Lompat ke isi

Liberty Manik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 Juli 2014 11.05 oleh 114.121.156.127 (bicara) (Pendidikan: alan hidup pemuda Liberty, cukup panjang, dimana setelah menyelesaikan studinya di HIS Sidikalang pada tahun 1940, beliau melanjutkan studinya di HIK Muntilan, sekolah guru.Di sini pemuda Liberty berkenalan dengan Cornel Simanjuntak)
Foto Liberty Manik

Liberty Manik

Satu Nusa Satu bangsa, kini menjadi suatu rangkaian kata yang perlu mendapat perhatian dari seluruh bangsa Indonesia, karena pada saat ini bahaya terjadinya disintegrasi bangsa Indonesia menjadi makin besar, ditambah lagi dengan terjadinya kekacauan bernuansa SARA yang sangat jauh menyimpang dari apa yang tersurat maupun tersirat pada bait-bait lagu Satu Nusa Satu Bangsa tersebut di atas.

Tidak satupun orang Indonesia yang tidak pernah menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa atau paling tidak telah mendengar lagu tersebut dinyanyikan baik secara langsung pada upacara-upacara resmi maupun melalui media elektronik.

Lagu Satu Nusa Satu Bangsa ini diciptakan pada tahun 1947 di sebuah rumah yang tergolong jeron benteng*) Kraton Yogyakarta Hadiningrat, bukan oleh seorang pangeran ataupun bangsawan Jawa, tetapi oleh seorang putera bangsa yang dilahirkan di sebuah desa kecil di ujung utara Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di kampung Huta Manik, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, 18 kilometer dari ibukota Kabupaten, Sidikalang.

Ia lahir dengan nama Raja Tiang Manik dari ayah Raja Patihan Manik dan ibu Salat br. Situmorang. Kelak namanya diubah menjadi Liberty Manik yang kita semua kenal sebagai pencipta lagu "Satu Nusa Satu Bangsa" dan "Desaku yang Kucinta".

Jalan hidup pemuda Liberty, cukup panjang, dimana setelah menyelesaikan studinya di HIS Sidikalang pada tahun 1940, beliau melanjutkan studinya di HIK Muntilan, sekolah guru.

Di sini pemuda Liberty berkenalan dengan Cornel Simanjuntak yang juga telah kita kenal sebagai salah satu pencipta lagu wajib yang banyak dinyanyikan di Indonesia.

Dengan masuknya Jepang ke Indonesia pada tahun 1942, HIK Muntilan terpaksa ditutup dan Liberty muda terpaksa bekerja sebagai pemain biola dan penyanyi di Semarang Hoyokyooku.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Liberty kembali ke Yogyakarta dan pada tahun 1946 melanjutkan studinya disana, dimana bakatnya semakin dikembangkan dan akhirnya beliau mendirikan kelompok paduan suara dengan nama "Koor Lagu-lagu Tanah Air", melalui kelompok paduan suara inilah lagu Satu Nusa Satu Bangsa makin dikenal luas.

Sekitar 1949, Liberty pindah kembali ke Jakarta dan bekerja di Majalah Arena yang berada di bawah pimpinan H. Usmar Ismail, dan akhirnya pada tahun 1951 Liberty kembali ke kampung halamannya, Sumatera Utara dan masih tetap aktif bergiat dalam kelompok paduan suara di RRI Medan.

Pada tahun 1954 Liberty mendapat beasiswa dari Lembaga Kerjasama Indonesia-Belanda untuk memperdalam seni musik di Amsterdam, dimana beliau berhasil lulus dalam ujian sebagai dirigen koor pada tahun 1955.

Pada tahun 1959, kembali Liberty mendapat beasiswa kali ini dari Pemerintah Jerman untuk melanjutkan studinya di Freie Universitat di Berlin Barat dan di sini beliau berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "Das Arabische Tonsystem im mitte letter" dengan predikat Magna Cum Laude pada tahun 1968.

Setelah berkelana selama + 18 tahun di Eropa, beliau kembali ke Indonesia dalam rangka menghadiri upacara Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1972.

Setelah menghadiri kegiatan tersebut, Liberty memanfaatkan kunjungannya ke Indonesia itu untuk melakukan riset menyelidiki musik-musik di daerah Tapanuli selama 3 bulan antara lain musik Pakpak-Dairi; Toba; Karo dan Mandailing.

Hasil risetnya diterbitkan di Jerman, sayangnya tidak ada pihak di Indonesia yang berusaha untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Tahun 1976, Liberty kembali ke Indonesia dan bekerja di DGI hingga akhir hayatnya yaitu pada tanggal 16 September 1993 di Yogyakarta, kota yang dicintainya dan dimakamkan di pemakaman seniman di Imogiri, Bantul, Yogyakarta.

Kunjungan terakhir Liberty ke kampung halamannya tepatnya di Huta Manik dan Silalahi-Paropo dilakukan beliau pada bulan Juli 1993, dimana beliau berjanji akan kembali lagi untuk merayakan Natal dan Tahun Baru 1994 di sana, tetapi rupanya Tuhan menentukan lain.

Penulis mencoba mengangkat kembali secara ringkas, sekelumit riwayat hidup dari pencipta lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang menjadi sangat relevan dengan situasi pada saat ini, dimana banyak terjadi bentrokan-bentrokan yang bernuansa SARA.

Jika saja kita semua mau membaca dan menjiwai bait-bait lagu Satu Nusa Satu bangsa tersebut, akan terasa semangat persatuan yang sangat kental dalam lagu tersebut, dimana terlihat rasa cinta akan tanah air kita Indonesia dan semangat untuk membela persatuan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa Indonesia, suatu Wawasan Kebangsaan seutuhnya.

Sangat menarik apa yang pernah dikatakan oleh Liberty (seperti yang disampaikan kepada penulis oleh Muntilan Manik, saudara kandung Liberty yang masih hidup dan tinggal di Sidikalang) :"Apa yang mendorong saya menciptakan lagu ini adalah adanya keinginan murni para pemuda Indonesia pada saat itu tanpa membedakan SARA untuk mempersatukan dan menanamkan rasa Persatuan dan Kesatuan Bangsa ini".

Liberty juga membuktikan bahwa kecintaannya akan daerah asalnya seperti tercermin dalam lagunya "Desaku yang Kucinta" tidak menimbulkan rasa kedaerahan yang sempit seperti selama ini banyak terlihat, tetapi kecintaan akan daerah asalnya itu justru dapat dijalin menjadi suatu ikatan yang lebih besar yaitu ikatan kebangsaan, Bangsa Indonesia.

Lagu Desaku yang Kucinta ini menunjukkan bahwa Liberty tidak pernah melupakan desa tempatnya dilahirkan dan ini dapat merupakan pendorong bagi orang lain untuk tetap mengingat desa tempatnya dilahirkan, bahkan kalau mungkin ikut membangun desanya sesuai dengan semangat Marsipature Hutanabe, Paturehon Bona ni Pinasa.

Dairi, Kabupaten yang masih muda di Barat Laut Sumatera Utara ternyata telah melahirkan seorang putera bangsa yang berkarya besar, seorang pahlawan tanpa senjata, yang justru dengan kekuatan kata-kata dalam bait-bait lagunya dapat menumbuhkan wawasan kebangsaan, rasa kebanggaan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya, ini telah mendorong seorang Sabam Is. Sihotang, Bupati Dairi (1994-1999) bersama dengan penulis yang pada saat itu bertugas sebagai Kepala Proyek PLTA Renun (1995-1998) yang berlokasi di Kabupaten Dairi, untuk memprakarsai dibangunnya sebuah monumen sederhana yang telah diresmikan pada tanggal 14 November 1997, yang sekarang dapat kita lihat di desa Sitinjo, Kecamatan Sidikalang di Kompleks Wisata Letter S, di tepi jalan raya Sumbul-Sidikalang, Sumatera Utara(21 November 1924 – 16 September 1993) adalah seorang komponis dan pengajar musik di Institut Seni Indonesia (Yogyakarta). Ia juga dikenal sebagai filolog (ahli bahSetelah menyelesaikan pendidikan dasar melanjutkan ke sekolah keguruan HIK di Muntilan (Jawa Tengah). Menyelesaikan studi doktor musik di Universitas Berlin (Jerman) dengan predikat cum laude. Disertasinya mengenai musik Arab pada zaman Abad Pertengahan. Ditanah kelahirannya Sidikalang, didirikan patung Liberty Manik di Lokasi Taman Wisata Iman untuk mengenang salah satu putra terbaik Pakpak yang pernah mendunia.

Karya

  • Pencipta lagu nasional Satu Nusa Satu Bangsa; Desaku.
  • Menerjemahkan dan mementaskan oratorium Mattheus Passion dan Weichnachtsoratorim karangan J.S. Bach di Yogyakarta tahun 1980-an.

Lihat Pula

Referensi