Lompat ke isi

Kewajiban Pelayanan Universal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kewajiban Pelayanan Universal yang disingkat KPU/USO (bahasa Inggris: Universal Service Obligation / USO) adalah sebuah program yang dijalankan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) yang dilaksanakan oleh Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi (BP3TI).[1] Tujuan utama dari penyelenggaraan KPU adalah untuk mengatasi kesenjangan teknologi informasi, mendukung kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, serta mencerdaskan bangsa melalui teknologi informasi dan komunikasi.[1]

Target program KPU adalah wilayah pelayanan universal yang meliputi daerah terpencil, daerah perbatasan, daerah perintisan, dan daerah yang belum mendapatkan akses atau jaringan telekomunikasi.[1] Program ini melibatkan pengusaha dalam peningkatan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia.[2]

Sejarah

Program ini berangkat dari inisiatif pemerintah Indonesia agar seluruh desa di berbagai daerah memiliki sambungan telepon di tahun 2005.[3] Hal ini dimotivasi oleh kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang berada di peringkat terakhir untuk pengadaan telepon tetap (fixed line) dengan rasio 3,6 per 100 penduduk, dan peringkat sembilan untuk telepon seluler dengan rasio 5,5 per 100 penduduk untuk di wilayah Asia dan Australia.[3] Cita-cita ini juga telah dideklarasikan oleh International Telecommunication Union (ITU).[3] Pemerintah pun mulai menerapkan program di tahun 2003 dengan dana sebesar Rp 45 miliar yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN).[3] Baru lah, di tahun 2004, pemerintah Republik Indonesia (RI) menawarkan proyek pembangunan jaringan telekomunikasi di pedesaan kepada para operator swasta, tetapi belum dijalankan disebabkan kekurangan dana.[4] Selanjutnya di tahun 2005, para operator swasta dan pmerintah sepakat bahwa dana untuk program KPU diambil dari PNBP operator swasta sebesar 1.25% (sesuai dengan Peraturan Pemerintah no 7 tahun 2009).[4] Sebelum mencapai angka pungutan sebesar 1.25%, para operator telekomunikasi hanya diminta sebesar 0,75% dari pendapatan kotornya (2004).[3][2][5] Namun, pihak Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui hal ini dan memohon untuk peningkatan presentase pungutan sehingga disepakati lah jumlah pungutan sebesar 1,25%.[6] Peningkatan pungutan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menambah anggaran pengembangan infrastruktur telekomunikasi.[3]

Agensi

Untuk menjalankan program KPU, pemerintah membentuk lembaga koordinator atau agensi semi-korporat yang bernama Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan (BTIP) (BTIP) di tahun 2005.[4] Selanjutnya di tahun 2009, BTIP berganti nama menjadi BP3TI dengan tugas yang tidak hanya membangun fasilitas TIK di pedesaan tapi juga menyediakan layanan telekomunikasi dan jaringan yang murah dan membentuk ekosistem jaringan jalurlebar di Indonesia.[4] Lembaga ini juga aktif mengumpulkan segala kontribusi yang berasal dari operator swasta.[4]

Program KPU

Program-program KPU meliputi program Desa Dering (program penyediaan telekomunikasi teleponi), Desa Pinter, Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK), Mobile-Pusat Layanan Internet Kecamatan (sama dengna PLIK namun berkeliling desa dengan mobil).[7] Lalu, di tahun 2013, program KPU berkembang menjadi: Nusantara Internet Exchange, PLIK Sentra Produktif, Jalin KPU/USO (Jasa Akses Layanan Internet berupa WIFI Kabupaten), dan Telinfo Tuntas (Telekomunikasi dan Informatika di Pulau Terluar dan Perbatasan).[7]

Pencapaian

Dana USO yang terkumpul selama tahun 2005 mencapai Rp 300 miliar dan Rp 400 miliar di tahun 2006.[5] Lalu, di tahun 2003 program ini dinilai berhasil membangun sekitar 3.013 sambunga telepon di desa-desa yang tersebar di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Kawasan Indonesia Bagian Timur.[5] Kemudian di tahun 2004 pemerintah menambah sekitar 2.635 sambungan telepon pada 2.341 desa, hal ini merupakan rencana dari jangka panjang sebanyak 43.000 desa.[5]

Kendala dan tantangan

Kendala dan tantangan program KPU umumnya terjadi dari segi teknis, operasi dan perawatan, pengawasan dan evaluasi, dan sumber daya manusia.[4] Dari segi teknis, program-program USO terkendala masalah spesifikasi perangkat keras yang tidak mumpuni, daya listrik yang kurang, serta kapasitas pita lebar yang terbatas.[4]

Dari segi operasi dan pengawasan masalahnya adalah perawatan yang kurang, lokasi yang sulit dijangkau, kurangnya dukungan dari masyarakat.[4] Lalu dari segi pengawasan adalah sulitnya menjangkau seluruh poin-poin fasilitas yang tersebar di Indonesia.[4] Sekalipun terdapat pengawasan, para penanggungjawab tidak bisa menyelesaikan masalah hingga tuntas.[4] Dari segi agensi, lembaga BP3TI dinilai memiliki kompetensi yang kurang dan birokrasi yang berbelit-belit.[4]

Rujukan

  1. ^ a b c (Indonesia) Indra Pratama Prianova (FT UI). "Strategi Implementasi Kewajiban Pelayanan Universal" (PDF). 
  2. ^ a b "Operator Telepon Wajib Sisihkan 0,75 Persen Total Pendapatan untuk Bangun USO (koran Rabu, hal. 14)". Kompas. 25/08/2004. 
  3. ^ a b c d e f "Semua Desa Terjangkau Telepon Tahun 2005 (koran Jumat, hal. 13)". Kompas. 19/12/2003.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "korankompas4" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  4. ^ a b c d e f g h i j k (Indonesia) Koesmarihati Sugondo. "Implementation of USO in Indonesia" (PDF). 
  5. ^ a b c d "Pemerintah Kaji Opsi Pungutan USO 1% (koran Senin, hal. 19)". Kompas. 24/10/2005. 
  6. ^ "DPR Minta Setoran untuk USO Ditambah (koran Kamis, hal. 18)". Kompas. 15/09/2005. 
  7. ^ a b "Sosialisasi dan Publikasi KPU/USO". BP3TI. April 24, 2013.