Lafran Pane
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP80Regenovia (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 10 April 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 29 Maret 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP80Regenovia (Kontrib • Log) 3871 hari 769 menit lalu. |
Lafran Pane dikenal sebagai salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam pada tanggal 5 Februari 1947, [1] Lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922, menurut berbagai tulisan sebelumnya, disebutkan bahwa Lafran Pane lahir pada 12 April 1923 di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Siporok, sebuah tempat yang terletak di kaki Gunung Sibualbuali, 38 kilo meter ke arah utara dari "kota salak" Padang Sidempuan, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. [2] Wafat pada tanggal 24 Januari 1991, orang akhirnya tahu, setelah kematiannya, Lafran ternyata lahir 5 Februari 1922, bukan 12 April 1922 seperti yang kerap ia gunakan dalam catatan resmi. [2]
Riwayat
Biografi
Lafran Pane adalah anak keenam keluarga Sutan Pangurabaan Pane dari istrinya yang pertama, Lafran adalah bungsu dari enam bersaudara, yaitu: Nyonya Tarib, Sanusi Pane, Armijn Pane, Nyonya Bahari Siregar, Nyonya Hanifiah, Lafran Pane, dan dua orang saudara se-ayah yaitu, Nila Kusuma Pane dan Krisna Murti Pane.[2] Ayahanda Lafran Pane adalah seorang guru sekaligus seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Keluarga Lafran Pane merupakan keluarga sastrawan dan seniman yang kebanyakan menulis novel, seperti kedua kakak kandungnya yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane yang juga merupakan sastrawan dan seniman.[2] Sutan Pangurabaan Pane termasuk salah seorang pendiri Muhammadiyah di Siporok pada 1921. Sedangkan Kakek Lafran Pane adalah seorang ulama Syekh Badurrahman Pane, maka pendidikan keagamaannya didapat sebelum memasuki bangku sekolah. [2]
Riwayat Pendidikan
Pendidikan sekolah 'Lafran Pane' dimulai dari Pesantren Muhammadiyah Sipirok (kini dilanjutkan oleh Pesantren K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Setia dekat Desa Parsorminan Siporok).[2] Dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah Lafran Pane ini mengalami perpindahan sekolah yang sering kali dilakukan, hingga pada akhirnya Lafran Pane meneruskan sekolah di kelas 7 (Tujuh) HIS Muhammadiyah, menyambung hingga ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II, pada saat itu ibu kota pindah ke Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang semula di Jakarta juga ikut pindah ke Yogyakarta. Perkembangan wawasan dan intelektual Lafran semakin pesat saat kuliah di STI. Lafran tekun membaca berbagai buku tentang agama Islam. Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948 Universitas Gajah Mada (UGM) yang kemudian di Negerikan pada tahun 1949. Lafran Pane termasuk salah satu mahasiswa yang pertama kali lulus mencapai gelar sarjana. [2]
Riawayat Pekerjaan
- Direktur Kursus BI dan BII Negeri Yogyakarta yang diselenggarakan Kementerian P & K, dan Kemudian menjadi FKIP UGM. kemudian, FKIP UGM dengan Institut Pendidikan Guru (IPG) dilebur menjadi IKIP Yogyakarta, kini Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
- Dosen FKIS IKIP Yogyakarta.
- Dosen Fakultas Sospol UGM, dosen UII, dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
- Dosen Akademi Tabligh Muhammadiyah (ATM), Kemudian menjadi FIAD Muhammadiyah, kini Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
- Pernah menjadi dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogykarta (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN)), hingga terjadi peristiwa 10 Oktober 1963. Sepuluh tahun kemudian, atas permintaan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mulai tahun 1973 Prof. Drs. Lafran Pane mulai kembali mengajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara.
- Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, sejak tanggal 1 Desember 1966, Lafran Pane dianggat menjadi guru besar (profesor) dalam mata kuliah Ilmu Tata Negara.[3]
Pemikiran
Lafran Pane dikenal sebagai salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam pada tanggal 5 Februari 1947, bersama 14 orang teman, antara lain: Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah KH.Ahmad Dahlan, Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Gozali (Semarang, juga pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi (Kauman-Yogyakarta), Sulkarnaen (Bengkulu), dan Mansyur.[1] Berdasarkan penelusuran dan penelitian sejarah, maka Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsanya berdirinya HMI dan disebut sebagai pendiri HMI.[1] Lafran sendiri sebenarnya menolak untuk disebut sebagai satu-satunya pendiri HMI, Istrinya bahkan menyebut "lafran egois" jika mau dinobatkan sebagai pendiri HMI, meskipun memang Lafran Pane yang pertama memunculkan gagasan tersebut karena ia sadar bahwa sebuah gagasan tentu terinspirasi dari banyak hal, dalam segala hal, Lafran membutuhkan orang lain. [2] setelah berdirinya pada 5 Februari 1947, Lafran Pane Mengatakan bahwa Agama Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, akan tetapi juga hubungan antara manusia dengan manusia lain, satu masyarakat dengan masyarakat lain, dari yang paling kecil, yaitu masyarakat keluarga, sampai masyarakat yang besar, seperti masyarakat negara. Islam juga berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala lapangan hidup. Maka, dapat disebut bahwa agama Islam itu berupa satu kebudayaan yang sempurna yang tidak timbul dari hasil pergaulan dalam masyarakat dan bukan hasil ciptaan manusia pada satu waktu, akan tetapi adalah kebudayaan yang diturunkan Tuhan, langsung kepada masyarakat Arab dan juga berlaku untuk seluruh dunia. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda masyarkatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat itu. Dalam Masyarakat, segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan (culture product). Yang satu mempengaruhi yang lain dan selanjutnya mempengaruhi masyarakat yang lain.[4] Menurut Lafran Pane, setelah kemerdekaan, dampak kolonialisme Belanda tidak serta-merta lenyap, khususnya dari mereka yang semata-mata menerima pengajaran di lembaga-lembaga kolonial. Contoh sederhana dari dampak tersebut adalah perasaan yang menganggap seolah-olah bangsa Barat dalam hal apa pun lebih dari kita, Lafran Mengatakan: Jika ajaran Islam dipraktikkan oleh rakyat Indonesia dalam segala lapangan hidup dengan sebaik-baiknya, tidak akan mungkin Belanda bisa menjajah dan mengekploitasi bangsa Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama. Pejajah sangat memahami potensi lemahnya pendidikan Islam pada mayoritas masyarakat Indonesia.[2] Islam medoktrin umatnya bahwa semua manusia itu sama, Islam menentang perbudakan serta mendorong kemerdekaan setiap jiwa. Ajaran ini relevan untuk memunculkan kesadaran bahwa bangsa Belanda tidak lebih tinggi derajatnya dari bangsa Indonesia.[5] Lafran kemudian mendirikan HMI sebagai aktualisasi dari keyakinannya tersebut. Nurcholish Madjid menguatkan hal ini dengan mengatakan: “inilah sesungguhnya Latar Belakang yang lebih jauh dan fundamental dari gagasan Lafran Pane mendirikan HMI. HMI tidak lahir sebagai sekadar suatu reaksi terhadap keadaan temporer di depan mata, tetapi berakar ke dalam aspirasi umat Islam yang dikandung selama berabad-abad lamanya. HMI adalah suatu cetusan dari tekad mulia, suatu manifestasi dari kalimat thoyyibah (pernyataan baik). Kalimat thoyyibah itu diumpamakan dalam Al-Qur’an sebagai pohon yang baik, uratnya menghujam ke bumi dan cabang-cabangnya menjulang ke langit, memberikan buahnya stiap waktu dengan izin Tuhan. [6] Menurut Dr. Syafri Syairin menjelaskan dua hal telah dilakukan Lafran Pane pada awal pendirian HMI. Pertama, Lafran Pane telah menunjukan suatu upaya mengangkat Islam sebagai suatu yang lebih tinggi di mata mahasiswa. Islam bukanlah sekumpulan kaum sarungan yang kumal serta hanya mengetahui shalat, pengajian. Sehingga Islam tidak perlu disingkirkan dari kehidupan sehari-hari. Lafran Pane juga dengan segala upaya berusaha menanamkan rasa percaya diri sebagai orang Islam kepada segenap mahasiswa yang beragama Islam. Kedua, Lafran telah melakukan misi pencerahan, bahwa Islam itu satu dan kelompok-kelompok apapun dalam Islam itu tidak menjadi persoalan. Hal ini dilakukan dengan penekanan terhadap independensi HMI yang mengikis fanatisme kelompok di kalangan anggota HMI. HMI yang digagas Lafran Pane menekankan pada persatuan umat Islam. [2] Menurut Lafran Pane, Tugas suci umat Islam adalah mengajak umat manusia kepada kebenaran ilahi dan kewajiban umat Islam adalah menciptakan masyarakat adil makmur material dan spiritual. Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dapat dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam. Kebekuan pemikiran Islam telah membawa pada arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melakukan peribadatan. Al-Qur’an hanya dijadikan sebatas bahan bacaan. Islam tidak ditempatkan sebagai agama universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini pun hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran dan kejayaan masa lalu.[7] Demikian memahami pemikiran Lafran Pane yang tidak lepas dari lingkungannya, yaitu negara Indonesia yang berpendudukan mayoritas beragama Islam, dengan segala realitas dan totalitasnya. Pemikiran Lafran Pane tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya dalam suatu proses sejarah atau tradisi panjang yang melingkupinya.[1] Dari pemikiran itu dampaknya adalah berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam. Lafran mundur dari ketua Umum PB HMI pada 22 Agustus 1947 dan pindah menjadi Wakil Ketua Umum, artinya ia hanya menjabat sebagai Ketum selama 7 bulan dan kemudian posisinya diberikan kepada seorang mahasiswa UGM bernama Muhammad Syafaat Mintaredja. Strageti ini dilakukan agar HMI tidak terkesan milik mahasiswa STI, selain juga memperluas dakwah HMI di kampus umum serta memperkuat posisi HMI dalam dunia kemahasiswaan.[8]
Karya-karya Lafran Pane
Data-data tentang Lafran Pane tidak banyak berubah sejak 1947. Karya tulisnyapun terbatas. berikut ini merupakan judul karya-karya Lafran Pane dengan bentuk artikel:
- Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia
- Wewenang MPR
- Kedudukan Dekrit Presiden
- Kedudukan Presiden
- Kedudukan Luar Biasa Presiden
- Kedudukan KNIP
- Tujuan Negara
- Kembali ke Undang-undang Dasar (UUD) 1945
- Memurnikan Pelaksanaan UUD 1945
- Memurnikan Pelaksanaan UUD 1945
- Perubahan Konstitusional
- Menggugat Eksistensi HMI [2]
Rujukan
- ^ a b c d Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2010-2011 (2010). Modul LK 1 (Basic Training) Himpunan Mahasiswa Islam. Ciputat: Pengurus HMI Cabang Ciputat. hlm. 3. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Modul LK 1 HMI Cabang Ciputat" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b c d e f g h i j k Hariqo Wibawa Satria (2011). Lafran Pane Jejak Hayat dan Pemikirannya. Jakarta: Lingkar. hlm. 40. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Lafran Pane" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Agussalim Sitompul (1976). Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975. Surabaya: Bina Ilmu Offset. hlm. 159.
- ^ Lafran Pane (1949). keadaan dan kemungkinan kebudayaan Islam di Indonesia dalam Pedoman lengkap Kongres Muslimin Indonesia 20-25 Desember 1049 di Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan. hlm. 56.
- ^ Agussalim Sitompul (2011). Menyatukan dengan Umat, Menyatukan dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI 1947-1997. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. hlm. 56.
- ^ Agussalim Sitompul (1997). 50 Tahun HMI Menggayuh di antara Cita dan Kritik. Yogyakarta: Aditya Media. hlm. 38.
- ^ Pengurus HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2013-2014 (2013). Basic Training Buku Pedoman Materi Pokok Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam. Yogyakarta: Pengurus HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. hlm. 4-5.
- ^ M. Alfan Alfian (2013). HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) 1963-1966 Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara. Jakarta: Kompas. hlm. 121.