Lompat ke isi

Etnis rohingya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 3 April 2014 11.04 oleh BP13Rani (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi 'Kabar tidak sedap kembali mengusik kaum muslim. Berita tidak sedap itu datang dari Myanmar, sebuah negara di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Budha. W...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Kabar tidak sedap kembali mengusik kaum muslim. Berita tidak sedap itu datang dari Myanmar, sebuah negara di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Walaupun mayoritas penduduknya beragama Budha, ada sebagian kecil penduduknya yang beragama Islam. Ya, penduduk muslim tersebut dikenal dengan nama etnis Rohingya. Sebuah etnis minoritas yang mendiami wilayah barat – selatan Myanmar, di Provinsi Rakhine. Provinsi Rakhine, sebelumnya dikenal dengan nama Arakan. Salah satu wilayah administratif di Myanmar ini memiliki luas 400 mil dan terletak di jalur sepanjang pantai timur Teluk Benggala, membentang dari utara Sungai Naf di Chittagong sampai Tanjung Negrais. Sebagian daerahnya termasuk wilayah administratif Irawadi. Pulau - pulau lepas pantai yang utama adalah Cheduba, Ramree, dan Shahpura. Jumlah penduduk pada masa awal pendudukan Inggris kurang lebih 100.000 orang, jumlah tersebut terus meningkat dan pada tahun 1962 jumlah penduduk Arakan diperkirakan berjumlah 1.602.236. Keadaan alam yang berbukit – bukit menjadi ciri wilayah Arakan. Sebagian besar daerah ini ditanami padi, yakni mencapai 90%. Penduduk Myanmar yang dipisahkan dari induknya oleh Pegunungan Arakan Yoma merupakan penganut agama Budha. Bahasa (dialek) dan adat istiadatnya berbeda. Arakan menjadi bagian dari Myanmar ketika Myanmar / Burma mencapai kemerdekaan pada tahun 1948. Belakangan ini, tersiar kabar tidak sedap yang datang dari etnis Rohingya. Etnis muslim minoritas ini mendapatkan perlakuan keji dari pemerintah junta militer Myanmar. Junta militer yang telah berkuasa di Myanmar selama kurang lebih setengah abad ini melakukan berbagai aksi brutal yang tidak manusiawi terhadap etnis Rohingya. Organisasi Rohingya Burma di Inggris Raya, melaporkan bahwa 650 orang dari 1 juta warga Rohingya tewas selama bentrokan yang berlangsung sejak 28 Juni 2012, 1.200 orang hilang, 90.000 orang mengungsi, dan 800.000 orang terlantar. Populasi warga Rohingya telah menyusut drastis, sekarang hanya tinggal 4% dari total penduduk Myanmar atau berjumlah 1,7 juta jiwa. Padahal dokumen yang ditulis dalam Images Asia: Report On The Situation for Muslim In Burma, Mei tahun 1997, menyebutkan jumlah warga muslim Rohingya mendekati angka 7 juta jiwa. Menurut laporan lembaga pengamat HAM yang berbasis di New York, Human Right Watch (HRW), menyatakan bahwa militer Myanmar telah menyiksa, membunuh, memperkosa, dan membinasakan temat tinggal etnis Rohingya. Tindakan tersebut telah mengakibatkan etnis Rohingya menderita dan terlantar. Direktur Asia HRW, Brad Adams, mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah gagal untuk melindungi warga Rakhine dan Rohingya dari kekerasan satu sama lain. Laporan yang dikeluarkan HRW ini berdasarkan wawancara dengan 57 warga Rakhine dan Rohingya. Saksi mengatakan bahwa militer hanya berdiam ketika komunitas Budha Rakhine meratakan desa – desa etnis Rohingya. Nasib buruk yang dialami etnis Rohingya dimulai tahun 1942. Ketika itu, penjajah Inggris meninggalkan Arakan dan Arakan mulai diduduki Jepang. Perselisihan dipicu oleh pergesekan antara etnis Rakhine dengan etnis Rohingya. Etnis Rakhine sebagai tuan rumah yang mayoritas beragama Budha, merasa tidak senang terhadap etnis Rohingya yang dianggap sebagai pendatang. Etnis Rakhine pun berusaha mengusir etnis Rohingya dari wilayah mereka. Bentrokan yang terjadi telah membelah Rakhine dalam perseturuan etnik yang masih berlangsung hingga kini. Penyebab lainnya adalah tidak dianggapnya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Sejak 1982, Undang – Undang Kewarganegaraan Myanmar tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara mereka. Pemerintah Myanmar menganggap etnis Rohingya sebagai imigran gelap dari Bangladesh dan keturunannya. Suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagi warga Rohingya. Nasib etnis Rohingya bertambah buruk ketika Jenderal Ne Win menggelar Operasi Naga Min pada tahun 1978 dan 1991. Operasi ini bertujuan untuk membersihkan wilayah perbatasan dari warga asing ilegal. Operasi ini telah menjadi teror berkepanjangan bagi warga Rohingya. Puncaknya, sekitar 250.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Pada 28 Juli 2012, Ketua Badan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Navi Pillay, mengeluarkan seruan perlunya diadakan investigasi independen untuk mengungkap pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. PBB menggambarkan komunitas muslim Rohingya sebagai Palestina dari Asia dan salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia. Etnis Rohingya seolah menjadi sebuah bangsa tanpa negara. Mereka hidup terlunta – lunta tanpa ada yang bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Mereka tidak dianggap sebagai warga negara oleh Undang – Undang Kewarganegaraan Myanmar. Mereka pun pergi meninggalkan Myanmar menuju Bangladesh. Sikap pemerintah Bangladesh sama saja dengan pemerintah Myanmar, yakni menganggap warga Rohingya bukanlah warga Bangladesh. Jika ditelisik ke belakang, etnis Rohingya sebenarnya telah lama mendiami wilayah Arakan. Seorang fotografer Amerika Serikat, Greg Constantine, dalam bukunya The Nowhere People, membuktikan hal itu. Menurut catatan Constantine, sejumlah dokumen menunjukan bahwa etnis Rohingya telah menetap di bagian barat Myanmar sejak 1799. Hal ini membuktikan bahwa secara historis, etnis Rohingya merupakan bagian dari penduduk Myanmar. Perselisihan yang terjadi antara etnis Rakhine dengan etnis Rohingya telah mengarah pada konflik sektarian. Konflik yang semula hanya berupa perselisihan etnis telah mengarah pada perselisihan agama. Ratusan rahib Budha berunjuk rasa di kota Mandalay, mereka mendukung usulan Thein Sein agar kelompok etnis Rohingya dikirim ke luar negeri. PBB menolak usulan Thein Sein. Badan pengungsi PBB menginginkan agar etnis Rohingya diakui pemerintah Myanmar, dan Bangladesh bersedia menerima pengungsi Rohingya, tetapi Bangladesh menolak dengan alasan mereka tidak punya kewarganegaraan. Aksi rahib Budha diprotes berbagai kalangan lantaran dianggap mereka sentimen terhadap Rohingya. Hal serupa terjadi pada ormas Islam di Indonesia yang mengecam tindak kekerasan yang dilakukan para pemuka agama Budha tersebut. Kecaman atas tindak kekerasan para pemuka agama Budha terhadap etnis Rohingya ditunjukan dengan melempari dua kelenteng tempat peribadatan umat Budha di Makassar, yakni Kelenteng Kwangkong dan Kelenteng Xianma yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI). Dua contoh tersebut cukup membuktikan bahwa konflik telah berubah menjadi konflik agama. Perhatian dunia internasional terhadap konflik di Rakhine dirasa masih sangat kurang. Sebagian besar masyarakat dunia menganggap apa yang terjadi di Myanmar hanyalah sebuah tindak kekerasan. Padahal, tindakan agresif yang dilakukan oleh militer Myanmar tersebut cenderung mengarah pada tindakan genosida. Jumlah masyarakat etnis Rohingya cenderung menurun dari waktu ke waktu. Tentu saja, hal itu sebagai akibat dari pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Rohingya. Dari sana dapat dipahami bahwa, militer Myanmar hendak memusnahkan etnis Rohingya. PBB sebagai badan tertinggi dunia yang bertugas menjaga perdamaian dunia tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah kekerasan terhadap etnis Rohingya. Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang menaungi negara – negara Islam di dunia pun tidak dapat berbuat banyak. Mereka seolah kewalahan mengatasi apa yang tejadi terhadap etnis Rohingya. Semestinya, sebagai lembaga besar di dunia, kedua lembaga tersebut dapat menekan pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya. Semestinya kedua lembaga tersebut berperan aktif dan berbuat banyak untuk menghentikan kekerasan yang menimpa etnis Rohingya. Jangan terkesan dibiarkan begitu saja, sehingga kekerasan yang menimpa etnis Rohingya semakin parah. Sudah semestinya lembaga – lembaga besar dunia lebih bisa berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan yang menimpa etnis Rohingya. Dalam KTT Luar Biasa ke – 4 di Mekkah, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) telah menjadikan persoalan etnis minoritas muslim sebagai salah satu agenda penting. Bersama dengan Malaysia, Brunei Darussalam, dan Bangladesh, Indonesia mendorong negara – negara OKI untuk membantu menyelsaikan konflik yang terjadi terhadap etnis Rohingya. Namun pada kenyataannya, belum banyak tindakan yang bisa dilakukan lembaga ini untuk membantu etnis Rohingya keluar dari penderitaan. Bangladesh, negara tetangga Myanmar yang memiliki penduduk muslim dalam jumlah yang besar, justru melarang lembaga internasional memberikan bantuan untuk etnis Rohingya di wilayah mereka. Alasannya adalah, pihak Bangladesh tidak ingin bantuan tersebut mengakibatkan eksodus besar – besaran masyarakat Rohingya masuk ke wilayahnya. Alasan tersebut bisa dipahami mengingat keadaan ekonomi Bangladesh yang kurang baik, sehingga dengan banyaknya pengungsi yang masuk ke wilayah mereka dan menjadi tanggung jawab mereka, bisa mengakibatkan beban yang harus ditanggung pemerintah Bangladesh semakin berat. Tetapi bukan berarti juga pemerintah Bangladesh tidak memiliki rasa perikemanusiaan. Sebagai negara dengan penduduk muslim yang besar, seharusnya mereka bisa menunjukan solidaritas sesama muslim, dalam bentuk apapun. Pemerintah Indonesia pun semestinya bisa berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan yang menimpa etnis Rohingya. Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, baik secara geografis maupun secara demografis, bahkan Indonesia menyandang gelar sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya mampu memainkan peran politiknya untuk menekan pemerintah Myanmar. Tetapi faktanya memang tidak seperti yang diinginkan, pemerintah kita seolah lembek. Pemerintah, melalui Kementerian Luar Negeri hanya mampu melakukan tindakan verbal berupa pengecaman. Jika hanya mengeluarkan pernyataan mengecam, negara mana pun bisa melakukannya, bahkan siapa pun bisa melakukannya. Kita membutuhkan suatu tindakan yang jauh lebih nyata dari hanya sekedar ungkapan pengecaman. Tentu bukan berupa sanksi ekonomi, mengingat investasi Indonesia di Myanmar tidaklah besar, bukan pula sanksi politik, karena pengaruh politik Indonesia juga lemah. Setidaknya, Indonesia—yang tahun lalu menjabat ketua ASEAN—bisa menjadi mediator dialog atau perundingan antara pemerintah Myanmar dengan perwakilan etnis Rohingya. Berkaca dari pengalaman Indonesia sebagai mediator, Indonesia cukup berhasil menjadi mediator dalam menyelesaikan masalah regional di Asia Tenggara, seperti perundingan Thailand – Kamboja dalam menyelesaikan konflik perbatasan kedua negara, dan mediator perundingan Filipina – MILF. Beruntung pemerintah Myanmar sekarang menerapkan kebijakan yang sedikit lebih longgar sehingga memungkinkan pihak asing memberikan bantuan bagi etnis Rohingya. Palang Merah Indonesia (PMI) dan Bulan Sabit Merah Qatar berhasil menemui pimpinan pemerintah Myanmar, Thein Sein. Bahkan ketua Palang Merah Indonesia (PMI) yang juga mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, berhasil mengunjungi Provinsi Rakhine dan menemui perwakilan etnis Rohingya. Jusuf Kalla dapat berdialog langsung dengan perwakilan etnis Rohingya dan mengetahui apa saja yang dibutuhkan mereka. Pemerintah Myanmar pun menyambut baik bantuan yang diberikan Palang Merah Indonesia (PMI). Organisasi Konferensi Islam pun berencana membangun 4.000 dari 8.000 rumah yang hancur akibat konflik. Semoga saja semua bantuan dapat segera terealisasikan dan dapat membantu meringankan penderitaan yang dialami etnis Rohingya. Berbagai kritikan tidak hanya ditujukan kepada pemerintah Myanmar, tetapi juga ditujukan kepada ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi. Tokoh demokrasi Myanmar yang juga pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi, Aung San Suu Kyi, seolah diam melihat pembantaian yang dilakukan terhadap etnis Rohingya. Kritikan tidak hanya datang dari pihak luar, tetapi juga dari pendukungnya sendiri. Suu Kyi dianggap tidak mampu mengeluarkan pendapatnya untuk menyelesaikan konflik. Padahal sebagai ikon demokrasi Myanmar dan dunia, sebagai anggota parlemen sekaligus pemimpin partai, Suu Kyi diharapkan bisa berperan banyak dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Tidak kalah penting adalah dukungan semua warga muslim dunia. Rasulullah pernah bersabda bahwa “Sesungguhnya orang – orang mukmin itu bersaudara, maka selamatkanlah saudaramu agar tidak teraniaya dan tidak dibinasakan. Belum beriman salah seorang diantara kamu, sebelum menyintai saudaranya seperti ia menyintai dirinya sendiri”. Ini berarti bahwa kita semua sebagai orang Islam adalah bersaudara. Sebagai saudara, tentu kita tidak akan membiarkan saudara kita tersakiti, tertindas, dan teraniaya. Sudah saatnya semua orang Islam bersatu, membantu etnis Rohingya keluar dari penderitaan, karena penderitaan mereka adalah penderitaan semua orang Islam.