Kerajaan Koying
1. Keberadaan Kerajaan Koying Ada catatan yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao (Wolters 1967: 51). Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api da kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po. Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ad apulau bernama P’u-lei (? Pulau). Penduduk yang mendiami pulau itu semuanya telanjang bulat, lelaki maupun perempuan, denga kulit berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah. Mereka mealkukan dagan barter (tukar menukar) dengan para penumpang kapal yang mau berlabuh di Koying seperti ayam dan babi serta bebuahan yang mereka tukarkan dengan berbagai benda logam. Melihat warna kulitnya kemungkinan besar penduduk P’u-lei itu bukan termasuk rumpun Proto-Negrito yang sebelumnya menghuni daratan Sumatera. Menurut catatan Cina yang lain lokasi Koying diperkirakan di Indonesia Barat ataupun di Semenanjung Malaka. Jika lokasinya memang di wilayah tersebut akhir itu pasti hal demikian tidak mungkin karena dilakporkan bahwa Koying merupakan sebuah neseri dengan banyak gunungapi sedan di Semananjung Malaka tidak ada gunung api. Jika kedudukannya di Indonesia Barat, yakni di Kalimantan, Jawa atau Sumatera, di pulau tersebut pertama juga tidak ada gunung api. Kalau negeri itu kedudukannya dianggap di Jawa juga sukar untuk diterima mengingat dengan demikian negeri itu harus berada di selatan gunung api bersangkutan yakni misalnya di Pegunungan Selatan Jawa. Kalau Koying dicoba ditempatkan si sebelah timur pulau Jawa, hal itu juga tidak mungkin karena wilayah itu tidak disebut-sebut dalam catatan Cina, dan besar kemungkinan memang belum dikenal oleh mereka. Menurut data Cina Koying memuliki pelabuhan dan telah aktif mengadakan perdagangan, terutama dengan berbagai daerah di bagian barat Sumatera. Catatan Cina tentang hal itu didapatakan dari sumber India dan Funan (Vietnam) karena pengiriman perutusan ke dan perdagangan langsung dengan Cina belum dilakukan. Dilaporkan selanjutnya bahwa Koying berpenduduk sangat banyak dan menghasilkan mutiara, emas, perak, batu giok, batu kristal dan pinang. Dari aktifnya perdagangan rasanya sangat sukar untuk menerima pantai selatan Jawa sebagai kedudukan Koying. Namun dapat ditambahkan selain Koying telah melakukan perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah (wilayah Sumatera Selatan) dan Ranau (wilayah Lampung) telah ditemukan petunjuk adanya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin (Tongkin, Ton-king) dan Vietnam (Fu-nan) dalam abad itu juga. Malahan kermaik hasil zaman dinasti Han (abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) di temukan di wilayah Sumatera tertentu (Ridho, 1979). Adanya kemungkinan penyebaran berbagai negeri di Sumatera Tengah hingga Palembang di Selatan dan Sungai Tungkal di utara digambarkan oleh Obdeyn (1942), namun dalam gambar itu kedudukan negeri Koying tidak ada. Jika benar Koying berada di sebelah timur Tupo (Thu-po), Tchu-po, Chu-po) dan kedudukannya di Muara pertemuan dua sungai, maka ada dua tempat yang demikian yakni Muara Sabak (Zabaq, Djaba, Djawa, Jawa) dan Muara Tembesi (Fo-ts’i, San-fo-tsi’, Fo-che, Che-li-fo-che) sebelum seroang sampai di Jambi (Tchan-pie, Sanfin, Malayur, Moloyu, Malalyu). Dengan demikian seolah-olah perpindahan Kerajaan Malayu Kuno pra-Sriwijaya bergeser dari arah barat ke timur mengikuti pendangkalan Teluk Wen yang disebabkan oleh sedimen terbawa oleh sungai terutama Batang Tembesi. (Aulia Tasman, Dosen Universitas Jambi)