Lompat ke isi

Suhardiman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 24 Februari 2015 14.39 oleh Aldnonymous (bicara | kontrib) (fix)

Prof Dr. Suhardiman, SE (Lahir di Gawok, Solo, 16 Desember 1924, umur 90 tahun) adalah tokoh politik yang telah melewati 5 fase sejarah Indonesia: zaman penjajahan Belanda, Zaman penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi. Tokoh yang sering disebut dukun politik[1] ini merupakan satu-satunya pendiri partai Golkar yang masih hidup. Dia turut mewarnai perjalanan politik Indonesia bersama dengan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), yang awalnya dia dirikan untuk membendung penyebaran faham komunisme oleh PKI. Dalam perjalanannya SOKSI menjadi salah satu ormas yang melahirkan Golkar dan menjadi tempat pengkaderan para pemimpin bangsa. Komentar dan pendapat Prof. Dr. Suhardiman kerap diminta sejumlah media terutama mengenai suksesi kepemimpinan di negeri ini karena intuisi politiknya sangat kuat dalam memprediksi calon-calon pemimpin masa depan[2].

Pendidikan dan Karier

Suhardiman lahir di Gawok, Solo pada tanggal 16 Desember tahun 1924 sebagai bungsu dari 7 bersaudara. Dia menamatkan pendidikan SD di Solo, SGL Blitar dan SMA di Jakarta. Ayahnya yang menjabat sebagai kepala desa menginginkan Suhardiman remaja menjadi sekretaris atau carik desa. Secara halus dia menolak permintaan itu karena minatnya yang tinggi akan ilmu pengetahuan. Dia meniti karier di bidang militer sambil terus menuntut ilmu hingga memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari FEUI Jakarta (1962) dan gelar Doktor Ilmu Administrasi Niaga dari Universitas 17 Agustus, Jakarta (1971), dengan disertasi Pembaharuan Struktur Sosial sebagai Prasyarat Pembangunan Niaga Nasional. Pendidikan militer yang pernah dia ikuti adalah Akademi Militer Yogyakarta (tamat tahun 1948) ), Seskoad (1969) dan Sekolah Infantri Fort Benning, AS (1971).

Suhardiman Pensiun dari Militer dengan pangkat Letnan Jenderal. Dia pernah bertugas sebagai sebagai komandan Subkomando Distrik Militer Yogya Selatan sampai dia menjabat Kaset KSAP dan Dosen SSKAD. Dalam karier militernya dia terlibat dalam perang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah dan mempertahankan keutuhan negara dari gerakan-gerakan makar. Selain berkiprah di dunia militer, Suhardiman juga meniti karier di pemerintahan dengan menjabat sebagai anggota MPR/DPR RI (1983-1988) dan wakil ketua DPA RI ((1993 – 1998). Dia juga pernah menjabat Dirut PN Jaya Bhakti, Dirut PT Berdikari, Direktur PT Evergreen Hotel dan Komisaris Utama PT Bank Duta Ekonomi. Di bidang olahraga dia lama memimpin Perguruan Bela Diri Tangan Kosong Indonesia sebagai Ketua Umum.

Kiprah di Dunia Politik

Keterlibatan aktif Suhardiman dalam dunia politik dimulai dengan pendirian SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), sebuah organisasi massa yang menekankan pentingnya konsep kekaryaan. Gerakan kekaryaan tersebut digalakkan untuk membendung infiltrasi paham komunisme yang dikampanyekan secara gencar oleh PKI. Sejak kejatuhan PKI, SOKSI di bawah kepemimpinan Suhardiman memposisikan diri sebagai salah satu wadah pengkaderan calon-calon pemimpin. Para kader Soksi telah menduduki sejumlah jabatan penting di pemerintahan dan juga di partai politik di negeri ini. SOKSI selalu menekankan konsep karywanisme yakni manusia sebagai insan karya bagi setiap kadernya. Maka semua calon pemimpin berasal dari SOKSI telah dipersiapkan untuk selalu siap berkarya bagi nusa dan bangsa. Selain itu Suhardiman dan SOKSI selalu memposisikan diri sebagai mitra kritis bagi pemerintah.

SOKSI kemudian menjadi salah satu ormas yang membidangi kelahiran Golkar dan Suhardiman menjadi anggota Dewan Pembina Golkar. Kendati secara formal dia tidak pernah menduduki posisi tertinggi di Golkar, ketokohan Suhardiman sangat diperhitungkan para petinggi partai beringin ini dan mereka kerap meminta restunya sebelum mengambil sebuah keputusan vital. Bahkan menjelang Pilpres 2014 yang lalu calon Wakil Presiden, Jusuf Kalla, sowan ke rumah Suhardiman di jalan Kramat Batu Nomor 1, Cipete, Jakarta Selatan untuk mendapatkan dukungan moral dari sesepuh Golkar tersebut[3].

Pemikiran

Di masa mudanya, Suhardiman sangat aktif menyumbangkan pemikiran dalam karya tulis, seminar maupun melalui opini dalam sejumlah media. Pemikiran-pemikirannya kemudian dihimpun dalam sebuah buku yang berjudul “Pendidikan Politik Satu Abad” yang disunting oleh para kadernya (Valentino Barus, dkk). Buku tersebut mengetengahkan pembentukan kekuatan bangsa sebagai tujuan dari pemba-ngunan politik, yang oleh Suhardiman disebut sebagai Trisula Politik, yakni: Power, Hukum dan Demokrasi. Untuk tujuan itu dia mendorong adanya upaya modernisasi, rasionalisasi dan dinamisasi yang diterapkan dalam berbagai kelembagaan politik, pendidikan politik dan pimpinan politik sebagai prasarana dalam pembangunan politik. Prasarana kelembagaan ini tidak bisa diartikan secara sempit hanya sebagai sosok fisik organisatoris, melainkan harus diartikan secara luas menyangkut sosok sosio-kulturalnya[4].

Reformasi yang berlangsung sejak 1988, dalam pengamatan Prof Dr Suhardiman, SE, belum menampakkan jati diri dan arah tujuan Indonesia masa depan. Sistim dan struktur politik masih harus ditata supaya lebih jelas dan terarah. Dia melihat perlunya reformasi jilid dua untuk lebih mempertegas jati diri dan tujuan masa depan Indonesia. Dia mengkritisi terancamnya jati diri Indonesia saat ini. Reformasi yang berlangsung sejak 1988, dalam pengamatan Prof. Dr Suhardiman, SE, belum menampakkan jati diri dan arah tujuan Indonesia masa depan. Sistem dan struktur politik masih harus ditata supaya lebih jelas dan terarah. Dia melihat perlunya reformasi jilid dua untuk lebih mempertegas jati diri dan tujuan masa depan Indonesia[5].

Dalam pemikiran politiknya, Prof. Suhardiman sangat yakin dengan teori keajegan dan ramalan Jawa Kuno yang menyebutkan bahwa Sejarah akan berulang kembali (historia se repete). Setiap 7 abad bangsa di Nusantara akan menunjukkan kejayaannya. Pada abad ke-7 nenek moyang kita telah mengalami masa kejayaan di bawah pemerintahan kerajaan Sriwijawa. Tujuh abad kemudian, yaitu abad ke-14, kita temukan lagi masa kejayaan yang ke-2, yaitu Majapahit. Saat ini kita sedang menuju kejayaan ke-3 pada abad ke-21 ini, 7 abad setelah Majapahit. Puncak masa kejayaan itu diperkirakan terjadi pada tahun 2045 atau 1 abad (100 tahun) setelah kemerdekaan, 1945[6].

Gelar dan Penghargaan

Atas berbagai pengabdiannya, Suhardiman dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra dan lebih 17 bintang penghargaan lainnya. Universitas Muhammadi-yah di Medan mengangkatnya sebagai guru besar. Masyarakat Simalungun memberinya marga Saragih saat dia menjabat anggota DPR mewakili Sumatera Utara hasil Pemilu 1982[7].

Referensi

  1. ^ "Wawancara Prof. Dr. Suhardiman", Tempo edisi 44/02 - 02/Jan/1998, dimuat dalam http://tempo.co.id/ang/min/02/44/utama2.htm
  2. ^ Lih. misalnya, "Pendiri Golkar Dukung Jokowi-JK", dalam http://nasional.kompas.com/read/2014/05/26/1516176/Pendiri.Golkar.Dukung.Jokowi-JK
  3. ^ "Sowan ke Suhardiman, JK Dapat Dukungan untuk Pilpres", dalam http://news.detik.com/read/2014/05/26/150802/2592538/1562/sowan-ke-suhardiman-jk-dapat-dukungan-untuk-pilpres?hd772204btr
  4. ^ Barus Valentino, dkk (edit.), Pendidikan Politik Satu Abad. Jakarta: Lestari Budaya, 1996, hlm.55
  5. ^ Suasta Putu, Menegakkan Demokrasi, Mengawal Perubahan. Jakarta: Lestari Kiranatama, 2012, hlm.xiv
  6. ^ Barus Valentino, Jokowi Satrio Piningit Titisan Soekarno. Jakarta: Lestari Kirnatama, 2014, hlm. iv
  7. ^ "Futurolog Politik Indonesia", dalam http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2234-futurolog-politik-indonesia