Lompat ke isi

Samatha

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Samatha (Pali), (Sanskerta: शमथ, śamatha) adalah praktik meditasi Buddhis (bhavana) mengenai penenangan pikiran (citta) dan “formasi”-nya (sankhara). Hal ini dilakukan dengan berlatih meditasi fokus-tunggal yang pada umumnya dilakukan melalui kesadaran pernapasan. Samatha umum ditemukan pada semua tradisi Buddhis.

Istilah

Istilah Tibet untuk samatha adalah shyiné (Wylie: zhi-Gnas). Menurut Jamgon Kongtrul, wawasan dapat dikumpulkan melalui penafsiran etimologi samatha dan shyiné:

Istilah Tibet (untuk samatha adalah) shyiné [shi-ne] (shi-Gnas) dan Sanskerta adalah Shamatha. Dalam istilah bahasa Tibet, suku kata pertama, shi, dan dalam istilah bahasa Sansekerta, dua suku kata pertama, shama, mengacu pada "kedamaian" dan "keamanan". Arti kedamaian atau keamanan dalam konteks ini adalah bahwa biasanya pikiran kita seperti gemuruh topan. Gemuruh tersebut adalah kecemasan pikiran. Pikiran kita pada dasarnya merupakan suatu perhatian obsesif terhadap masa lalu, konseptualisasi tentang masa kini, dan terutama perhatian yang obsesif terhadap masa depan. Ini berarti bahwa biasanya pikiran kita tidak mengalami saat sekarang sama sekali.[1]

Bidang semantik dari shi dan shama adalah "keamanan", "perlambatan atau pendinginan", "istirahat". Bidang semantik adalah "untuk mematuhi atau tetap" dan hal ini serumpun atau setara dengan suku kata akhir istilah dalam bahasa Sanskerta, tha.[2]

Penerapan

Samatha (ketenangan) dianggap sebagai prasyarat konsentrasi. Dalam hal praktek meditatif, samatha mengacu pada teknik yang membantu dalam menenangkan pikiran. Salah satu teknik utama yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam hal ini adalah kesadaran pernapasan (Pali: anapanasati). Praktek ini juga digunakan untuk memusatkan pikiran. Dengan demikian, meditasi samatha dan meditasi konsentrasi sering dianggap identik. Tujuannya adalah pendirian perhatian seperti yang digunakan dalam hubungannya dengan praktik wawasan (P: vipassanā; S: vipaśyanā), penyelidikan sifat benda, seperti yang ditemui dalam tradisi dzogchen, sehingga menghasilkan kebijaksanaan (P: panna, S:prajna). Samatha umumnya dilakukan sebagai awal untuk dan dalam hubungannya dengan praktik kebijaksanaan.[3]

Melalui pengembangan meditatif dari kediaman yang tenang, seseorang dapat menekan munculnya lima rintangan. Dengan penekanan terhadap rintangan-rintangan ini, pengembangan meditatif wawasan menghasilkan kebijaksanaan yang membebaskan.[4]

Dalam tradisi Theravada, terdapat empat puluh obyek meditasi. Kesadaran (sati) pernafasan (Anapana: anapanasati; S. ānāpānasmṛti) adalah praktek samatha yang paling umum. Samatha dapat mencakup praktek-praktek samadhi lainnya juga.

Beberapa praktek meditasi seperti perenungan objek kasina mendukung pengembangan samatha, praktek lainnya seperti kontemplasi kelompok yang kondusif untuk pengembangan vipassana, sementara praktek yang lainnya seperti perhatian pada pernapasan secara klasik digunakan untuk mengembangkan kedua kualitas mental tersebut.[5]

Asal Mula

Sang Buddha dikatakan telah mengidentifikasi dua kualitas mental yang penting yang muncul dari praktek meditasi yang sehat: 

  • Samatha, kediaman yang tenang, yang memantapkan, menyusun, menyatukan dan memusatkan pikiran;
  • Vipassana, wawasan, yang memungkinkan seseorang untuk melihat, mengeksplorasi dan melihat "formasi" (fenomena yang terkondisi berdasarkan lima kelompok).[6]

Sang Buddha dikatakan telah memuji ketenangan dan wawasan sebagai sarana untuk mencapai keadaan nibbana (Pali; Skt.: Nirwana.) yang tidak terkondisi. Sebagai contoh, dalam Kimsuka Tree Sutta, Sang Buddha memberikan kiasan yang rumit di mana ketenangan dan wawasan adalah "sepasang pembawa berita yang cepat" yang menyampaikan pesan dari nibbana melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.[7]

Dalam Four Ways to Arahantship Sutta, Ven. Ānanda melaporkan bahwa orang-orang mencapai tingkat kesucian arahat menggunakan kekekalan dan wawasan yang tenang melalui salah satu dari tiga cara berikut: 

  1. Mereka mengembangkan kediaman yang tenang dan kemudian wawasan (Pali: samatha-pubbangamam vipassanam)
  2. Mereka mengembangkan wawasan dan kemudian kediaman yang tenang (Pali: vipassana-pubbangamam samatham)
  3. Mereka mengembangkan kediaman yang tenang dan wawasan secara tandem (Pali: samatha-vipassanam yuganaddham), misalnya, memperoleh jhana pertama dan kemudian melihat kelompok terkait tiga tanda keberadaan sebelum melanjutkan ke jhana kedua.[8]

Dalam kanon Pali, Sang Buddha tidak pernah menyebutkan praktik meditasi samatha dan vipassana secara terpisah; sebagai gantinya, samatha dan vipassana adalah dua "kualitas pikiran" untuk dikembangkan melalui meditasi. Seperti yang Bhikkhu Thanissaro tulis,

Ketika [sutta Pali] menggambarkan sang Buddha yang sedang memberitahu siswa-siswanya untuk bermeditasi, mereka tidak pernah mengutipnya dengan mengatakan 'lakukanlah vipassana,' tetapi selalu ‘lakukanlah jhana'. Dan mereka tidak pernah menyamakan kata "vipassana" dengan teknik kesadaran. Dalam beberapa kasus di mana mereka menyebutkan vipassana, mereka hampir selalu memasangkannya dengan samatha - bukan sebagai dua metode alternatif, tetapi sebagai dua kualitas pikiran yang seseorang mungkin 'peroleh' atau 'akan diberkahi dengan’, dan hal itu harus dikembangkan secara bersama-sama.[9]

Demikian pula, mengacu pada MN 151, ay. 13-19, dan AN IV, 125-27, Ajahn Brahm (yang, seperti Bhikkhu Thanissaro, dalam Tradisi Hutan Thailand) menulis bahwa

“Beberapa tradisi berbicara tentang dua jenis meditasi, meditasi wawasan (vipassana) dan meditasi ketenangan (samatha). Bahkan keduanya adalah aspek tak terpisahkan dari proses yang sama. Ketenangan adalah kebahagiaan yang damai yang lahir dari meditasi; wawasan adalah pemahaman yang jelas yang lahir dari meditasi yang sama. Ketenangan mengarah pada wawasan dan wawasan menyebabkan ketenangan.”[10]

Rujukan

  1. ^ Ray, Reginald A. (Ed.)(2004). In the Presence of Masters: Wisdom from 30 Contemporary Tibetan Buddhist Teachers. Boston, Massachusetts, USA: Shambhala Publications. ISBN 1-57062-849-1 (pbk.: alk. paper) hal.69.
  2. ^ Ray, Reginald A. (Ed.)(2004). In the Presence of Masters: Wisdom from 30 Contemporary Tibetan Buddhist Teachers. Boston, Massachusetts, USA: Shambhala.ISBN 1-57062-849-1 (pbk.: alk. paper) hal.70.
  3. ^ Wallace, A. (2006) The Attention Revolution. Wisdom Publications, ed. 1. hal.164
  4. ^ AN 2.30.
  5. ^ Lihat, misalnya, Bodhi (1999) dan Nyanaponika (1996), hal. 108
  6. ^ AN 4.94
  7. ^ Thanissaro Bhikkhu (1998). Kimsuka Sutta: The Riddle Tree. Diakses pada 22-05-2014
  8. ^ Bodhi (2005), hal. 268, 439 nn. 7, 9, 10. Lihat pula Thanissaro (1998)
  9. ^ Thanissaro Bhikkhu (1997) One Tool Among Many: The Place of Vipassana in Buddhist Practice. Diakses 22-05-2014
  10. ^ Brahm (2006). Mindfulness, Bliss, and Beyond. Wisdom Publications, Inc. hal. 25. ISBN 0-86171-275-7.

Pranala luar