Lompat ke isi

Yaki

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Monyet hitam sulawesi
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Macaca
Spesies:
M.nigra
Nama binomial
Macaca nigra
Desmarest, 1822

Monyet wolai atau Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) atau Yaki adalah satwa endemik Indonesia yang hanya terdapat Pulau Sulawesi bagian utara dan beberapa pulau di sekitarnya.[1][2] Yaki merupakan jenis monyet terbesar yang ada di Pulau Sulawesi.[3] Cirinya yang khas dari yaki adalah warna seluruh tubuhnya yang hitam dan memiliki rambut berbentuk jambul di atas kepalanya, serta memiliki pantat berwarna merah muda.[1]

Pertalaan

Yaki memiliki ciri tubuh yang mudah dibedakan dengan spesies lainnya.[1] Tingginya sekitar 44-60 centimeter, dengan berat badan sekitar 7-15 kilogram, cukup besar jika dibandingkan dengan monyet Sulawesi lainnya.[3] Kulit Yaki berwarna hitam legam dengan bulu hitam mengkilat yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah, telapak tangan, dan pantat.[1][4] Moncongnya lebih menonjol jika dibandingkan dengan jenis lainnya.[3][5]

Ciri khasnya adalah kepala hitam yang memiliki jambul hingga menyerupai gaya rambut model punk.[1][3] Yaki hanya memiliki ekor sepanjang 20 sentimeter, berbeda dengan kera-kera jenis lain yang umumnya memiliki ekor relatif panjang.[3] Sehingga, mereka sekilas akan nampak tidak memiliki ekor.[3] Selain itu, cirinya yang paling mencolok adalah pantatnya yang berwarna merah muda.[3] Bantalan tunggingnya berbentuk seperti ginjal, dan berwarna kuning.[1] Warna tubuh Yaki betina dan muda lebih pucat jika dibandingkan dengan Yaki jantan dewasa.[1]

Makanan

Seperti halnya monyet-monyet lain yang hidup di hutan, yaki memakan berbagai bagian tumbuhan, seperti daun, pucuk daun, biji, bunga, umbi, dan buah.[1][5] Mereka juga memakan beberapa jenis serangga, moluska, invertebrata kecil, bahkan ular.[1][5] Terdapat lebih dari 145 jenis buah yang dimakan Yaki.[1] Yaki akan pergi ke tepi laut untuk mencari moluska.[1]

Habitat

Yaki dapat dijumpai di hutan primer dan sekunder, daerah pesisir maupun di dataran tinggi hingga ketinggian 2000 di atas permukaan laut (dpl).[1] Dari beberapa habitat hidupnya, yaki lebih menyukai tinggal di hutan primer, karena cocok untuk tempat tidur dan mencari makan.[1][5] Mereka juga sering turun ke perkebunan untuk mencari makan dan merusak panen, sehingga yaki sering dianggap sebagai hama tanaman.[1]

Penyebaran

Tempat tinggal yaki

Populasi yaki tersebar di beberapa titik di hutan primer Cagar Alam Tangkoko, Bitung, mulai Cagar Alam Tangkoko Batuangus bagian utara hingga ke sungai Onggak Dumoga.[1][4] Satwa ini juga tersebar di hutan lindung Sulawesi Utara, seperti Cagar Alam Dua Saudara, Pulau Bacan, Manembo Nembo, Kota Mubagu, dan Modayak.[4]

Perilaku

Sosial

Dalam habitatnya, yaki memilki kelompok besar yang terdiri dari 20-70 ekor.[1] Setiap kelompok didominasi oleh yaki betina dibandingkan yaki jantan, dengan perbandingan 3,4:1.[1] Pada setiap kelompok selalu ada salah satu yaki dijadikan pemimpin kelompok.[4] Dalam kehidupannya, beberapa perilaku yaki juga memiliki kemiripan dengan manusia, seperti adanya hirarki dalam kelompok dan perebutan kekuasaan.[6] Dalam kelompoknya, yaki memberlakukan sistem matrilineal atau anggota tetap dari kelompok adalah yaki betina, sedangkan yaki jantan sering berpindah-pindah kelompok.[3]

Aktivitas harian

Yaki tergolong hewan semiarboreal dan teresterial, selain menghabiskan waktu di pepohonan, yaki juga sering berjalan-jalan di atas tanah.[1][3] Daerah jelajahannya berkisar antara 114-320 hektar, dan jelajahan hariannya bisa mencapai 5 kilometer.[1] Cara bergerak yaki sangat bervariasi, terkadang mereka berjalan menggunakan kedua kakinya (bipedal), menggantung (brankiasi), atau memanjat.[1] Mereka juga tergolong hewan diurnal, yaitu mayoritas aktivitasnya dilakukan pada siang hari.[1][3]

Terancam

Populasi yaki terancam punah dikarenakan penebangan hutan dan perburuan yang leluasa.[6][7] Masyarakat sering memburu yaki untuk diambil dagingnya.[6] Permintaan daging yaki semakin meningkat ketika menjelang Natal dan Tahun baru.[6] Hingga kini populasi yaki diperkirakan hanya tersisa 3.000 ekor yang ada di Hutan Tangkoko, Sulawesi Utara.[7]

Undang-Undang

Satwa ini dilindungi berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1999.[7]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Jatna Supriatna, Edy Hendras Wahyono (2000). Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-97946-1355-9.  Halaman 101-108.
  2. ^ Oman Karmana. Cerdas Belajar Biologi. PT Grafindo Media Pratama. ISBN 978-97975-8442-9.  Halaman 143-145.
  3. ^ a b c d e f g h i j www.gocelebes.com: Gaya Rambut “Punk” Kera Hitam Sulawesi. Diakses 11 Mei 2014
  4. ^ a b c d www.mongabay.co.id: Yaki, Si Monyet Hitam Sulawesi yang Toleran. Diakses 11 Mei 2014
  5. ^ a b c d www.mongabay.co.id: Perburuan Marak, Selamatkan Yaki, Si Monyet Hitam Sulawesi. Diakes 11 Mei 2014
  6. ^ a b c d www.nationalgeographic.co.id: Monyet Hitam Diburu dan Dikonsumsi. Diakses 12 Mei 2012
  7. ^ a b c "Populasi Terus Menurun, Yaki 'Si Monyet Petani' Kini Terancam Punah". www.daerah.sindonews.com. 18 Juni 2013. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 

Pranala luar