Lompat ke isi

Siti Aisyah We Tenriolle

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Berkas:Siti-aisyah.jpg
Siti Aisyah We Tenriolle, ratu Tanette (1855-1910)

Siti Aisyah We Tenriolle adalah tokoh emansipasi wanita yang berasal dari suku Bugis, di Tanette, Sulawesi Selatan, Indonesia.[1] Siti Aisyah We Tenriolle adalah Datu (Ratu) Kerajaan Tenatte (kini Bone), Sulawesi Selatan pada tahun 1855-1910.[2] Selain menguasai Kerajaan Tanette, Siti Aisyah We Tenriolle juga menguasai Kerajaan Bugis.[3] Berkat kontribusi Siti Aisyah We Tenriolle dalam menerjemahkan mahakarya epos La Galigo dari bahasa Bugis kuno ke bahasa Bugis umum, Tanette memperoleh poupularitas hingga samudra dan benua Eropa.[4] Waktu kelahiran Siti Aisyah tidak diketahui secara pasti.[1] Namun, Siti Aisyah We Tenriolle wafat pada tahun 1919, di desa Pancana Tanette ri Lau, yang juga kampung kelahirannya.[1]

Sejarah Kepemimpinan

Aisyah adalah anak kedua dari tiga bersaudara.[5] Ayahnya bernama La Tunampare' alias To Apatorang yang bergelar Arung Urung dan ibunya bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana.[4] Kedua orang tua Aisyah adalah bangsawan, diketahui dari gelar Arung di depan nama.[5] Kakak laki-lakinya bernama La Makkawaru dan adiknya bernama I Gading.[5] Setelah ayahnya meninggal, Aisyah dan keluarganya tinggal menumpang di rumah kakeknya yang bernama La Rumpang di Tanette.[5] Pada saat itu sedang terjadi perselisihan antara Belanda dan Raja Tanette yang bernama La Patau.[5] Akibat perselisihan itu, Belanda dengan kekuasaannya menurunkan tahta La Patau dan mengasingkannya keluar dari Sulawesi Selatan di tahun 1840..[5] Sebagai pengganti raja yang berikutnya Belanda mengangkat La Rumpang Megga Matinro Eri Moetiara, yakni kakek Aisyah.[5] Kerajaan Tanette merupakan kerajaan Islam.[2] Pengaruh Islam melekat kuat dalam dalam kerajaan Tanette sebagaimana juga pada Kerajaan Goa, Tallo, dan Bone.[2] Walaupun begitu, La Rumpang tak menutup diri dari asing dan menjalin persahabatan dengan asing, yakni B.F Matthes dan Ida Pfeiffer.[2] B.F Matthes adalah orang Belanda dan Ida Pfeiffer adalah orang Austria yang singgah di Tanette.[2] Saat La Rumpang sudah berusia lanjut, beliau memutuskan untuk turun tahta dan menunjuk Siti Aisyah We Tenriolle, cucunya sebagai penggantinya.[5] Usulan tentang Aisyah naik tahta dilaporkan kepada Gouverneur Celebes en Onderhorigheden (Gubernur Sulawesi dan Daerah Taklukan) pada 1852 dan usulan tersebut diterima.[5]

Saat naik tahta, Aisyah mendapat pertentangan dari ibundanya.[1] Sang Ibunda lebih menghendaki kaka sulung Aisyah, La Makkawaru yang naik tahta.[1] Kemauan Sang Ibunda mereda karena Aisyah naik tahta karena keinginan La Rumpang. [1] Di samping itu, kebiasaan La Makkawaru yang gemar berjudi dan minum minuman keras yang membuat ia tidak naik tahta kerajaan Tanette.[1] Aisyah menikah dengan Arung Bakka Soppeng yang nama aslinya La Sandji Unru.[1] Pernikahan mereka melahirkan tiga orang putri, yang bernama We Pancalktana Bunga Walie, I Pateka Tana, I Hawang, dan seorang putra yang bernama La Sangaji Unru.[1]

Kerajaan Tanette yang dipimpin oleh Aisyah merupakan salah satu kerajaan otonom kecil yang luasnya 61,180 hektar, dengan jumlah penduduknya pada saat itu 13,362 jiwa.[1] Kerajaan Tanette dipersatukan dari empat wilayah, yakni Tanette ri Tennga, Tanette ri Lauq, Tanette ri Aja, dan Gattarang.[4] Saat memerintah Kerajaan Tanette, Aisyah berusaha mempertahankan pola patron-klien dengan penjajah Belanda agar dapat mempertahankan keberlangsungan kehidupan masyarakt Tanette.[4] Aisyah menyadari betapa terhinanya hidup dalam kungkungan penjajahan formal.[4] Namun, hal ini dilakukan untuk kestabilan kerajaan.[4] Menurutnya, tak ada guna melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda, karena Belanda mempunyai sistem persenjataan dan kekuatan militer yang tak bisa ditaklukan.[4] Aisyah juga menerapkan konsep Pau-Pauna Sehek Maradang (lima tuntutan Hikayat Syekh Maradang).[5] Hikayat tersebut menyebutkan bahwa kewajiban pemimpin adalah:

- Orang pintar adalah orang yang memikirkan bagaimana menciptakan kesejahteraan suatu negeri dan rakyatnya.[5]

- Orang kaya adalah orang yang memiliki harta benda dan menggunakannya untuk membangun negerinya.[5]

- Orang yang pemberani adalah orang yang dapat melindungi rakyatnya.[5]

- Wali adalah orang yang dimuliakan oleh Allah.[5]

- Fakir adalah orang yang diterima doanya oleh Allah.[5]

Siti Aisyah We Tenriolle memerintah Kerajaan Tanette dengan kondisi politik dan ekonomi yang stabil selama 55 tahun.[1] Siti Aisyah We Tenriolle memanfaatkan masa pemerintahannya dengan berkonsentrasi pada pendidikan dan kesusastraan.[1]

Menggali Epos Sastra I La Galigo

Aisyah sangat menyukai buku-buku sastra dan menguasai epos La Galigo yang berbentuk puisi.[6] Melalui kekuasaanya Aisyah berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua La Galigo yang terpisah di kerajaan Goa, Tallo, dan Bone.[2] Bersama ibunya, Aisyah menyelami dan mengumpulkan sastra-sastra kuno, seperti manuskrip I La Galigo yang berbentuk daun-daun Lontar selama 20 tahun.[2] I La Galigo dikeramatkan oleh banyak kalangan Bugis.[2] Orang Bugis menjadikan La Galigo sebagai keramat karena mereka beranggapan bahwa cerita La Galigo bukan sekadar epos, tapi juga merupakan petuah leluhur (to Riolo) yang mengandung hikmah kehidupan.[2] Ibunda Aisyah sendiri adalah seorang intelek, dia yang mengurusi dokumen-dokumen kerajaan.[5] Aisyah dibantu oleh BF Matthes, peneliti Belanda yang diutus oleh Nederlandsch Bijbelgenootschaap (sebuah lembaga peneliti kitab-kitab kuno) dan ibundanya.[2]

BF Matthes menerbitkan transliterasi La Galigo dalam aksara Bugis dan terjemahan bahasa Belanda dalam buku: Boeginesche Chrestomathie jilid II tahun 1872.[4] Aisyah mempunyai peranan yang sangat dominan, kemampuannya dalam membaca dan memahami bahasa Bugis kuno dalam bait-bait epos La Galigo yang tersusun dalam 300,000 larik dalam cerita berangkai dan kekuasaannya sebagai ratu telah mempermudah pekerjaan BF Matthes dalam menerbitkan buku.[4] Karya terjemahan Siti Aisyah We Tenriolle kini disimpan di Universitas Leiden, Belanda dan menjadi rujukan penilitian mengenai wiracerita terpanjang di dunia.[4] Hingga kini Siti Aisyah We Tenriolle, BF Matthes dan ibunda Aisyah menjadi pahlawan pelestari sastra lokal Bugis.[4]

Sekolah Rakyat

Dengan kemampuan sastra dan pergaulannya dengan BF Matthes dan Ida Pfeiffer, Siti Aisyah We Tenriolle menyusun langkah strategis untuk memajukan kehidupan bangsa Tanette melalui pendidikan.[1] BF Matthes mendirikan sekolah hanya untuk laki-laki, bangsawan, dan kaum kaya.[1] Aisyah mendirikan sekolah yang memberikan pendidikan modern rakyat yang terbuka untuk semua kalangan masyarakat baik anak perempuan maupun laki-laki pada tahun 1908.[6] Hal itu dilakukan Aisyah agar masyarakat bawah juga dapat mengikuti pendidikan tanpa diskriminasi ekonomi, sosial, dan gender.[6] Sekolah rakyat yang didirikan oleh Aisyah tak pernah mendapatkan bantuan dari Belanda.[1] Ide Aisyah akan sekolah rakyat ini adalah yang pertama di jazirah Sulawesi Selatan kala itu.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p "We Tenri Olle, Ratu Cendekia dari Tanete". Lenteratimur.com. Diakses tanggal 6 Mei 2014.23.00. 
  2. ^ a b c d e f g h i j "R.A. Kartini Versus Aisyah We Tenriolle". LPPIMakassar.com. Diakses tanggal 6 Mei 2014.23.00. 
  3. ^ Perempuan dan Politik dalam Islam, Pustaka Pesantren, Mei 2004.
  4. ^ a b c d e f g h i j k "We Tenriolle, Ratu Tanette: Perintis Sekolah Rakyat dan dan Penggali Epos Sastra Lagaligo". Daengrusle.net. Diakses tanggal 6 Mei 2014.23.45. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p "Tak Hanya Kartini: Siti Aisyah We Tenriolle, Penyelamat Sastra Warisan Dunia I La Galigo". Lintas.me. Diakses tanggal 7 Mei 2014.11.40. 
  6. ^ a b c Sejarah Nasional Indonesia V. Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Balai Pustaka,2008.