Lompat ke isi

Kelir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kelir di dalam istilah pedalangan lebih menunjuk kepada layar tempat memainkan boneka wayang. Kelir biasanya terbuat dari kain berwarna putih benbentuk empat persegi panjang dengan panjang 3 hingga 12 meter dan lebar 2 hingga 3 meter. Kelir ini terbuat dari bahan kain sejenis catoon bukan nilon atau orang jawa sering menyebutnya mekao. Bahan ini dipilih karena tidak terlalu licin sehingga jika wayang ditempelkan ke kelir tidak akan mudah goyang ke kanan dan ke kiri, dalang bisa mengendalikan gerak wayang dengan mudah.

Di semua sisi pinggirnya kelir di balut dengan kain warna hitam, dengan lekukan tertentu. Sisi atas disebut sebagai pelangitan sedangkan sisi bawah disebut palemahan. Disebut pelangitan karena letaknya diatas dan difungsikan sebagai langitnya wayang. Bila suatu tokoh boneka wayang dalam posisi terbang, maka akan sampai menyentuh kelir bagian atas ini. Sedangkan palemahan berasal dari kata "lemah" yang berarti tanah sehingga dalam pakeliran lebih difungsikan sebagai tempat berpijaknya wayang. Jika tancepan wayang diatas garis palemahan, wayang tersebut akan terlihat mengambang.

Sisi kanan kiri kelir dijahit berlubang untuk tempat meletakkan sligi, yakni semacam tiang kecil yang terbuat dari bambu atau kayu untuk membentangkan kelir di bagaian kanan dan kiri yang ditancapkan pada batang pisang di bagian bawahnya sedangkan bagian atas dihubungkan dengan gawangan kelir. Disi atas dan bawah kelir juga di jahitkan besi benbentuk bulatan atau segitiga kecil yang berfungsi untuk mengencangkan kelir dengan tali di bagian atas yang bernama pluntur dan dengan placak atau placek di bagian bawah.

Informasi tentang pertunjukan wayang menggunakan kelir sudah ada sejak abad XII, seperti yang termuat dalam kitab Wrettasancaya yang dilukiskan dengan kata-kata "Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis". Tulisan tersebut diterjemahkan oleh Kern "Semua pepohonan seperti wayang dengan mega-mega yang mengawang menutupi seperti kelir atau layar. (Hazeu 1978:42). Berita lain adanya kelir juga termuat dalam Kitab Tantu Panggelaran, bahwa pertunjukan wayang sudah menggunakan keli. Hal itu diceritakan turunnya para dewa ke mayapada yakni, Batara Icwara (Syiwa), Batara Brahma dan Batara Wisnu mendalang dengan menggunakan peralatan pangung dan kelir atau layar. (1979: 42-44).

Pada perkembangannya bentuk kelir ini tidak hanya benbentuk empat persegi panjang, tetapi untuk kebutuhan tertentu kelir ada yang dibuat dengan bentuk setengah lingkaran sebagaimana separoh bola dunia dengan bergambarkan pulau-pulau di sisi bagian atas. Kelir ini sangat berkaitan erat dengan gawangan kelir, gedebog, tapakdoro, kotak wayang, keprak