Lompat ke isi

Syarif Harun dari Pelalawan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 30 Maret 2014 09.35 oleh Shaid22 (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi 'Tengku Said Harun bin Tengku Said Hasyim atau Sultan Syarif Harun bin Sultan Syarif Hasyim II, ditabalkan menjadi Sultan Pelalawan tahun 1940, digelar: ASSYAIDIS SYARI...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Tengku Said Harun bin Tengku Said Hasyim atau Sultan Syarif Harun bin Sultan Syarif Hasyim II, ditabalkan menjadi Sultan Pelalawan tahun 1940, digelar: ASSYAIDIS SYARIF HARUN TENGKU SULUNG NEGARA ABDUL JALIL FAKHRUDDIN. Beliau memerintah sampai tahun 1946. Selanjutnya beliau mendarma baktikan dirinya kepada Republik Indonesia, dengan jabatan terakhir Wedana Pelalawan.

Masa pemerintahan beliau adalah masa yang sulit. Indonesia sengsara di bawah penjajahan Jepang. Rakyat menderita lahir batin. Penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat "dicabut" untuk kepentingan Jepang. Orang-orang diburu untuk dijadikan romusha. Dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.

Sultan bersama Orang Besar Kerajaan mencari jalan, bagaimana upaya untuk menyelamatkan rakyatnya dari bencana itu. Akhirnya disepakati untuk menempuh jalan :

- Kepada kaum pria dianjurkan supaya siang hari meninggalkan kampungnya, pergi ke daerah pedalaman (Petalangan) supaya terhindar dari paksaan Jepang untuk jadi romusha.

- Rakyat yang mempunyai persediaan padi atau bahan makanan lainnya (sagu dsb.nya), supaya menyembunyikannya di hutan atau di tempat - tempat lain yang sukar diketahui Jepang dan petugasnya.

- Anak-anak gadis, dianjurkan untuk menumpang kepada keluarganya yang tinggal di kampung-kampung, yang dianggap aman dari gangguan Jepang.

Upaya itu nampaknya berhasil, karena selama pemerintahan Jepang, hampir tak ada rakyat Pelalawan yang menjadi romusha, gadis-gadisnya tak ada yang menjadi korban. Namun bahaya kelaparan tetap mengancam, karena rakyat sangat terbatas ruang geraknya untuk berusaha. Padi penduduk, terutama yang tinggal di pinggir sungai Kampar, terus "dicabut" dan diambil Jepang. Selain itu, banyak pula penduduk daerah lain yang mengungsi ke daerah ini untuk menumpang hidup.



Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, beliau bersama Orang-orang Besar Kerajaan menyambut berita itu dengan gembira. Maka pada tanggal 25 November 1945, sehari setelah berita pasti sampai ke Pelalawan, Sultan bersama Orang Besar Kerajaan menyatakan dirinya dan seluruh rakyat Pelalawan ikut ke dalam pemenintahan Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu.



Sejak itu, beliau terus menerus mengabdikan dirinya bagi nusa dan bangsanya Orang-orang Besar Kerajaan, pemuda-pemuda dan seluruh lapisan masyarakat turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan.



Sultan sendiri memegang jabatan antara lain :

- Jabatan pertama sebagai pegawai Republik Indonesia adalah menjadi Kepala Wilayah Pelalawan tahun 1945.

- Selanjutnya beliau diangkat menjadi Asisten Wedana Bunut dan kemudian Wedana Pelalawan.

- Tahun 1949 beliau dengan Surat Keputusan Gubernur Militer Riau Selatan Nomor 6/ DTO-49 tanggal 25 Maret 1949, diangkat menjadi Dirigent Territorial Officier meliputi daerah Kampar Kiri (Lipat Kain) dan Kampar Kanan (Teratak Buluh).

- Setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia tahun 1950, beliau ditetapkan menjadi Wedana Pelalawan. Jabatan ini beliau sandang sampai beliau mangkat pada hari Sabtu, 21 November 1959 jam 17.30 di Pelalawan. Jenazahnya dimakamkan di komplek makam di halaman belakang Mesjid Pelalawan.



Untuk mengingat jasa-jasanya, kesetiaan dan pengabdiannya terhadap nusa dan bangsa, beliau digelar MARHUM SETIA NEGARA.


Mangkatnya Sultan Syarif Harun, berarti berakhir pulalah Raja-raja kerajaan Pelalawan.



Sultan Syarif Harun mempunyai 3 orang isteri. Dan ketiga istrinya itu melahirkan 10 orang putra-putri yang hidup hingga dewasa.


Setelah Sultan Syarif mangkat, hampir seluruh keluarganya secara berangsur pindah meninggalkan Pelalawan, Yang terbanyak adalah ke Pekanbaru, Sultan Syarif Harun tidaklah sempat membuat istana seperti ayah dan nenek moyangnya, Masa pemerintahan beliau yang serba sulit, menyebabkan beliau hanya memiliki Istana peraduan yakni rumah kediaman biasa. Rumah ini sekarang sudah hampir roboh, karena sudah bertahun-tahun tidak dihuni.