Lompat ke isi

Suko Sudarso

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 28 Februari 2014 10.10 oleh 117.103.174.211 (bicara) (Informasi yang bertentangan dengan realita hidup tokoh)
Suko Sudarso
Informasi pribadi
Lahir20 Maret 1942 (umur 82)
Kota Semarang, Jawa Tengah, Hindia Belanda
AlmamaterInstitut Teknologi Bandung
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Suko Sudarso adalah seorang tokoh politik dan pengusaha Indonesia yang lebih dulu dikenal sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Institut Teknologi Bandung (ITB) era 1960-an.

Ia lahir di Semarang dan merupakan anak kedua dari pasangan Raden Panji Sudarso Suryomijoyo dan Raden Ayu Tuti Amini.

Barisan Soekarno

Suko yang merupakan alumni Teknik fisika ITB ini adalah salah satu tokoh sentral mahasiswa Indonesia pada masa transisi orde lama ke orde baru. Ketika terjadi pergolakan massa mahasiswa secara besar-besaran untuk menumbangkan pemerintahan Presiden Soekarno, ia konsisten untuk berdiri di samping Soekarno hingga akhir kekuasaannya.

Manuver politiknya yang sangat berani pada masa gonjang-ganjing 1966/1967 itu antara lain ialah tampil kedepan sebagai Komandan Barisan Soekarno (duduk sebagai Wakil Komandan adalah Siswono Yudo Husodo), sebuah kekuatan tandingan yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), GMNI dan berbagai elemen nasionalis lain untuk menanggapi gerakan anti Soekarno yang merajalela saat itu.

Bisnis

Sejak masa kuliah di ITB, Suko telah merintis perjalanan bisnisnya dengan menjadi distributor bawang. Ia menjadi penghubung antara petani di Brebes dengan para pedagang di Bandung.

Setelah pemerintahan orde baru berhasil mengendalikan situasi nasional, berangsur orang-orang seperti Suko kembali dilirik dan berusaha dirangkul oleh pemerintah. Tercatat dalam sejarah, para sahabat Suko (termasuk Siswono) akhirnya mengisi daftar nama menteri kabinet pemerintahan orde baru. Presiden Soeharto pun berulang kali menawari Suko posisi di kabinetnya, namun Suko tak bergeming dan memilih untuk tetap 'bersuara dari luar'.

Di pertengahan masa orde baru akhirnya tercipta kedekatan antara Suko dan Soeharto, namun bukan dalam hal politik melainkan dalam bidang bisnis. Perusahaan konstruksi Suko sukses mendapatkan berbagai tender strategis dalam pembangunan ibukota Jakarta. Hal ini membuatnya sempat tercatat sebagai salah satu orang dekat keluarga Cendana dan masuk jajaran 10 orang terkaya Indonesia.

PDI-Perjuangan

Ketika arus reformasi bergulir, Suko memutuskan untuk kembali mengenakan 'jaket politik'nya. Kiprahnya sebagai Wakil Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PDI-Perjuangan (duduk sebagai Ketua Balitbang adalah Kwik Kian Gie) sangat berperan dalam usaha memenangkan partai banteng moncong putih itu pada Pemilu 1999.

Dalam suasana politik yang gonjang-ganjing pada tahun 1998, ia mengatur pertemuan Megawati Sukarnoputri dengan Kepala Staf Sosial-Politik TNI, Letjend Susilo Bambang Yudhoyono. Pertemuan berlangsung dalam suasana yang menegangkan di Salemba, kantor sosial-politik ABRI. “Waktu itu pertemuan berlangsung di ruang gelap, semua lampu dimatikan agar tak ada staf yang tahu,” ujar Suko mengenang masa sulit itu.

Pada Sidang Umum MPR 1999 Suko ikut merancang “kelompok pelangi” untuk mendukung Megawati duduk sebagai RI-1. Suko yakin benar bahwa Fraksi TNI yang dipimpin SBY, lebih mendukung Megawati ketimbang Abdurrahman Wahid. Ia sudah mengatur agar Megawati bisa bertemu Akbar Tandjung (Partai Golongan Karya) dan Matori Abdul Djalil (Partai Kebangkitan Bangsa). Andai saja pertemuan itu mulus, maka bergabunglah tiga pilar: TNI, Golkar, dan PKB. Tapi Mega menolak apabila ada syarat yang diajukan kepadanya. Seperti dicatat sejarah, akhirnya Megawati kalah dalam pemungutan suara dari Abdurrahman Wahid.

Suko sempat ditawari Megawati untuk duduk sebagai Menteri Koordinator Perekonomian RI di kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, namun ia justru menolak dan mengajukan nama Kwik Kian Gie untuk menduduki jabatan tersebut. Selain itu Suko juga berperan dalam penunjukan sahabatnya yang lain, Bondan Gunawan sebagai Menteri Sekretaris Negara RI.

Hubungan Suko dengan Megawati retak setelah Suko merasa tidak dibela oleh PDI-Perjuangan dalam kasus dana Bulog yang melibatkan Suwondo dan lainnya di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Ia dituding ikut mendapat kucuran dana Bulog yang akhirnya tak terbukti di persidangan dan Suko dinyatakan tidak bersalah sama sekali pada kasus tersebut. Dan kerenggangan hubungan keduanya (Suko dan Megawati) mencapai puncak ketika ia mengajukan konsep pemisahan kepala pemerintahan dan kepala negara saat Megawati menjadi Presiden RI. Ia sarankan Megawati hanya menjadi kepala negara karena tak memiliki pengalaman di birokrasi.

Partai Demokrat

Setelah tempat di belakang layar Megawati bukan lagi miliknya, Suko akhirnya merapat ke SBY. Sejak itu ia masuk dalam jajaran nama-nama 'barisan sakit hati' PDI-Perjuangan bersama Arifin Panigoro, Roy B.B. Janis, Laksamana Sukardi dan beberapa tokoh lainnya. Suko kemudian ikut berperan dalam pendirian Partai Demokrat, ia adalah tuan rumah dari pertemuan awal para tokoh politik dalam pembahasan perlu tidaknya pendirian partai politik baru bagi SBY untuk maju dalam bursa calon presiden. Mereka yang hadir dalam pertemuan itu kemudian tercatat sebagai pendiri Partai Demokrat yang sukses mengantar SBY mengalahkan Megawati dan PDI-Perjuangan pada Pemilu 2004. Kiprahnya selama menjadi tim khusus calon presiden SBY ini membuatnya kembali sering terlihat di publik dengan image baru sebagai 'orang Cikeas' yang sangat dekat dengan figur seorang SBY.

Setelah Presiden SBY dilantik, Suko diberi tanggungjawab untuk memimpin Gerakan Indonesia Bersatu (GIB). GIB adalah sebuah organisasi massa yang mendukung jalannya roda pemerintahan yang bersih dan menjaga 4 pilar kebangsaan (Pancasia, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika). Nama lain yang ikut aktif disana adalah Heru Lelono.

Suko juga berperan dalam penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu.

Partai Kebangkitan Nasional Ulama

Suko bertahan di Partai Demokrat hingga dirinya gagal diajukan sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat. Karena berbagai alasan kekecewaan, ia merapat pada Muhammad Jusuf Kalla pada Pemilu 2009. Dengan partai yang diketuainya, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), bersama Choirul Anam dan Alwi Shihab ia berjuang untuk memuluskan langkah JK meraih posisi RI-1. Namun akhirnya sejarah mencatat JK mengalami kekalahan telak pada Pemilu itu. PKNU pun hanya berhasil finish di urutan 12 dari 38 partai politik yang terdaftar, dan sayangnya hanya 9 partai (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, PKB, Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Hati Nurani Rakyat) yang berhak menduduki kursi parlemen.

Kehidupan Saat Ini

Kini Suko mengaku lebih senang menjadi 'teman seorang presiden'. Disamping kesibukannya sebagai pengusaha yang memiliki banyak perusahaan (termasuk perusahaan di bidang energi), ia kini aktif memimpin Komunitas Nasionalis Religius Indonesia (KNRI). Ia juga mendirikan sebuah ormas bernama Gerakan Kebangkitan Nusantara (Gerbang Nusantara) yang memiliki visi mengawal stabilitas politik tanah air. Di ormas barunya itu bergabung beberapa nama seperti Sys NS, Taufik Kindy dan beberapa aktivis angkatan 77, salah satunya Indra Kataren. Selain itu Suko bersama Taufiq Kiemas, Siswono dan beberapa sesepuh kaum nasionalis Indonesia lainnya masih aktif duduk sebagai anggota Dewan Kehormatan Presidium Alumni (PA) GMNI.

Buku

  • Bung Karno: Islam-Pancasila-NKRI Penerbit: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia
  • Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan Penerbit: Gramedia Widiasarana Indonesia
  • Gymnastik Politik Nasionalis Radikal Penerbit: RajaGrafindo Persada

Artikel Terkait

Pranala Luar