Lompat ke isi

Pierre Toussaint

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Venerabilis Pierre Toussaint
Ven. Pierre Toussaint
Seorang mantan budak, penata rambut ternama, filantropis, perintis banyak karya karitatif di New York
Lahir1766, Haiti
Meninggal30 Juni 1853, New York
Dihormati diGereja Katolik
Tempat ziarahKatedral St. Patrick[1],
New York
Pestabelum ada
(belum dibeatifikasi)

Pierre Toussaint (1766 - 30 Juni 1853) adalah seorang mantan budak dari koloni Perancis, yaitu Santo Domingo (sekarang Haiti)[2], yang dibawa ke New York - Amerika Serikat oleh majikannya pada tahun 1787. Pierre mendapatkan kebebasannya pada tahun 1807, setelah kematian majikannya. Ia kemudian menjadi penata rambut terkemuka di New York sekaligus seorang dermawan kondang bagi orang-orang miskin di kota tersebut.

Setelah pernikahannya pada tahun 1811, Pierre dan istrinya melakukan banyak karya amal. Mereka juga menjadikan rumah mereka sebagai tempat tinggal bagi orang-orang yang membutuhkan. Pierre menyumbangkan dana ke berbagai kegiatan karitatif dan membantu penggalangan dana untuk membangun Katedral St. Patrick 'Lama'[3] di Mulberry Street - New York. Ia dianggap sebagai salah seorang "warga New York berkulit hitam" yang terkemuka pada zamannya. Memoar-nya diterbitkan pada tahun 1854.

Karena kesalehan dan keteladanan hidupnya, Gereja Katolik melakukan penyelidikan atas kehidupannya untuk kemungkinan kanonisasi. Dan pada tahun 1996 Pierre Toussaint dinyatakan "Venerabilis", langkah kedua dalam proses kanonisasi, oleh Paus Yohanes Paulus II.[4] Ia adalah satu-satunya orang awam yang dimakamkan di ruang bawah tanah di bawah altar utama Katedral St. Patrick di Fifth Avenue - New York, yang seharusnya dikhususkan hanya untuk para uskup dari Keuskupan Agung New York. Orang-orang suci yang juga dimakamkan di situ adalah Venerabilis Fulton Sheen dan Pelayan Tuhan Terence Cooke.[1]


Awal mula

Pierre lahir pada tahun 1766 di kota Saint Marc[5] - Santo Domingo (sekarang dikenal sebagai negara Republik Haiti)[2] dari seorang budak wanita, Ursule, di perkebunan Latibonite milik keluarga Bérard.[6] Nama ayahnya tidak diketahui, tetapi ia memiliki adik, Rosalie.[7] Ursule adalah anak dari Zenobe Julien, seorang budak kepercayaan keluarga Bérard yang karena kesetiaannya kemudian memperoleh pembebasan (bebas dari statusnya sebagai budak, walau kenyataannya Zenobe sekeluarga tidak mendapat perlakuan sebagaimana budak pada umumnya oleh keluarga Bérard).[8][9]

Nenek dan ibu Pierre adalah penganut-penganut Katolik yang saleh seperti juga majikannya, Monsieur (sebutan 'Tuan' dalam bahasa Perancis) Bérard. Iman Katolik ini diwariskan oleh nenek buyut Pierre, Tonette, yang terlahir di Afrika dan kemudian dijual sebagai budak di Santo Domingo.[10] Demikianlah Pierre, seorang yang cerdas dan ceria, sudah berakar dalam iman yang kuat yang berasal dari keluarganya. Ia tumbuh tinggi, langsing, dan anggun dalam berpikir maupun bersikap. Tuan Bérard menugaskannya untuk bekerja di rumah utama di perkebunannya, sehingga ia terhindar dari kerasnya kehidupan di lapangan (perkebunan).

Sebagai seorang anak, Pierre dididik oleh pengajar keluarga Berard. Ia bahkan mendapat akses ke perpustakaan keluarga Berard, di mana ia bertemu karya Katolik klasik seperti "Mengikuti Jejak Kristus". Buku terkenal karya Thomas a Kempis tersebut kemudian menjadi buku favoritnya; kutipan-kutipan dari buku tersebut senantiasa terukir dalam hatinya, terwujud dalam perbuatan dan perkataannya.[11][12]

Kehidupan baru: New York

Dalam masa-masa setelah kelahiran Pierre Toussaint (tahun 1766) dan beberapa tahun setelahnya, pulau Santo Domingo (kelak menjadi Haiti) yang adalah koloni Perancis[2], berada dalam puncak perkembangan dan kemakmurannya.[7] Kontras dengan keadaan tersebut, budak-budak di sana diperlakukan secara brutal oleh majikan mereka sehingga berkembang gerakan perlawanan oleh para budak (yang kemudian mencapai puncaknya dengan Revolusi Haiti). Karena desakan keadaan dan kekhawatiran akan munculnya pemberontakan, John Bérard (dalam bahasa Perancis: Jean Bérard), sebagai pewaris perkebunan keluarga Berard[9], memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat.

Pada tahun 1787, John Bérard membawa keluarganya beserta lima orang budaknya pindah ke kota New York.[13][14] Pierre dan adiknya, Rosalie, termasuk dalam rombongan tersebut. John Bérard, karena kebaikan seorang teman, mendapatkan sebuah rumah siap huni di Reade Street yang mana segera diambil-alih kepemilikan olehnya.[13][15][16] Mereka menjalin satu ikatan keluarga besar dengan pergaulan yang luas di komunitas mereka. Seorang wanita yang mengenal baik keluarga mereka mengatakan,

Saya ingat, Toussaint ada di antara para budak. Ia mengenakan jaket merah, penuh semangat, dan sangat menyukai tarian dan musik, dan selalu menunjukkan pengabdiannya kepada majikannya ... [13]

Lukisan Pierre Toussaint dalam Memoar
Lukisan wajah Pierre Toussaint dalam Memoar yang diterbitkan tahun 1854

Menjadi penata rambut

Tidak lama setelah tinggal di New York, John Bérard mengungkapkan harapannya kepada Pierre agar ia mempelajari usaha penataan / rias rambut. Dan Pierre segera belajar ilmu tersebut dari penata rambut-nya Madame (sebutan 'Nyonya' dalam bahasa Perancis) Bérard, --Tuan Merchant; yang adalah salah satu penata rambut terkemuka di kota itu, dengan biaya 50 dolar.[17] Sepertinya Pierre memiliki bakat alami atas seni tata-rambut yang kompleks itu karena ia belajar dengan cepat. Pada saat itu, seorang wanita modis dapat menghabiskan uang 1.000 dolar setahun untuk 'merawat' rambutnya. Jumlah tersebut tidaklah sedikit karena seseorang yang berpenghasilan 10.000 dolar setahun sudah dianggap kaya.

Keluarga Berard sangat bersyukur dan bangga akan keberhasilan Pierre Toussaint dalam profesi barunya. Kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh tuan dan nyonya-nya dipandangnya sebagai suatu kepercayaan yang suci. Lagipula perilaku Pierre yang sederhana dan rendah hati dengan mudah 'menundukkan' klien-kliennya; ia juga jujur, bijak, dan tidak sombong. Seorang wanita yang anggun dan terpelajar mengatakan,

"Beberapa dari jam-jam paling menyenangkan yang kulewati adalah bercakap-cakap dengan Toussaint saat ia mendandani rambut saya. Saya menantikannya sebagai hiburan sehari-hari." [18]

Kelak Pierre menjadi penata rambut terkenal di New York, bahkan nantinya ia juga menopang hidup majikannya melalui keahliannya itu. Penghasilannya semakin hari semakin besar; daftar kliennya terus bertambah, dan tidak butuh waktu lama baginya untuk masuk dalam daftar panggilan wanita-wanita terkaya di kota itu. Di antara kliennya Pierre adalah: Nyonya Peter Cruger, cucu Jenderal Philip Schuyler (yang mengalahkan Inggris dalam Pertempuran Saratoga); Eliza Schuyler Hamilton; Nyonya Mary Anne Schuyler, menantu Jenderal Schuyler; keluarga La Farge, keluarga Livingston.[16]

Kematian John Bérard

Setelah berhasil menugaskan Pierre untuk belajar ilmu tata-rambut, John Bérard kembali ke Santo Domingo untuk melihat perkebunan yang ia tinggalkan. Namun keadaan di sana ternyata memburuk, ia kehilangan perkebunannya; dan tidak lama kemudian John Bérard meninggal akibat penyakit pleuritis. Sementara Madame Bérard belum pulih benar dari kesedihannya yang mendalam atas kematian sang suami; berita buruk lainnya segera menyusul, investasi besar John Bérard lenyap seketika karena perusahaan tersebut jatuh bangkrut. Segera saja Madame Bérard sekeluarga tidak mempunyai sumber penghasilan lagi dan mulai terbelit hutang.[18]

Suatu hari Madame meminta Pierre untuk menjual beberapa perhiasannya untuk membayar hutang sejumlah 40 dolar. Dan beberapa hari kemudian sang penata rambut kembali ke rumah dan memberikan kepada majikannya dua bungkusan, satu berisi uang 40 dolar, dan satu lagi berisi perhiasannya. Tentu saja Madame terkejut dan menanyakan kepadanya bagaimana ia dapat memperoleh uang tersebut. Kata Pierre,

"Saya mendapat beberapa pelanggan, Madame. Mereka tidak begitu modis, tapi Tuan Merchant sangat baik, --ia memberikan mereka pada saya. Selain itu, saya mempunyai semua uang yang pernah Anda berikan kepada saya, hadiah Tahun Baru saya, --saya tabung semuanya." [19]

Sang majikan menjadi lebih terkejut lagi, dan mengatakan bahwa ia tidak tahu kapan dapat membayarnya kembali. Pierre kemudian mengatakan kalau itu semua miliknya; ia tidak menginginkan uang itu lagi; bahwa ia sudah memiliki pelanggan-pelanggan yang baik, dan berharap semakin hari semakin bertambah. "Majikanku yang malang," kata Pierre, "menangis begitu banyak.." [20]

Pengabdian

Sejak saat itu Pierre menganggap penghasilannya sebagai milik Madame Bérard, dan ia hanya menyisihkan sedikit saja untuk dirinya sendiri. Ia bekerja tanpa henti; dan setiap pagi berbelanja ke pasar untuk membeli apa yang dirasa penting untuk majikannya. Ketika ada waktu luang, yang pertama dipikirkannya adalah Madame, ia bergegas pulang ke rumah dan berusaha untuk membuatnya gembira. Salah satu saat yang paling membahagiakannya adalah saat Madame begitu senang atas hasil tata-rambutnya; Pierre menempatkan bunga-bunga bagus dan langka, yang ia beli sendiri, pada hasil karyanya itu. Pierre juga mendorong Madame untuk mengundang teman-temannya dalam pesta kecil-kecilan di rumah pada sore hari; kemudian Pierre sendiri yang mengantarkan undangan tersebut. Dan saat pesta berlangsung, Pierre mengenakan busana terbaiknya; tak lupa juga kejutan bagi sang nyonya, es krim dan kue-kue.[21]

Demikianlah Pierre meringankan beban Madame; dengan cinta dan kasih sayangnya, ia turut ambil bagian dalam penderitaan sang majikan. Tujuannya saat itu hanyalah melayani majikannya. Ia sangat puas dan bahagia dengan keadaannya meskipun saat itu New York dipenuhi banyak orang bebas berkulit hitam, sementara ia sendiri masih berstatus budak. Misalnya pada 5 Juli 1800, saat orang-orang negro di New York merayakan hari pembebasan mereka dari perbudakan, mereka mendatangi Pierre dan menawarkan peran penting dalam prosesi tersebut. Ia mengucapkan terima kasih dengan kebiasaannya yang sopan, mengucapkan selamat atas peristiwa besar tersebut, tetapi menolak kehormatan yang mereka tawarkan kepadanya sambil berkata,

"Saya tidak berhutang kemerdekaan saya kepada negara ini, tetapi kepada nyonya saya." [22]

Pierre Toussaint tetap melakukan semua pengabdiannya yang luar biasa tersebut sampai akhir hidup majikannya. Nampak bahwa ia sengaja menjaga martabat Madame dengan memilih untuk tetap menjadi budak sang majikan, padahal ia mempunyai kesempatan dan hak untuk bebas dari statusnya. Hampir tidak ada orang yang menyadari bahwa saat itu Pierre yang menopang perekonomian rumah tangga Madame.

Bebas !

Seorang pria dari Santo Domingo[2], Tuan Nicolas, yang meninggalkan pulau tersebut bersamaan dengan keluarga Berard, menghidupkan kembali harapan Madame. Ia merupakan seorang musikus terlatih; selama kurun waktu tertentu ia tampil dalam orkestra di teater, juga memberikan pelajaran musik. Ia adalah seorang teman baik Madame Bérard, dan kemudian mereka menikah. Namun berbagai tekanan yang dialami Madame selama hidupnya di New York telah menggerogoti fisiknya yang lemah. Tuan Nicolas adalah seorang suami yang baik dan lembut; ia berusaha sekuat tenaga untuk meringankan sakit istrinya, dan melakukan segala cara untuk membuat istrinya nyaman.[23]

Namun segala usaha yang dilakukan oleh suami baru Madame, juga Pierre, tidak banyak menolongnya. Kesehatan Madame Nicolas terus merosot drastis; sampai ia kemudian hanya dapat berbaring di tempat tidur saja. Suatu hari ia berkata kepada Pierre, "Toussaint yang terkasih, Saya berterima kasih atas semua yang telah engkau lakukan untuk saya; Saya tak dapat membalasnya, tapi Tuhan yang akan membalasmu." Ia menjawab majikannya,

"Oh Madame.. Saya hanya melakukan tugas saya." [24]

"Engkau telah melakukan lebih banyak," kata Madame; "engkau telah menjadi segalanya bagi saya, Tidak ada imbalan yang pantas di dunia ini atas pelayanan yang demikian."

Beberapa hari sebelum kematiannya, Madame membuat surat yang menyatakan pembebasan Pierre dari statusnya sebagai budak. Surat tersebut, tertanggal 2 Juli 1807, sebagaimana disyaratkan oleh pemerintah Perancis, membebaskan Pierre Toussaint sepenuhnya dari segala kewajibannya sebagai budak; dan mulai saat tersebut ia adalah 'orang bebas'. Madame kemudian meminta Pierre untuk membawa kepadanya seorang pastor; ia kemudian melakukan pengakuan dosa, menerima komuni untuk terakhir kalinya, dan meninggal di usianya yang ke-32.[24][16]

Lukisan Nyonya Pierre Toussaint
Lukisan Juliette Noel (dibuat tahun 1825)

Berkeluarga

Setelah kematian Madame Nicolas, Pierre Toussaint tetap tinggal bersama suaminya. Tuan Nicolas tinggal di lantai pertama rumah tersebut, dengan seorang pembantu yang adalah juru masaknya; dan Pierre tetap pergi ke pasar untuk untuk berbelanja baginya, juga melayaninya dalam berbagai hal. Mereka tinggal bersama-sama selama empat tahun di rumah tersebut, di Reade Street, sebelum pada akhirnya Tuan Nicolas pindah ke Amerika Selatan.[15]

Tidak lama kemudian Pierre membayar uang tebusan agar adiknya, Rosalie, bebas dari status sebagai budak; dan adiknya segera menikah. Sekarang Pierre punya waktu untuk memikirkan masa depannya sendiri. Dan setelah sekian lama menjalin hubungan dengan Juliette Noel, akhirnya Pierre menikahinya pada tahun 1811. Saat itu Pierre berumur 45 tahun, sementara istrinya 20 tahun lebih muda darinya. Mereka, kedua keluarga baru tersebut, tetap tinggal serumah dengan Tuan Nicolas, menempati dua ruangan di lantai ketiga rumah yang sama.[25]

Mempunyai anak

Rosalie melahirkan seorang anak perempuan pada 1815; namun ia meninggal beberapa bulan kemudian karena kesehatannya yang buruk, juga karena tekanan batin akibat suami yang menganggur dan kemudian meninggalkannya. Bayi tersebut diangkat anak oleh pamannya, Pierre, dan diberi nama Euphemia.[26] Euphemia adalah anak yang lemah dan sakit-sakitan, dokternya tidak dapat memberikan harapan bahwa anak tersebut akan hidup lama. Tetapi Pierre, yang selalu optimis, sepenuhnya percaya bahwa kehidupan anak tersebut dianugerahkan kepada ia dan istrinya. Ketekunan Pierre dan Juliette begitu luar biasa; sulit dipercaya bahwa ayah dan ibu tiri melakukan pengorbanan yang demikian. Setiap hari Pierre menggendong anak lemah tersebut dalam pelukannya; dan membawanya ke taman, ke setiap tempat sejuk dan menyenangkan, dan berharap udara segar dapat menguatkan paru-paru dan tubuhnya.[27]

Tahun pertama kehidupan Euphemia adalah suatu perjuangan terus-menerus untuk bertahan hidup; tapi Tuhan memberkati upaya tak kenal lelah kedua orang tua tiri tersebut, dan akhirnya sang anak mulai tumbuh dan berkembang.

Masa-masa indah

Pierre Toussaint sekarang benar-benar sejahtera dalam segala hal; ia membeli rumah baru yang menyenangkan dan luas di Franklin Street.[28] Istrinya, Juliette, adalah seorang wanita yang penuh keceriaan. Mereka memiliki kekayaan materi yang cukup untuk kebutuhan mereka sendiri, dan untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Kehadiran Euphemia menambah warna dan kebahagiaan dalam kehidupan mereka sekeluarga.

Euphemia mendapat pendidikan moral dan spiritual dari ayah tirinya, yang adalah pamannya, sebagai hal-hal yang utama. Sang paman berusaha untuk membuatnya berbakti sepenuhnya kepada Tuhan dan sesamanya. Perilakunya lemah lembut dan menyenangkan, dibalut oleh sikap hormat terhadap orang lain dan ketaatan, --yang tentu ditirunya dari sang paman.[29] Euphemia juga menjadi asisten ibu rumah tangga (Juliette) yang baik; tidak satu pun pekerjaan rumah tangga yang diabaikannya.

Ia memperoleh pelajaran membaca, menulis, dan berbagai kegiatan sesuai usianya. Oleh pamannya, ia diberi tugas untuk menulis dua surat setiap minggu; satu dalam bahasa Inggris dan satu dalam bahasa Perancis. Tak ada satu situasi pun yang lolos dari rasa ingin tahu yang penuh sukacita dari reporter cilik yang berbakat itu.[16] Euphemia juga senang menari dan menyanyi; sehingga Pierre mengikutkannya dalam kursus musik dan membelikannya piano.

Dari kesaksian orang-orang yang mengenal Pierre, cinta dan pengabdian Pierre kepada keponakannya terlihat nyata sekali. Ia akan memeluk Euphemia dengan lemah lembut sambil berkata, "Euphemia-ku"; seolah-olah Tuhan mempercayakan anak tersebut sepenuhnya dalam perlindungan dan asuhannya. Sang anak nampak juga memahami sikap pamannya dengan 'menempel' padanya seperti ranting pada pokok(pohon)nya.[29]

Pasangan Pierre Toussaint dan Juliette sungguh hidup dalam cinta kasih kepada sesama; bukan sebagai 'kewajiban agama', tetapi suatu perbuatan spontan yang keluar dari dalam hati dan dilakukan dengan sukacita. Satu contoh yang menunjukkan kebajikan mereka dalam 'ketersembunyian', dan kepekaan terhadap perasaan orang lain, adalah kepada seorang pria Perancis kaya raya dimana Toussaint mengenalnya dengan baik selama itu. Pria 'kulit putih' tersebut, yang kemudian mendadak jatuh miskin, berada dalam keadaan yang menderita dan sakit. Selama beberapa bulan Toussaint dan Juliette mengirimkan makan malam setiap hari dengan suatu cara dimana pria malang tersebut tidak mengetahui siapa yang memberikannya. Kata Toussaint,

"Bila ia mengetahuinya, mungkin ia takkan menyukainya; mungkin ia merasa gengsi."

"Ya," kata Juliette, "ketika Toussaint terkadang dipanggil untuk menjenguknya, ia akan berkata, 'Oh.. Saya sungguh dikenal! Saya mempunyai teman-teman baik; setiap hari seseorang mengirim saya makan malam yang menyenangkan, dimasak oleh seorang koki Perancis'; dan kemudian ia mungkin akan menyebutkan beragam makanan tersebut. Suami saya yang baik setelah pulang ke rumah menceritakannya kepada saya, dan kami akan tertawa senang." [30]

Lukisan Euphemia Toussaint
Lukisan Euphemia (dibuat tahun 1825)

Awal pemurnian

Namun Tuhan berkehendak lain; sepertinya Ia tidak menginginkan orang-orang pilihannya 'terikat' pada satu makhluk pun, selain pada-Nya. Kesehatan Euphemia merosot drastis dalam waktu beberapa bulan sebelum akhir hidupnya. Pierre dan Juliette siang malam berjuang untuk melayani dan menghibur anak tiri mereka; teman-teman bergantian mengunjungi mereka dan memberikan hadiah-hadiah kecil untuk menghibur Euphemia. Adalah satu penghiburan bagi Pierre bahwa kondisi Euphemia menurun drastis secara bertahap namun tanpa perjuangan yang menyakitkan.

Akhirnya anak yang sangat dikasihi itu berpulang ke Penciptanya pada tahun 1829, pada umurnya yang ke-14. Untuk waktu yang lama Toussaint hanya bisa mengatakan kepada orang-orang yang datang untuk menghiburnya, "Euphemia-ku yang malang telah pergi"; dan sambil mengucapkan kata-kata tersebut, ia menutupi wajahnya dengan tangannya. Ia menjadi kurus, menghindari pergaulan, dan menolak untuk dihibur.[31]

Tapi seorang Pierre Toussaint terlalu saleh dan terlalu rasional untuk menikmati penderitaan yang berlebihan itu. Ia segera membiarkan dirinya menemukan penghiburan suci dari 'tempat tinggi'; ia menemukannya dalam doa-doanya. Pierre berjuang keras untuk menundukkan dirinya pada masa sulit tersebut sambil tetap melakukan tugasnya sehari-hari.

Kebajikan dan karya amal

Sepertinya pengaruh dari kematian Euphemia, dan penderitaan mendalam yang diakibatkannya, memperbesar hasrat Toussaint untuk lebih banyak lagi mempedulikan kepentingan orang-orang lain. Ia sering menggunakan pengaruhnya dalam berbagai bentuk penggalangan dana bagi mereka yang membutuhkan. Untuk kegiatan-kegiatan amal, Toussaint akan berkeliling mengunjungi teman-temannya yang kaya (yang sebenarnya adalah klien-kliennya, bukan teman-teman satu ras-nya) yang menaruh kepercayaan besar kepadanya; dengan cara demikian ia dapat mengumpulkan sejumlah dana yang cukup besar bagi para janda dan yatim piatu.

Kebanggaan sebagai seorang kulit hitam diwujudkannya dengan ketekunannya membantu Oblate Sisters of Providence, suatu ordo religius yang saat itu beranggotakan para wanita keturunan Afrika, yang berkarya bagi pendidikan anak-anak keturunan Afrika. Selain itu Toussaint juga menjadi donatur sekolah Katolik pertama di kota New York bagi anak-anak kulit hitam, yaitu St. Vincentius a Paulo di Canal Street, dan membantu penggalangan dana untuk pembangunan Katedral St. Patrick 'Lama'[3] (di halaman pemakaman katedral tersebut kelak ia dimakamkan setelah meninggal) di Mulberry Street.[4]

Pierre Toussaint juga membantu penggalangan dana Panti Asuhan Yatim Piatu St. Patrick dan selama kurang-lebih 40 tahun menjadi donatur tetap Sisters of Charity, ordo religius yang didirikan oleh Santa Elizabeth Ann Seton[32], sebagai pengelola panti.[4] Para suster dari ordo religius tersebut berkarya di bidang pendidikan dan merupakan pendiri sekolah Katolik gratis pertama di Amerika Serikat. Sebagai catatan; Toussaint tidak pernah absen mengikuti misa harian setiap jam 6 pagi di Gereja St. Peter (gereja paroki-nya) di Barclay Street selama 60 tahun tinggal di New York, sampai ia tidak sanggup berdiri lagi karena penyakit menjelang kematiannya.[33][34] Dan di gereja yang sama itulah Santa Elizabeth Ann Seton konvert menjadi Katolik pada 14 Maret 1805.[32]

Memoar Pierre Toussaint
Halaman Judul Memoar Pierre Toussaint yang diterbitkan pada tahun 1854

Keutamaan Toussaint tidak hanya dalam hal penggalangan materi saja; namun ia juga berbuat kebajikan-kebajikan seperti memberikan konseling bagi mereka yang lemah, keberanian bagi yang mengalami ketakutan, dan terlebih lagi, menghibur mereka yang sakit dan berduka. Salah satu temannya mengatakan bahwa,

Belas kasihnya bagi mereka yang menderita nampak seperti bagian dari karakter Sang Juru Selamat yang lembut ketika di depan makam Lazarus [35]

Ketika mengunjungi temannya yang berduka, Toussaint hanya sedikit berbicara; perasaannya terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kata-kata. Sekali waktu ia mengatakan, "Saya sudah bertemu dengan Nyonya X yang malang itu." (yang saat itu sedang dalam dukacita yang dalam) "Dan apa yang engkau katakan kepadanya?", tanya seorang teman. "Tidak ada," kata Toussaint,

"Saya hanya memegang tangannya dan menangis bersamanya, lalu saya pergi; tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan." [35]

Pelayanan dan pengabdian yang luar biasa juga ditunjukkan Pierre Toussaint bagi penderita sakit. Saat wabah penyakit kuning melanda kota New York, ia menemukan seorang pria kulit putih yang menderita sakit yang ditinggal sendirian; ia membawa orang asing tak dikenalnya itu dan merawatnya sampai pulih di rumahnya.[36] Selain itu, menurut saksi mata, Toussaint juga dengan berani menerobos 'barikade' di daerah karantina untuk memasuki rumah tak terawat dimana seorang wanita miskin terbaring sakit; ia melaksanakan 'tugas' tak ternilai layaknya seorang perawat tanpa rasa takut tertular wabah penyakit tersebut.[22]

Pada waktu lain ia menemukan seorang pastor yang malang, yang menderita sakit tifus, di suatu kamar loteng dan dalam keputusasaan. Toussaint mengumumkan temuannya itu sehingga keberadaan sang pastor diketahui, menyediakan anggur (minuman) dan sejumlah uang; dan akhirnya memindahkan sang pastor ke rumahnya sendiri, dimana ia dan Juliette mendampinginya sampai sembuh.[22]

Suatu ketika seorang teman bertanya kepadanya, "Toussaint, engkau lebih kaya daripada semua orang yang saya kenal; engkau memiliki lebih banyak dibanding yang kau inginkan, mengapa tidak berhenti bekerja saja?" Jawab Toussaint, "Nyonya, saya memiliki cukup untuk diri saya sendiri. Tetapi bila saya berhenti bekerja, tidak cukup untuk orang-orang lain." [37]

Penghabisan

Ditinggal istri

Pierre dan Juliette menikmati kesehatan yang sangat baik selama itu, dan Pierre sebelumnya tidak pernah merasa bahwa ia yang akan bertahan lebih lama di dunia ini. Namun kemudian kesehatan sang istri mulai terganggu dan menunjukkan gejala-gejala mengkhawatirkan. Kata Pierre, "Ia jauh lebih muda dari diriku, --ia kuat, sangat kuat. Ia hanya gelisah, keadaannya akan segera membaik." Namun penyakit Juliette bertambah parah; dan kemudian meninggal pada tahun 1851 saat Pierre berumur 85 tahun, 2 tahun sebelum kematian sang suami.[16]

Kematian Juliette merupakan pukulan yang luar biasa bagi suaminya. Pierre tidak pernah pulih dari kejutan tersebut. Nampak bahwa ia sulit menerima bahwa istrinya harus pergi terlebih dahulu; namun ia terus berkata, "Ini kehendak Tuhan." Sepertinya Pierre berjuang keras untuk menerima kenyataan tersebut sambil menyadari bahwa semua adalah kehendak-Nya.[38] Demikianlah orang-orang pilihan-Nya mengalami pemurnian sepenuhnya, bebas dari segala keterikatan di dunia, sebelum bersatu dengan-Nya.

Sesaat setelah kematian Juliette, kesehatan Toussaint menjadi terganggu. Orang kuat tersebut menjadi lemah; langkahnya menjadi lambat dan lesu.[38] Namun ia tetap bertahan, setiap hari ia mengunjungi teman-teman tercinta yang bersimpati atas kehilangannya; dan ia tetap melanjutkan karya-karyanya yang murah hati. Pierre juga tetap setia mengikuti misa harian setiap pagi sampai beberapa bulan menjelang kematiannya.[39][34] Pada akhirnya kondisi Pierre yang sedemikian lemah membuatnya tidak dapat pergi ke gereja lagi, dan hal ini membuatnya cukup tersiksa. Seorang temannya yang menyadari keadaan tersebut mengatakan, "Maukah saya panggilkan seorang pastor untuk datang dan menemuimu? Mungkin kamu ingin mengaku dosa kepadanya." Setelah terdiam cukup lama Pierre menjawab,

"Seorang pastor hanyalah seorang laki-laki (manusia); saat saya sedang mengaku dosa, saya mengakukannya kepada Tuhan. Saat saya berdiri (selesai), saya melihat seorang laki-laki di hadapanku."[40]

Kesaksian iman

Metode sederhana yang ia gunakan untuk mengungkapkan keyakinannya sangat mencolok dan edukatif. Pierre Toussaint 'diterangi' dalam iman yang diyakininya; bukan dari bacaan, tetapi dari penghayatan dan persepsi-nya yang cepat akan kebenaran itu sendiri. Ia menunjukkan penolakan sama sekali akan segala kebanggaan yang sia-sia; satu contoh terlihat dari surat yang ditulis oleh seorang wanita yang mengenal Pierre sejak kecil, berikut ini sebagian kutipannya:

"Pierre bercerita mengenai seorang wanita miskin yang ia kenal, yang kemudian secara mendadak menjadi kaya raya. Wanita tersebut mendesak Pierre untuk menengoknya dan mengunjungi rumahnya; dan Pierre terkejut saat melihat bukti-bukti yang menunjukkan kekayaannya. Sang wanita terus menerus berbicara mengenai rumahnya, perabot dan perlengkapan-nya, perhiasannya, baju-bajunya ... Pierre hanya mendengarkan semuanya tanpa komentar. 'Yah,' kata wanita tersebut, 'bagaimana apa Anda menyukai kemajuan saya?' Jawabnya, 'Oh Nyonya! Apakah semuanya ini membuat Anda bahagia?' Wanita tersebut tidak menjawab; ia tidak bahagia, wanita yang malang! Ia miskin di hadapan Allah; ia tidak pernah tahu nikmatnya membuat orang lain bahagia!"[41]

Beberapa hari menjelang kematian Pierre, seorang teman yang mengunjunginya bersaksi bahwa saat itu ia sedikit bangkit dari kursinya dan sambil menengadah ke atas berkata, "Tuhan besertaku."[42] Ketika ditanya apakah ia menginginkan sesuatu, ia menjawab sambil tersenyum, "Tak ada di dunia ini."[43]

Beristirahat dalam damai

Akhirnya Pierre Toussaint pergi untuk beristirahat dalam damai-Nya pada hari Kamis jam 12, tanggal 30 Juni 1853 pada usianya yang ke-87. Ia meninggal di rumahnya, tanpa kesakitan ataupun menderita, dan tanpa suatu perubahan apapun dari kelemahan fisiknya yang ekstrim.[16][42][44]


(...bersambung...)


Referensi dan Pranala luar

Catatan