sebuah desa serta infrastrukturnya. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa Dang Hyang Asthapaka, dibangun pura sebagai stana beliau.[2]

Katika Dalem Waturenggong telah mangkat, Dang Hyang Asthapaka meninggalkan pasraman Dang Hyang Niratha di Desa Mas, Gianyar, bersama anaknya Ida Banjar. Mereka melanjutkan perjalanan ke arah timur hingga matahari terbenam dan tiba di sebuah perbukitan dan beristirahat di sebuah batu, yaitu Batu Penyu. Saat itu sekitar tahun saka 1416 atau 1494 Masehi. Tiba-tiba datang beberapa orang yang mengaku berasal dari Desa Tenganan yang berada di bawah pegunungan tersebut untuk mencari wewalungan (binatang untuk perlengkapan upacara Ngusaba Sambah) di desa mereka. Dang Hyang Asthapaka menjelaskan bahwa dirinya adalah Wiku Buddha Paksa dan bahwa wewalungan sudah ada di tempatnya semula. Setelah menemukan bahwa memang ada wewalungan di desa mereka, mereka kembali ke Batu Penyu untuk memohon Danghyang Astapaka menyaksikan karya usaha mereka (untuk tinggal bersama mereka). Namun, Dang Hyang menolak dan mereka memohon agar kelak keturunan Danghyang sudi menyaksikan bila ada upacara Ngusabha di desa Tenganan. Ini sebabnya sampai sekarang keturunan Dang Hyang Asthapaka (khususnya dari Budhakeling) berkewajiban melaksanakan Bhisama dengan hadir menyaksikan setiap ada upacara Ngusaba Ngusaba Sambah yang jatuh pada purnamaning sasih kasa (biasanya pada bulan Juni-Juli di desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem). Menurut kepercayaan, jika tidak dilaksanakan oleh keturunan Dang Hyang Asthapaka, hasil bumi berupa padi, palawija dan tanaman lainnya yang ada di Desa Tenganan tidak akan berhasil dengan baik.[2]

Malam itu, saat masih duduk di Batu Penyu, terlihatlah seberkas sinar yang menyilaukan seakan turun dari angkasa menuju bumi. Danghyang Astapaka mendengar bisikan halus:

He Sang Stiti Hatunggu Dharma, Kapwa sire, Hiku Kang Katingal de Nire, maka tengeran hungwanira maka muliheng suksma laya”.
"Hai yang taat melaksanakan Dharma, yang terlihat olehmu, menjadi pertanda tempatmu yang akan pulang ke peristirahatan halus".

Setelah itu, Dang Hyang Asthapaka segera melanjutkan perjalanan menuju sumber cahaya yang, semakin mendekat, semakin meredup cahayanya. Akhirnya ia beristirahat disana dan menancapkan tongkat (teteken) yang terbuat dari sebatang kayu Tanjung (sejenis tanaman bunga yang berbau harum). Tongkat tersebut tumbuh subur sampai sekarang dan pohonnya masih dapat disaksikan di Pura Taman Tanjung di Desa Pekraman Budhakeling. Di tempat itu, ia mendirikan pasraman sebagai tempat menyebarkan ajaran agama serta dijadikan tempat tinggal (Geriya) selama bermukim di Desa Pakraman Budhakeling. Sedangkan di tempat Cahaya itu berasal, sekitar 500 meter dari tongkat tersebut ditancapkan, dibangun Pamrajan (Pura) yang disebut dengan Pamrajan Taman Sari tempat ia melaksanakan yoga Samadhi. Di Pamrajan inilah konon Dang Hyang Asthapaka moksha tanpa meninggalkan jenasah. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa beliau, Pamrajan Taman Sari tersebut kini disebut Pura Taman Sari dengan dilengkapi Palinggih Padma Naba sebagai stana Bhatara Buddha dan Palinggih Padma Ngelayang sebagai stana Bhatara Dang Hyang Astaphaka yang di sungsung oleh segenap pratisentana (keturunan) Dang Hyang Asthapaka (wangsa Brahmana Siwa-Buddha di Bali-Lombok).[2]

Lihat pula

Referensi

Galat: missing redirect parameter (bantuan).

Pranala luar

  1. ^ Babad Bali. Isi Singkat Babad Usana Bali Pulina 2.
  2. ^ a b c Ida Wayan Ajus. 9 April 2012. Skripsi Dayu Purnama. sejarah berdirinya pura taman sari desa budakeling.