Lompat ke isi

Asmara Nababan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Asmara Nababan lahir di Siborong-borong pada 2 September 1946.[1] Ia adalah seorang aktivis yang sangat peduli pada Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia.[2] Asmara Nababan pernah aktif di Komnas HAM, bahkan perannya di Komnas HAM sangatlah vital.[3] Selain itu, ia juga ikut mendirikan atau mengurus berbagai macam organisasi masyarakat sipil, yaitu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS), Elsam, Demos, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Perkumpulan HAK di Dili, dan Human Rights Resource Center for Asean (HRRCA), serta berbagai Organisasi lainnya.[3]) Ia juga pernah menjadi anggota beberapa Tim Pencari Fakta, antara lain, pada kasus kerusuhan Juli 1996, kerusuhan Mei 1998 maupun Timor Timur [1999].[4] Dia juga ikut menyelidiki kasus pembunuhan Munir pada [200]4.[4])

Masa Kecil

Anak bungsu dari sebelas bersaudara ini memiliki nama lengkap Asmara Victor Michael Nababan.[2] Ayahnya bernama Jonathan Laba Nababan, Ibunya Intan Dora Lumban Tobing, sedangkan sepuluh saudara kandung Asmara Nababan yang lain berturut adalah Alice Ernata Dorcas Nababan (1930), Johanes Sahab Manongar Nababan (1932), Soritua Albert Ernst Nababan (1933), Euince Martha Susanti Nababan (1934), David Uli Maruhum Nababan (1935), Edith Dumasi Nababan (1937), Jhon Togar Demak Nababan (1938), Indra Rumanggor M. Nababan (1940), Ray Leonard Timbang M. Nababan (1942), Pandapotan Maruli Asi (1944).[2]

Pada tahun 1953, Asmara Nababan bersama saudara-saudaranya pindah ke medan.[2] Waktu itu ia sudah duduk di kelas dua Sekolah Rakyat (SR) Nasrani di Jalan Seram, sekelas dengan Akbar Tanjung.[2] Teman kecil Asmara Nababan biasa memanggilnya Si Tongkar, dalam bahasa batak Tongkar berarti keras kepala.[2]

Panggilan itu disandangnya karena ia dikenal sebagai anak yang suka berdebat dan berkelahi, selain itu Asmara juga dikenal sebagai aktivis politik.[2] Saat duduk di bangku SMA Nasrani, Asmara sudah bergabung dengan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI).[2] Bersama GAMKI ia melakukan aksi protes terhadap keadaan ekonomi bangsa yang semakin memburuk.[2]


Menjadi Mahasiswa

Setelah lulus SMA tahun 1964, Asmara Nababan bertolak ke Jakarta, di sana ia tinggal bersama Panda Nababan, kakaknya.[2] Selama menjadi mahasiswa, Asmara berpindah-pindah jurusan, pertama ia berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI), ia hanya bertahan selama tiga semester, kemudian pindah ke Sastra Inggris, di sana ia juga tidak melanjutkan kuliahnya.[2] Kemudian ia pindah ke Lembaga Kesenian Jakarta (LKJ), sekarang menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kendati suka dan berbakat dalam bidang seni, ternyata Asmara pun tak betah.[2] Pada tahun 1967, Asmara memutuskan pindah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di sana ia mendalami ilmu hukum.[2]

Pada tahun 1970 harga minyak di pasar internasional melonjak, penyebabnya adalah perang di Timur Tengah, Negara –negara Arab mulai enggan menjual minyak ke Barat yang menjadi pendukung Israel.[2] Sebagai eksportir, Indonesia menikmati betul keadaan tersebut, negara memperoleh penghasilan sangat besar dari sektor perminyakan, tapi hal ini justru menjadi bencana, para pejabat tinggi negara mulai giat korupsi.[2] Aksi protes menolak korupsi pun marak dilakukan oleh berbagai kalangan, kelompok Mahasiswa Menggugat bersama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) membentuk Komite Anti Korupsi (KAK).[2] Asmara Nababan bersama Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Arif Budiman, Marsillam Simanjuntak, Sjahrir, dan yang lain menjadi aktornya.[2]

Berbagai aksi protes dan advokasi lainnya pun pernah dilakukan oleh Asmara Nababan semasa hidupnya, termasuk menolak proyek Taman Miniatur Indonesia Indah (TMII), Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Tapanuli Utara (1983), Peristiwa Santa Cruz (1991), dan lainnya.[2] Asmara Nababan menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1975, kendati tamat ia tak pernah mengambil ijazah Sarjana Hukum (SH).[2] Saat itu ia sudah dikaruniai oleh seorang anak dari pernikahannya dengan Magdalena Sitorus.[2]

Berkecimpung di Komnas Hak Asasi Manusia (HAM)

Pada 7 juni 1993, Presiden Soeharto membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), melalui mantan Jaksa Agung Ali Said SH memilih sejumlah orang untuk diangkat menjadi anggota Komnas HAM, salah satunya Asmara Nababan yang dipilih.[2] Tahun 1994 Asmara Nababan medapat tugas ke Aceh untuk membebaskan 11 anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditahan, kemudian pada 1998 Asmara kembali mendatangi aceh, di sana Asmara dan kawan-kawan mengungkap dan membongkar sebuah kuburan masal yang diyakini sebagai korban selama Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM, 1989-1998). Hal tersebut memicu ketegangan antara Komnas HAM denga Pemerintah saat itu.[2]

Mulanya Komnas HAM dianggap tidak akan mampu menjalankan tugasnya, dan hanya menjadi alat kepentingan pemerintah saja, namun berkat peran Asmara Nababan dan Kawan-kawan termasuk Baharudin Lopa, Kepercayaan publik terhadap Komnas HAM saat itu terus meningkat.[2] Hal itu terlihat dari upaya pengungkapan berbagai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Komnas HAM, Misal Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) dalam menuntaskan kasus di Timor Timur.[2] Asmara menjadi Sekretaris Jenderal Komnas HAM untuk periode 1993-1998.[1]


Salah satu artikel yang ditulis oleh Asmara Nababan

SEKOLAH DEMOKRASI MERETAS JALAN MENUJU WAJAH DEMOKRASI YANG LEBIH KUAT & MULTIKULTURALISME YANG NYATA


Ada beragam paham demokrasi di dunia.[5] Walaupun demikian, ada dua ciri utama dari semua jenis demokrasi, yaitu bahwa mereka mempunyai baik unsur-unsur universal maupun elemen-elemen lokal yang tak terhindarkan harus turut diperhitungkan pada saat suatu sistem demokrasi beroperasi.[5])

Menyadari ciri-ciri demokrasi ini, para pendiri KID memilih untuk mewadahi berlangsungnya suatu proses dialektika dinamis antara kedua elemen demokrasi itu.[5] Suatu dialog kontekstual yang saling memperkaya antara keduanya dikelola dengan dada lapang.[5] Demokrasi jenis ini dinamakan oleh KID sebagai demokrasi kontekstual.[5]

Multikulturalisme—didefinisikan secara umum oleh banyak kalangan sebagai sebagai sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip coexistence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain—adalah sebuah tema yang relatif baru dibicarakan di negeri ini.[5]

Sebagai sebuah tema, multikulturalisme dibicarakan umumnya dalam kerangka mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat majemuk di Indonesia ini dapat dikembangkan dalam sebuah konsepsi masyarakat “warna-warni” yang tidak saja berciri partisipatoris namun juga emansipatoris.[5]

Berbeda dengan pluralisme yang menekankan pada perbedaan ide, multikulturalisme berkenaan dengan kebedaan yang bersumber terutama pada identitas etnik dan agama.[5] Sebagai misal, orang bisa berasal dari etnik dan agama yang sama namun memiliki orientasi politik yang berbeda.[5] Namun, sangat jelas bahwa di antara etnik dan penganut agama yang berbeda selalu dapat ditemukan identitas sosial dan budaya yang berbeda, dari yang sangat simbolik hingga yang sangat nyata.[5] Identitas kelompok etnik dan agama, oleh karena itu, adalah sebuah entitas sosial dan budaya yang sering melampaui batas-batas kelas, gender, dan ideologi politik.[5]

Akhir Perjuangan

Asmara Nababan menghembuskan napas terakhir di rumah sakit Fuda, Guangzhou, China pada 28 Oktober 2010, bertepatan dengan hari sumpah pemuda pukul 12.30 waktu setempat, ia meninggal dunia akibat kanker paru-paru yang telah diderita selama setahun lebih.[4] Asmara Nababan dimakankan di Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan.[4] Berbagai hal yang telah dipaparkan sebelumnya hanya bagian kecil dari banyak hal tentang Asmara Nababan.[2] Sebagai aktivis HAM yang bersahaja, sederhana, berani, jujur, dan tegas, nama Asmara Nababan tak akan hilang dimakan waktu. Meski demikian, selalu ada keyakinan munculnya ‘Asmara Nababan’ baru, karena demokrasi dan HAM tetap merupakan wilayah perjuangan serius.[2]

Referensi

  1. ^ a b In Memoriam
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 2011. Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan. Jakarta: PCD Press and Demos. ISBN: 978-979-99969-1-6
  3. ^ a b Asmara Nababan
  4. ^ a b c d Asmara Victor Michael Nababan
  5. ^ a b c d e f g h i j k Artikel Asmara Nababan