Lompat ke isi

Lir-ilir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Berkas:Sunan Kalijaga.jpg
Foto ini adalah foto lukisan Sunan Kalijaga yang telah menciptakan Tembang llir-llir

Lir-ilir adalah tembang yang diciptakan dan digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk berdakwah menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.[1]

Dalam Bahasa Jawa

  • Lir-ilir, lir-ilir, tandure wes sumilir
  • tak ijo royo-royo, tak sengguh kemanten anyar
  • cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
  • Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
  • Dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir
  • Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore
  • Mumpung pandhang rembulane, mumpung jembar kalangane
  • Yo surako surak hiyo.

Makna Tembang Lir-ilir

Tembang ini diawali dengan Lir ilir yang artinya bangunlah, bangunlah atau bisa diartikan sebagai sadarlah. Kita diminta bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh ALLAH SWT dalam diri kita, karena itu digambarkan dengan Tandure wus sumilir atau tanaman yang mulai bersemi dan pohon-pohon yang mulai menghijau bagaikan Tak ijo royo-royo. Semua itu tergantung pada diri kita masing-masing, apakah mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan terus berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagian seperti bahagianya pengantin baru atau Tak sengguh temanten anyar.[2]

Cah angon, Cah angon atau anak gembala, yang artinya kita telah diberi sesuatu oleh ALLAH SWT untuk kita gembalakan yaitu "HATI", bisakah kita gembalakan hati kita ini dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya, si anak gembala diminta untuk memanjat pohon belimbing atau Penekno blimbing kuwi yang notabene buah belimbing itu bergerigi lima buah, dalam hal ini sebagai gambaran dari Lima Rukun Islam.[3]

Pohon belimbing itu memang licin dan meskipun dalam keadaan susah untuk melaksanakannya, kita harus bisa memanjatnya sekuat tenaga yang artinya kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya bagaikan Lunyu-lunyu penekno. lalu apa gunanya semua ini ? semua ini berguna untuk mencuci pakaian kita atau Kanggo mbasuh dodotiro yang bermakna bahwa pakaian itu ibarat taqwa dan pakaian taqwa ini lah yang harus di bersihkan.[4]

Dodotiro, Dodotiro yang berarti adalah pakaian taqwa kita memang harus di bersihkan, yang jelek-jelek harus kita singkirkan dan kita tinggalkan. namun sebagai manusia biasa pakaian taqwa itu terkadang rusak atau terkoyak-koyak seperti Kumitir bedah ing pinggir sehingga perlu perbaikan untuk menjahitnya dan dibenahi kembali bagaikan Dondomono, Jlumatono agar menjadi pakaian yang indah, karena sebaik-baiknya pakaian adalah pakaian taqwa pada diri kita. Kanggo sebo mengko sore atau untuk menghadapi nanti sore, kata ini mempunyai makna bahwa suatu saat kita semua pasti akan mati, karena itu kita selalu diminta untuk memperbaiki pakaian taqwa kita, agar kelak kita siap ketika dipanggil menghadap kehadirot ALLAH SWT.

Mumpung padhang rembulane, Mumpung Jembar kalangane atau mumpung padang rembulannya dan mumpung banyak waktu luangnya, kata-kata ini mengandung arti bahwa ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, dan ketika masih banyak kesempatan karena diberi umur yang masih menempel pada hayat kita maka pergunakanlah waktu dan kesempatan itu untuk bisa memperbaiki diri agar senantiasa selalu bertaqwa kepada ALLAH SWT. Selanjutnya Yo surako surak iyo atau bersoraklah dengan sorakan iya untuk menyambut seruan ini dengan sorak sorai, ketika kita masih sehat dan mempunyai waktu luang. Jika ada yang mengingatkan, maka jawablah dengan "Iya"

Referensi

Pranala luar