Lompat ke isi

Hatta Rajasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 3 November 2004 13.42 oleh 212.123.21.182 (bicara)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Ir. Hatta Rajasa


Penganut Pluralisme Politik

Ia pengusaha dan CEO sukses yang kemudian berkonsentrasi jadi politisi. Semua perusahaannya dijual setelah masuk partai. Penganut pluralisme dalam politik ini berobsesi menjadi politisi negarawan yang mendahulukan kepentingan bangsa. Terlatih bekerja keras, jujur, mandiri dan bekerjasama sejak kecil. Sekjen Partai Amanat Nasional dan Menristek Kabinet Gotong-Royong ini dipercaya kembali memimpin Departemen Perhubungan dalam Kabinet Indonesia Bersatu sebagai Menteri Perhubungan.


Pada saat menjabat Menristek, ia antara lain berhasil mengangkat nama bangsa, manakala terpilih menjadi Presiden Ke-46 Konfrensi IAEA (The International Atomic Energy Agency).

Ada tiga persoalan besar yang menjadi perhatian pria berambut perak kelahiran Palembang, 18 Desember 1953 ini, melihat kondisi bangsa dalam beberapa tahun terakhir ini. Pertama, meningkatnya secara tajam kemiskinan di Indonesia dari 17 juta menjadi 40 juta jiwa. Kemiskinan ini, sebagai akibat kemiskinan struktural maupun kemiskinan karena gelombang resesi.

Kemiskinan ini telah mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang kesehatan. Nutrisinya sangat rendah, tentu akan menghasilkan generasi lemah. Berakibat kepada sumber daya manusia yang tidak tangguh pada generasi berikutnya. Ini sungguh memprihatinkan. Maka, ia sangat serius tentang hal ini.

Kedua, menurunnya semangat toleransi dan terlalu mengedepankan sikap-sikap keakuan. Apakah itu keakuan dalam konteks hukum, konteks agama, atau dalam konteks kelompok. Semangat kebersamaan jauh menurun, yang berakibat terdesaknya kelompok masyarakat miskin yang tidak berdaya.

Ketiga, hal yang paling klasik, yakni masih ganasnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga, kita membutuhkan sebuah resep. Resep yang mampu membangkitkan kembali (revitalisasi) semangat kebersamaan dan nasionalime bangsa ini.

Ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. “Tetapi jika Tuhan memberikan kesempatan untuk meminta apa saja dan pasti dikabulkan-Nya, saya pasti tidak akan meminta supaya saya berkuasa, tetapi saya akan meminta agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, terbebas dari kemiskinan dan kebodohan. Itu yang pasti saya minta. Hanya satu itu saja,” kata Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kabinet Gotong Royong ini dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, di ruang tamu kantornya, Rabu 04/12/02.

Anak kedua dari 12 bersaudara lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Perminyakan ini, telah terlatih untuk bekerja keras, jujur, mandiri dan bekerjasama sejak kecil. Ia berasal dari keluarga pamong. Ayahnya seorang pamong. Kakeknya juga pamong di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Ketika masih lajang, ayahnya seorang tentara yang berjuang di tanah Jawa. Namaun, sesudah menikah berhenti dari tentara, beralih jadi pegawai negeri sipil.

Sebagai anak yang berasal dari keluarga sederhana, ayahnya pegawai negeri yang bekerja keras dan jujur, ia telah terbiasa hidup apa adanya, jujur dan berdisiplin. Orang tuanya memang mendidiknya dengan disiplin yang tinggi.

Setelah ia tamat SD, ayahnya menjadi Asisten Wedana (Camat) di daerah Muarakuang. Di kecamatan itu belum ada SMP. Sehingga ia dititipkan kepada pamannya di Palembang. Jarak antara Palembang dengan kecamatan itu, kira-kira seratus kilometer. Tapi jika berangkat siang hari dari Palembang menggunakan motor baru akan sampai larut malam, karena jalan jelek sekali.

Di situ ia mulai mengenal arti sebuah kehidupan. Di situ juga perkembangan kemampuan emosionalnya banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Yakni setiap orang itu haruslah saling menolong, saling memberi dan mau berkorban bagi orang lain. Di situ ia sudah menyadari bahwa kesuksesan seseorang bukan semata-mata karena kemampuan dirinya sendiri, tapi 60% adalah karena kerjasama orang lain, jasa orang lain, terutama ibu-bapanya, keluarga, teman-teman kerabat. Juga berkat doa orang tua.

Pandangan ini, yakni semangat toleransi dan menghargai orang lain, sangat dijiwainya sejak kecil. Sampai saat ini, pandangan ini tetap mempengaruhi hidupnya. Karena, sejak tamat SD, ia sudah harus hidup dengan keluarga orang lain. Itu berarti ia harus belajar tahu diri sebagai orang yang dititipkan. Harus bekerja. Pagi-pagi ia harus bangun untuk melakukan tugas-tugas di rumah pamannya, antara lain mengisi bak mandi dengan pompa. Setengah enam ia sudah mengayuh sepeda ke sekolah.

Ia melakukan itu sampai tamat SMA di Palembang. Dari sejak tamat SD, ia sudah berpisah dengan orang tua, hanya bertemu sekali-sekali. Sampai ia menyelesaikan kuliah di ITB. Pada masa ini, sekolah dan berpisah dengan orang tua, dirasakannya sebagai periode pendewasaan intelektual. Aspek emosional dan rasionalnya dibentuk dalam dua periode itu, yakni ketika SMP-SMA di Sumatera Selatan dan ketika kuliah di ITB.

Ketika di ITB, ia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, sebagai Waka Himpunan Mahasiswa Tehnik Perminyakan ITB dan Senator Mahasiswa ITB. Selain itu, semasa kuliah, ia juga sempat menjadi aktivis Masjid Salman Bandung. Setamat dari ITB jurusan perminyakan, sebenarnya ia ingin menjadi dosen, tapi tidak kesampaian. Mungkin karena ketika mahasiswa, ia seorang aktifis dan suka memberontak terhadap pemerintah saat itu.

Ketika itu, sebenarnya ia diterima bekerja di beberapa tempat dengan gaji yang lebih besar. Tapi ia tolak. Ia lebih ingin mandiri dengan membuat perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan sesuai pendidikannya.

Lalu ia bersama teman-temannya merintis usaha itu sampai memiliki beberapa badan usaha yang berkerjasama dengan perusahaan asing dan Petamina. Sejak tahun 1982 sampai 2000 ia menjabat Presiden Direktur Arthindo. Sebelumnya, ia menjabat Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi, perusahaan pengeboran minyak. Tapi, begitu ia memutuskan bergabung dengan partai politik, semua kegiatan usaha itu dihentikan, semua dijual. Ia masuk Partai Amanat Nasional (PAN). Setelah masuk partai, benar-benar ia berhenti total dari usaha, tidak lagi memiliki usaha dan tak mau berusaha.

Ia benar-benar konsentrasi di satu bidang. “Karena itu sifat saya. Kalau saya berusaha, saya tidak mau bercampur dengan kegiatan lain. Begitu juga ketika masuk partai politik, saya konsentrasi dan juga tidak mau mencampur-baurkannya dengan usaha yang lain,” kata Sekretaris Jenderal DPP PAN ini.

Sebelum masuk PAN, ia tidak pernah berpolitik. Karena tidak ada kesempatan sesuai iklim politik pada zaman orba. Padahal ketika mahasiswa, ia menyenangi bidang tersebut. Sehingga ketika Amien Rais menggerakan reformasi, ia pun sudah mulai aktif. Saat itu, ia menjadi ketua I Alumni ITB cabang Jakarta. Di situ ia sudah mulai aktif ikut gerakan reformasi, sampai ketika PAN dideklerasikan 23 Agustus 1998, ia pun ikut bergabung.

Di PAN, pada mulanya ia menjabat Ketua Departemen Sumber Daya Alam dan Enerji. Kemudian, setelah kongres I, ia terpilih menjadi sekjen. Pada Pemilu 1999, ia pun terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari PAN, dari wilayah pemilihan Bandung. Di lembaga legislatif itu, ia terpilih menjadi ketua Fraksi Reformasi DPR.

Ketika di Senayan itu, ia benar-benar konsentrasi. Itu memang sudah sifatnya. Kiprahnya ketika permulaan masa reformasi tergolong sangat luar biasa. Pada masa transisi dari pemerintahan Habibie ke Gus Dur dan kemudian ke pemerintahan Megawati, ia sebagai ketua Fraksi Reformasi, berperan banyak dalam kancah perpolitikan nasional. Sehingga pada saat itu, wartawan DPR/MPR memilihnya sebagai salah satu dari 10 tokoh DPR terbaik.

Pada Pemilu 1999, ia adalah ketua Pemilu PAN. Ketika konggres PAN di Jokjakarta, ia sibuk menjadi ketua panitia pelaksana. Pada waktu itu, di PAN ada dua kubu yang saling bertarikan. Ia mengambil posisi berada di tengah saja. Sebab ia termasuk orang yang tidak menginginkan adanya perubahaan asas partai PAN.

Ia ingin PAN tetap berada di tengah, tidak terseret ke kanan atau ke kiri sesuai dengan platformnya, partai plural, lintas agama, dan lintas budaya. Maka, tak heran jika pada waktu itu, saat pemilihan formatur, ia mendapat suara terbanyak. Formatur dalam kongres itu, kemudian memilih Amien Rais tetap sebagai ketua umum dan ia menjadi Sekjen.

Sebelum kongres, nama DR. Faisal Basri (Sekjen PAN) dan AM. Fatwa disebut bersaing kuat untuk menduduki posisi Sekjen itu. Tetapi, ketika kongres digelar, muncul enam calon lagi, termasuk Hatta Rajasa. Pemilihan Sekjen PAN ini berlangsung ketat di Ballroom Hotel Sheraton Mustika dari pukul 16.00-21.30 WIB. Hatta Rajasa berhasil mengungguli tujuh saingannya dengan perolehan 555 suara. Di belakangnya AM. Fatwa 547 suara, Ir. Armin Aziz 424 suara, Prof. DR. M. Askin 386 suara, Faisal Basri 352 suara, Patrialis Akbar 330 suara, AR. Iskandar 288 suara, dan H. Suwardi 285 suara.

Kemenangannya tidak terlepas dari peran penting yang dimainkannya dalam kongres yang hampir deadlock karena pro-kontra perlunya PAN memasukkan kata iman dan taqwa dalam AD/ART. Beberapa DPW mengancam keluar dari PAN jika asas iman dan taqwa dicantumkan dalam AD/ART. Sebaliknya ancaman juga datang dari DPW lainnya, bila asas itu tidak dimasukkan ke dalam AD/ ART. Dalam situasi dilematis itu, ia berhasil menyelematkan kongres itu dari ancaman deadlock. Dengan mengambil posisi di tengah, ia melakukan loby. Ia pun menggagas sebuah pertemuan (loby) termasuk dengan Amien Rais, Sabtu sore 12 Februari 2000. Dari pertemuan itu lahir pemecahan yakni dibentuknya panitia ad- hoc beranggotakan pakar-pakar independen untuk memutuskan perlu tidaknya perubahan asas PAN.

Secara eksternal, ia pun mampu melakukan loby dan kerjasama dengan partai-partai lain. Bahkan belakangan, ia yang menggagas pertemuan antara sekjen-sekjen partai politik, untuk mempersiapkan pembahasan materi rancangan undang-undang. Pada pertemuan-pertemuan itu banyak permasalahan yang dapat diselesaikan.

Namun yang namanya partai poltik, secara intern ada saja gejolak dengan berbagai permasalahannya. Contohnya, ketika diadakannya konggres PAN di Bali, ada usaha-usaha untuk melengserkannya. Karena mungkin ia dinilai terlalu moderat, di tengah dan penganut pluralisme, serta berbagai macam alasan lainnya. Tetapi banyak pengurus PAN dari daerah tetap mendukungnya dengan kuat. Sehingga ia tetap sebagai Sekjen.

Dari situ, ia melihat bahwa PAN justeru besar apabila memang lebih moderat dan mempertahankan pluralisme. Pada kongres sebelumnya, ketika ia terpilih menjadi sekjen, ia yang mengusulkan Bara Hasibuan, nonmuslim, menjadi fungsionaris partai, yakni sebagai salah satu Wakil Sekjen. Maka ketika Bara Hasibuan bersama 15 fungsionaris PAN lainnya, kemudian mengundurkan diri tanpa sepengetahuannya, ia sangat kecewa.

Dalam partai, ia juga melihat prinsip “The right man on the right place” mutlak juga diperhatikan. Sehingga kadang-kadang orang memandangnya seperti berseberangan dengan kelompok yang lain yang tidak menginginkan pluralisme. Sementara, ia sendiri menganggapnya biasa-biasa saja. Sebab ia bekerja sesuai dengan asas partai yaitu sebagai partai plural.

Pada permulaan reformasi, sebagai masa transisi, anggota-anggota dewan terpilih dengan sistem Pemilu yang baru. Mereka lebih independen dan tidak dapat di-recall oleh partainya sendiri. Pada kondisi itu, saat menjadi anggota DPR, ia merasa teruji untuk mengartikulasikan hak individunya sebagai wakil rakyat tidak tergantung dengan fraksi dan partainya semata.

Ia mampu menempatkan diri dan menjaga keseimbangan, secara individu sebagai wakil konstituen sekaligus sebagai anggota fraksi. Ia sangat memahami bahwa fraksi adalah perpanjangan tangan dari partai politik, maka harus melakukan komunikasi yang intens untuk membawa suara partainya. Akan tetapi, pada saat bersamaan, ia juga tidak kehilangan jati diri sebagai seorang anggota dewan, yang harus bertanggungjawab secara individu kepada konstituen yang memilihnya.

Di masa transisi itu, ia sangat yakin, bahwa tidak mungkin sebuah partai dapat menyelesaikan persoalannya sendiri. Oleh karena itu semuanya harus diselesaikan dengan loby dan musyawarah lintas fraksi. Maka ia pun aktif menggalang komunikasi politik lintas partai. Antara lain, ketika itu, ia aktif mendirikan panitia enam partai yang membicarakan tata-tertib dan kemungkinan-kemungkinan deadlock-nya sidang umum MPR.

Pada waktu itu terdapat dua arus kekuatan yang bergejolak luar biasa, antara kekuatan BJ Habibie dan Megawati Sukarnoputri. Lalu, Amien Rais menggagas poros tengah. Dalam konstalasi politik demikian panas ketika itu, Hatta pun aktif melakukan berbagai loby. Akhirnya Gus Dur yang terpilih.

Apalagi dalam proses peralihan kepemimpinan dari Gus Dur ke Megawati Sukarnoputri, ia lebih menunjukkan kemampuan politiknya dalam menelorkan solusi-solusi terbaik pada saat yang tepat.

Pemerintahan Gus Dur saat itu sangat labil, terjadi inkonsistensi, kabinet yang dibentuk dalam beberapa bulan kemudian dicopot. Setiap hari Jumat muncul pernyataan-pernyataan yang kontroversial yang mengakibatkan suasana politik memanas.

Hal tersebut sudah dimulai pada sidang tahunan MPR Agustus 2000. Waktu itu MPR telah membuat suatu draft yang isinya agar wakil presiden (Ibu Megawati) diberi wewenang lebih dalam menjalankan pemerintahan. Sedangkan presiden berfungsi sebagai kepala negara. Namun kemudian rancangan itu kembali mentah.

Apalagi ketika itu muncul kasus buloggate. Fraksi Reformasi ikut menggagas kasus ini diangkat hingga sampai ke memorandum. Akhirnya, keluar memorandum satu, dua dan tiga kepada presiden. Upaya ini didukung oleh berbagai fraksi melalui lobi-lobi lintas partai. Waktu itu ia dan fungsionaris lintas partai mengadakan pertemuan, hampir setiap hari di rumah Arifin Panigoro. Terakhir ketua-ketua fraksi bertemu di Hotel Indonesia menyatakan sikap bersama. Ketua Fraksi TNI/POLRI pun saat itu ikut bergabung.

Sikap bersama itu dapat terjadi, karena memang saat itu telah terjadi instabilitas politik dalam pemerintahan Gus Dur. Seperti, ketika beliau mengijinkan bendera Papua dikibarkan. Jika itu dibiarkan, mungkin Irian Jaya sudah lepas dari Indonesia.

Namun semua yang terjadi dalam dunia politik tidak pernah dilibatkan dalam kehidupan pribadi atau menjadi sebuah sentimen pribadi. Ia pun bukan tipe politisi yang suka berteriak dengan pendapat-pendapat yang kedengarannya menghentakkan, tapi tanpa solusi.

Baginya dalam berpolitik ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Sikap konsisten yang disertai tingkat moralitas yang tinggi dan menjaga etika. Boleh berbeda pendapat tapi jangan menghujat. Ia memang termasuk tipe orang yang tidak suka menghujat. Jika ada perbedaan pendapat, ia dengan santun dan terbuka menyampaikan bahwa ia mempunyai pendapat yang berbeda. Tapi jika pendapat orang lain memang lebih benar, ia pun akan mengikuti pendapat itu. Sebaliknya, jika pendapatnya yang benar, yang lain juga seharusnya mengakui. Tanpa perlu saling menghujat.

Jadi, menurutnya, persoalan politik dapat diselesaikan dengan baik-baik tanpa harus menyakiti perasaan orang. Tetapi jika dalam berpolitik sudah ada bibit-bibit suka dan tidak suka, maka persoalan apapun tidak dapat diselesaikan. Ia berpandangan persoalan dapat diselesaikan dengan nyaman, aman dan elegan, jika ada sikap saling menghargai.

Etika berpolitik elegan seperti ini dengan baik dipraktekkannya. Pada masa pemerintahan Gus Dur, ia benar-benar mengritik pemerintahan Gus Dur dengan tajam. Namun tidak pernah ia menghujat. Gus Dur tetap ia hormati sebagai presiden yang sah. Pendirian ini, di berbagai forum dan rapat ia kedepankan.

Menurutnya, di Indonesia banyak persoalan besar yang sebenarnya sudah dapat diselesaikan tanpa mengakibatkan konflik. Satu di antaranya proses demokratisasi yang luar biasa. Kebebasan berbicara, berserikat dan mendirikan partai sudah kita selesaikan. Sementara di banyak negara lain persoalan ini belum selesai.

Namun, menurutnya, hal ini harus dibarengi dengan pemahaman-pemahaman oleh partai politik dengan melakukan internalisasi demokrasi melalui tiga hal. Yaitu, pertama, secepat mungkin menyusun sebuah proses rekruitmen yang sehat. Karena jika partai politik tidak dapat melakukan tugas ini dengan benar maka yang merasakan kerugian tersebut adalah bangsa ini.

Misalnya jika kita perhatikan wakil rakyat yang ada di kota kabupaten dan daerah tingkat I, yang mulai dikritik oleh masyarakat, ini adalah tanda bahwa partai politik belum dapat melaksanakan rekruitmen yang sehat. Jadi hal ini harus cepat diselesaikan. Tidak ada pilihan lain, karena partai politik adalah ujung tombak demokrasi, yang akan membangun pemerintahan dan suprastruktur di republik ini. Jika hal ini tidak dilaksanakan, tujuan kita untuk mencapai demokrasi modern yang menghasilkan good government atau pemerintahan yang sehat akan terhambat.

Kedua adalah bagaimana di antara partai politik menciptakan suasana berkompetisi yang tidak menimbulkan konflik, yang tentu diatur melalui undang-undang dan peraturan partai politik.

Ketiga adalah bagaimana partai-partai politik menyelesaikan persolan-persoalan mengenai transparansi keuangannya, serta adanya peraturan yang mengartur bagaimana partai-partai politik dapat ikut dalam Pemilu.

Ia sendiri adalah orang yang mendukung dibentuknya aturan yang jelas agar setiap orang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya dalam membentuk partai politik tanpa dipersulit. Sebab hal itu adalah hak dasar. Jika seseorang kehilangan haknya, ia juga kehilangan kemanusiaannya. Ia dikatakan manusia karena memiliki kebebasan. Jadi jika ia kehilangan hak dalam berkumpul dan berserikat, hilang jugalah kemanusiannya.

Tapi harus ada aturan yang jelas. Aturan itu harus disepakati bersama dan tidak dapat diubah-ubah. Sebab jika mudah berubah, malah akan menjadi sangat rawan bagi terjadinya konflik. Sebagai pembanding bisa lihat di luar negeri yang aturannnya jelas. Sehingga partai politiknya sehat, dan berpengaruh pada keadaan bangsa tersebut.

Ia sangat sedih jika banyak tokoh-tokoh non-partai, yang sebenarnya dapat menjadi tokoh partai, berada di luar partai lalu hanya dapat mengkritisi dan menutup diri. Sehingga seakan-akan hanya dirinya saja yang dapat mewakili rakyat. Padahal semua tahu, partai politik adalah ujung tombak demokrasi. Jadi membangun demokrasi harus dengan cara memperkuat partai politik dengan dukungan ke arah yang lebih baik. Atau mendirikan partai politik. Walaupun di sisi lain kita juga harus mempuyai masyarakat sipil yang kuat untuk mengarahkan gerak partai politik.

Sebagai orang partai politik yang duduk dalam kabinet, ia pun menjalankan peran secara optimal tanpa terjadinya kemungkinan loyalitas ganda. Perihal masalah loyalitas ganda ini, telah ia ungkapkan dalam beberapa tulisan di beberapa majalah dan buku. Menurutnya, untuk dapat membedakan antara seorang negarawan dengan seorang politisi adalah kemampuannya membedakan kapan ia harus berbicara atas kepentingan bangsa atau kepentingan partai. Jika hal ini dapat dibedakan maka sudah tidak ada masalah. Ia sendiri dengan jujur mengatakan bahwa ingin partainya besar. “Tapi saya lebih menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar,” kata Menristek ini. (Lebih lanjut klik: Wawancara dengan Hatta Rajasa).

Pengangkatannya menjadi Menristek, tidak pernah diperkirakan. Namun ia tahu kalau Amien Rais mencalonkannya sebagai salah satu menteri di kabinet pemerintahan Megawati. Tapi bukan Menristek. Namun, secara pribadi, ia sama sekali tidak pernah mengira akan menduduki jabatan menteri. Ia hanya berpegang pada prinsip tetap bekerja konsentrasi dan selalu serius dalam setiap bidang yang sedang digumuli.

Ketika itu ia dihubungi oleh Presiden Megawati, sekitar jam 24:15 wib. Ia diminta untuk menjadi Menristek. Ia sempat kaget juga. Karena tahu, bahwa ia bukan seorang profesor, bukan seorang peneliti. Walaupun ia punya wawasan ke depan. Lalu ia jawab, “Saya siap!” Ia pun kemudian melaksanakan tugas dengan serius dan penuh tanggungjawab.

Ketika sidang kabinet pertama, Presiden Megawati mengingatkan agar setiap kebijaksanaan yang dibuat oleh kabinet gotong-royong diterjemahkan bagi kepentingan perekonomian masyarakat. Lalu, sebagai Menristek, ia pun menemukan dan merumuskan strategi yang mampu mendukung perekonomian rakyat yang berkaitan dengan IPTEK yaitu pangan, bioteknologi dan energi.

Kemudian, alhamdulilah, segera pula terbentuk undang-undang IPTEK. Dengan undang-undang itu, dapat lebih jelas ke mana IPTEK bergerak. Menurutnya, IPTEK adalah merupakan backbond (tulang punggung) perkekonomian. Tidak ada negara di dunia ini yang dapat maju tanpa ilmu pasti. Sementara ilmu pasti ada dari penelitian. Penelitian yang menghasilkan inovasi yang berorientasi kepada pertumbuhan dan pencapaian. Itulah yang dilakukan di kementerian Ristek. “Memang kita membutuhkan teknologi-teknologi yang besar, namun jika masyarakatnya masih dalam kelaparan dan kekurangan, pasti ada yang salah,” katanya.

Ia pun telah meletakkan tujuan yang hendak dicapai Kementerian Ristek pada rel yang benar sesuai dengan kebutuhan bangsa ini. Integritasnya dalam mengurusi kementerian ini tidak hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Terbukti dari terpilihnya dia secara aklamasi sebagai President of The 46th General Conference of The International Atomic Energy Agency (IAEA), yang berlangsung 16-20 September 2002 lalu di Vienna, Austria.

Konfrensi badan atom internasional itu dihadiri delegasi dari 143 negara. Inilah pertama kali putera Indonesia mendapat kepercayaan memimpin sidang dalam konfrensi IAEA. Selama seminggu penuh ia memimpin jalannya sidang, yang menelorkan 23 resolusi. Dua resolusi diantaranya harus diselesaikan dengan cara voting, yakni pertama tentang perdamaian timur tengah dan kedua tentang pelucutan senjata nuklir Irak.

Pangalamannya di Senayan digunakannya dengan efektif pada konfrensi itu. Ia berhasil membangun jaringan-jaringan dialog serta lobi-lobi. Ia melobi setiap delegasi. Perwakilan dari negara-negara Eropa ia dengarkan pendapatnya. Kemudian ia melobi juga perwakilan Israel serta dari negara-negara Arab. Kemudian ia temukan dan tawarkan solusinya. Sidang pun berjalan lancar. Biasanya, pada 10 tahun terakhir, rapat hari terakhir baru selesai sampai pagi. Tapi, kali ini, saat ia memimpin, sidang dapat selesai jam 6 sore lewat 10 menit. Konfrensi yang dianggap paling sukses.

Mengapa Indonesia yang terpilih? Mungkin karena Indonesia adalah merupakan sahabat bagi bangsa-bangsa Arab termasuk Irak, juga dipandang sebagai sahabat bagi negara-negara Eropa. Sehingga baik negara Arab maupun Eropa merasa aman jika mendukung Indonesia. Tapi, yang lebih utama lagi, pastilah pertimbangan integritas dan kemampuan pribadi Hatta Rajasa sendiri. Sebab, sebelum kepergiannya menghadiri pertemuan itu, ia dihubungi oleh duta besar Amerika, memberitahukan bahwa duta besar Amerika Serikat di Wina ingin berbicara dengannya. Mereka pun banyak berbicara tentang berbagai persoalan dunia ke depan.

Kemudian faktor lain yang menyebabkan Indonesia terpilih adalah bahwa Indonesia sejak zaman pemerintahan Soekarno sudah mempuyai konsep dan telah meletakan pondasi yang kuat dalam pengembangan tehnologi nuklir. Pusat pengembangan tenaga nuklir yang ada di Bandung itu dibangun pada masa Bung Karno sekitar tahun 1963-1964.

Menurutnya, Indonesia sebagai negara besar berpenduduk sekitar 227 juta, dan pada tahun 2020 akan menjadi sekitar 300 juta, tidak mungkin memenuhi kebutuhan energinya dengan mengadalkan sumber energi fosil (minyak dan fosil). Maka, ia berpendapat pada tahun 2015 Indonesia sudah harus membangun pembangkit tenaga nuklir.

Ditambahkan, dengan pengetahuan teknologi nuklir, Indonesia bisa memainkan peranan yang singnifikan dalam pergaulan internasional. “Bangsa Indonesia terlalu besar untuk diremehkan orang. Jadi harus mampu bangkit dalam percaturan internasional dan memberikan pemikiran-pemikiran yang konstruktif. Kita tidak bisa dilecehkan,” kata suami Oktiniwati Ulfa Dariah ini.

Ia merasa sangat tersinggung dengan pernyataan Perdana Menteri Australia, John Howard yang menyatakan bahwa mereka ingin kembali ke konsep negara unilateral ketimbang multilareral. Ini merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima. “Kalau saya masih menjadi anggota DPR, saya akan teriak keras. Tidak sepantasnya ia berbicara demikian.”

Sebab menurutnya, sikap seperti itu adalah berarti kita sudah tidak dihormati lagi. Maka kita harus mengembalikan pamor bangsa ini. Seperti ketika Bung Karno membangun bangsa ini, sehingga bisa disegani oleh bangsa-bangsa lain. Namun, demikian, ia yakin bangsa kita masih tetap diperhitungkan oleh bangsa lain.

Nama: Ir. M. Hatta Rajasa Lahir: Palembang, 18 Desember 1953 Agama: Islam Isteri: Drg. Oktiniwati Ulfa Dariah Rajasa, Anak: Reza, Aliya, Azimah dan Rasyid

Pendidikan: Insinyur Perminyakan Institut Tehknologi Bandung (ITB)


Pengalaman Pekerjaan: 2004-2009 Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu 2001-2004: Menteri Riset dan Teknologi Kabinet Gotong Royong 2000-Sekarang Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (DPP-PAN) 1999- 2000 Ketua Fraksi Partai Reformasi DPR. 1982- 2000 Presiden Direktur Arthindo 1980 -1983 Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi Perusahaan pengeboran minyak 1977 -1978 Teknisi Lapangan PT. Bina Patra Jaya

Kegiatan Internasional: September 2002, Presiden ke 46 konferensi IAEA di Vienna, Austria Juni 2002, Mengikuti lawantan dengan Presiden RI ke Italia, Inggris, Austria, Republik Czech dan Slovakia Mei 2002, Mengikuti pertemuan G-15 dalam bidang IPTEK, Caracas, Venezuela April 2002, Menghadiri Pertemuan tahunan Pemimpin Pemerintahan ke 5 dari Microsoft di Seattle, USA Maret 2002, Mengikuti Lawatan dengan President RI ke India, China, Korea Selatan dan Korea Utara November 2001, Menghadiri pertemuan ke 2 Forum Dialog dan kerjasama Asia Bidang Nuklir (FNCA), Tokyo September 2001, Mengikuti Pertemuan ke 6 Negara-negara ASEAN Bidang IPTEK di Brunei Darussalam September 2000, Anggota delegasi DPR dalam lawatan kerja ke Jerman September 2000, Ketua Delegasi "Pertemuan Partai Politik di Asia", di Philippina September 1997, Anggota Delegasi Indonesia dalam pertemuan APEC, Canada.

Alamat Rumah: Perumahan Executive Golf Kav.26, JI. RS. Fatmawati, Jakarta 12430,

Alamat Kantor: Gedung BPPT II Lt.24, JI. MH. Thamrin 8, Jakarta 10340, Telp: (62-21) 324703 - 3169961 Fax: (62-21) 391178