Lompat ke isi

Gua Maria Pohsarang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 12 Juni 2007 08.53 oleh Alcatrank (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '== Gua Maria Puh Sarang == Yang dikenal juga dengan nama gua Maria Lourdes Puh Sarang adalah merupakan salah satu tujuan para peziarah dari kalangan umat Katolik, ya...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Gua Maria Puh Sarang

Yang dikenal juga dengan nama gua Maria Lourdes Puh Sarang adalah merupakan salah satu tujuan para peziarah dari kalangan umat Katolik, yang terletak di kompleks gereja Puhsarang, yang terletak di Puh Sarang yaitu sebuah desa yang berada wilayah Kecamatan Semen, sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri. Pada kompleks gereja yang lama terdapatlah miniatur gua Maria Lourdes yak dikemudian hari oleh karena terlalu kecil bentuknya maka pada tanggal 11 Oktober 1998, dimulailah pembangunan gua Lourdes yang merupakan tiruan atau replika Gua Maria Lourdes yang ada di Perancis. Dinamakan Gua Maria Lourdes sebab dalam Gereja yang lama terdapat tiruan gua Lourdes dalam bentuk yang kecil. Di seputar patung yang kecil dalam gua pertama tertulis tulisan di atas kuningan dengan menggunakan bahasa Jawa ejaan lama: Iboe Maria ingkang pinoerba tanpa dosa asal, moegi mangestonana kawoela ingkang ngoengsi ing Panjenenengan Dalem. (Bunda Maria yang terkandung tanpa noda dosa asal, semoga berkenan merestui aku yang datang berlindung kepada Engkau)

Patung Maria yang terdapat di Gua Maria Lourdes Puh Sarang ini merupakan replika atau tiruan dari patung Maria Lourdes, yang terbuat dari semen kemudian dicat berwarna bagian luarnya. Patung itu lebih tinggi dari contoh aslinya yang hanya 1,75 meter dimana patung Maria yang sekarang ini tingginya 3,5 meter dan kalau dihitung dari alas kakinya patung ini tingginya dari bawah menjadi 4 meter.

Patung ini dibuat lebih besar dari contohnya sebab disesuaikan dengan besarnya gua yang tingginya mencapai hampir 18 meter.


Gereja dengan arsitektur kuno

Gereja Katolik di Puh Sarang didirikan oleh Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936 atas permintaan pastor paroki Kediri pada waktu itu, Pastor H. Wolters, CM. Insinyur tersebut juga menangani pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit. Sayangnya gedung museum di Trowulan itu sudah hancur pada tahun 1960 yang hancur pada tahun 1960, karena kurang dirawat dengan baik oleh karena kurangnya dana untuk pemeliharaan dan perawatan. Bangunan gereja Puh Sarang mirip dengan bangunan museum Trowulan, maka dengan melihat gereja sekarang kita bisa membayangkan bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala. Pastor Wolters, CM, lah yang meminta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Puh Sarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu.

Kompleks gereja Puh Sarang merupakan suatu usaha untuk menampilkan iman kristiani dan tempat ibadat katolik dalam budaya setempat. Banyak orang berpendapat bahwa bangunan yang dibuat di Puh Sarang indah dan unik serta merupakan karya monumental yang patut untuk dipelihara dan dijaga agar jangan musnah seperti museum Trowulan.

Syukurlah ada gereja Puh Sarang yang menampilkan gaya Majapahit tapi dikombinasikan dengan gaya dari daerah lain dan iman kristiani. Yulianto Sumalyo dalam buku yang berjudul `Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993" menulis demikian mengenai gereja Puh Sarang: "Seperti pada bangunan Trowulan, Tegal dan lain-lain untuk membangun gereja Pohsarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Maclaine Pont menggunakan juga buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada saat membangun museum. Gereja yang sarat dengan simbolisme ini merupakan suatu karya arsitektur yang sangat berhasil dilihat dari berbagai segi: mulai dari lokasi, tata massa, bahan bangunan, struktur dan ten tu saja fungsi dan keindahannya. Semua aspek termasuk budaya setempat dan filsafat agama dipadukan dalam bentuk arsitektur dengan amat selaras"


Pranala luar