Lompat ke isi

Bahasa Proto-Melayik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.
Proto-Melayik
Reka ulang dariBahasa-bahasa Melayik
WilayahLihat #Urheimat
Leluhur
reka ulang
L • B • PW
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini


Bahasa Proto-Melayik adalah bahasa proto yang direka ulang untuk bahasa-bahasa Melayik, yaitu bahasa-bahasa yang kini tersebar luas di Asia Tenggara Lautan. Seperti kebanyakan bahasa proto lainnya, bahasa Proto-Melayik tidak mempunyai bukti tertulis apa pun. Bahasa ini secara ekstensif dikaji di sebuah makalah yang berjudul Proto-Malayic: The Reconstruction of its Phonology and Parts of its Lexicon and Morphology, yang dilakukan oleh K. Alexander Adelaar di tahun 1992.

Urheimat

Menurut kajian H. Kern di tahun 1917 yang berjudul Taalkundige gegevens ter bepaling van het stamland der Maleisch-Polynesische volkeren, Urheimat atau wilayah asal penutur bahasa Proto-Melayik diusulkan untuk berada di Semenanjung Malaya, yang didasarkan pada kata berbahasa Melayu selatan, diturunkan dari kata selat "selat: laut di antara pulau-pulau". Makalah lain yang berjudul Kerinci sound-changes and phonotactics oleh D. J. Prentice di 1978, percaya bahwa inti dari bahasa Melayu berada di kedua sisi Selat Melaka, walau di makalah itu tidak menyertakan bahasa-bahasa Melayik Dayak.

Namun, kini banyak linguis, termasuk Adelaar, menolak usulan Kern dan menyatakan bahwa penutur bahasa Proto-Melayik berurheimat di Borneo, sebab bahasa-bahasa yang ada di sana mempunyai pengaruh Sanskrit atau Arab yang sedikit.[1]

Fonologi

Bahasa Proto-Melayik mempunyai 19 konsonan dan 4 vokal. Konsonan lelangit (kecuali *y) dan letupan bersuara (*b, *d, *j, *ɡ) tidak dapat mengakhiri suatu kata, dan juga bahasa ini hanya membolehkan rangkaian konsonan yang berupa sengau-letupan yang homorganik (keduanya berada di letak pengucapan yang sama) serta rangkaian konsonan *ŋs. Adelaar mencantumkan bunyi *t sebagai konsonan gigi, bukan rongga-gigi.[2] Hentian celah suara , yang mana hanya terjadi di akhir kata, adalah konsonan yang paling baik dijaga dalam bahasa Iban, walau tidak ditunjukkan lasngsung dalam penulisan (Bahasa Iban pakuʔ, Bahasa Melayu paku*pakuʔ).[3]

Konsonan bahasa Proto-Melayik
Bibir (Dwibibir) Rongga gigi Lelangit Lelangit belakang Celah suara
Letupan Nirsuara *p *t *c *k
Bersuara *b *d *j
Sengauan *m *n
Geseran *s *h
Likuida (Hampiran sisi dan Getaran) *l *r
Hampiran *w *y
Vokal bahasa Proto-Melayik
Ketinggian Depan Madya Belakang
Tertutup *i *u
Tengah
Terbuka *a

Menurut Adelaar, bahasa ini hanya mempunyai 2 diftong: *-ay, dan *-aw. Namun, Anderbeck di 2012 mengajukan diftong lain, yaitu *-uy, yang mana hanya dipertahankan dalam bahasa Duano, dan digabung dengan -i di bahasa-bahasa Melayik lainnya.

Struktur kata

Leksem bahasa Proto-Melayik kebanyakan bersuku kata dua, dengan yang lainnya bersuku kata satu, tiga, hingga empat. Leksem-leksemnya mempunyai stuktur suku kata seperti berikut:[2]

* [C V (N)] [C V (N)] [C V (N)] C V C 

Catatan: C = konsonan, V = vokal, N = sengauan

Perubahan fonologis

Terhadap Proto-Melayik

Berikut adalah perubahan fonologis dari bahasa Proto-Melayu-Polinesia ke Proto-Melayik.[4]

  • *-əy, *-iw, > *-i; *-əw > *-u. Diftong *-uy dalam bahasa Proto-Melayik masih dipertahankan dalam bahasa Duano (məloŋoy < *mA-laŋuy "berenang").[5]
  • *z > *j (pengucapannya mirip, tapi penulisannya diubah), *-D-, *-j- > *-d-.
  • Penirsuaraan konsonan hentian akhir untuk *-b, *-d, dan *-g ke *-p, *-t, *-k, kecuali untuk *-D > *-r.
  • *-ə- sebelum *-h > *-a-, contoh *tanəq > *tanəh > *tanah "land".
  • *w- > *∅-, contoh *wahiR > *air "air".
  • *q > *h, contoh *puluq > *puluh "puluh".
  • *h > *∅, contoh *haŋin > *aŋin "angin".
  • *R > *r.
  • C¹C² (dengan konsonan pertamanya bukan sengauan) menjadi di perulangan (imbuhan-imbuhan lolos dari perubahan bunyi ini).
  • C¹C² (dengan konsonan pertamanya sengauan heterorganis, yaitu tidak seletak dengan konsonan berikutnya) diubah menjadi homorganis (seletak), contoh *DəmDəm > *dəndəm "dendam".
  • Vokal pepet menyebabkan sisipan sengauan sebelum letupan (apalagi letupan nirsuara), contoh *həpat > mpat "empat", dan *qəti > *hənti "henti".

Pasca proto-Malayik

  • Vokal pepet di akhir suku kata yang tertutup masih dipertahankan dalam bahasa Proto-Melayik (contoh *daləm "dalam"), tetapi hanya terus dijaga dalam bahasa Betawi (termasuk bahasa Indonesia gaul), Melayu Bangka dan bahasa Palembang (khususnya ragam Palembang Lama).[6][7] Di bahasa Melayik lainnya, ia digabung dengan vokal *a di letak tersebut (> *dalam).
  • Sisa-sisa vokal di bahasa Banjar dan Minangkabau umumnya digabung dengan vokal a [8]
  • Struktur bunyi *-aba- hanya dipertahankan dalam bahasa Iban, dan diubah menjadi *-awa- di bahasa Melayik lainnya (*laban > *lawan "lawan").[9]
  • Vokal *a di akhir kata kebanyakan masih dipertahankan di bahasa-bahasa Melayik di Borneo (terkecuali bagian baratnya), tetapi di Sumatra atau Semenanjung Malaya, vokal tersebut bermutasi ke vokal lain, yaitu vokal /ə/, /o/, /e/, atau bahkan setinggi vokal /ɨ/ dan /u/. Hasilnya berbeda-beda di setiap dialek. Uri Tadmor menyatakan bahwa perubahan ini disebabkan oleh pengaruh bahasa Jawa.[10] Pengecualian jelas untuk perubahan ini adalah bahasa Haji di Sulawesi Selatan, yang masih mempertahankan vokal *a di letak tersebut.[11]

Rujukan

  1. ^ Adelaar 1992, hlm. 206–207.
  2. ^ a b Adelaar 1992, hlm. 102.
  3. ^ Adelaar 1992, hlm. 63.
  4. ^ Adelaar 1992, hlm. 195.
  5. ^ Anderbeck, Karl (2012). "The Malayic speaking Orang Laut: Dialects and directions for research". Wacana: Journal of the Humanities of Indonesia. 14 (2): 265–312. Diakses tanggal 26 May 2019. 
  6. ^ McDowell & Anderbeck 2020, hlm. 14–15.
  7. ^ Nothofer 1995, hlm. 88–89.
  8. ^ Adelaar 1992, hlm. 40.
  9. ^ Adelaar 1992, hlm. 75.
  10. ^ Tadmor, Uri (2003). "Final /a/ mutation: a borrowed areal feature in Western Austronesia" (PDF). Dalam Lynch, John. Issues in Austronesian historical phonology. Pacific Linguistics 550. Canberra: Pacific Linguistics, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. hlm. 15–36. 
  11. ^ Anderbeck, Karl (2007). "Haji: One language from twelve? A brief description of an interesting Malay dialect in South Sumatra". Reflections in Southeast Asian seas: Essays in honour of Professor James T. Collins: Book II. hlm. 51–91. 

Daftar pustaka

  • Adelaar, K. Alexander (1992). Proto-Malayic: The Reconstruction of its Phonology and Parts of its Lexicon and Morphology. Pacific Linguistics, Series C, no. 119. Canberra: Dept. of Linguistics, Research School of Pacific Studies, the Australian National University. hdl:1885/145782alt=Dapat diakses gratis. 
  • Nothofer, Bernd (1995). "The History of Jakarta Malay". Oceanic Linguistics. 34 (1): 87–97. JSTOR 3623113. 
  • McDowell, Jonathan; Anderbeck, Karl (2020). "The Malay Lects of Southern Sumatra" (PDF). Journal of the Southeast Asian Linguistics Society Special Publication. 13 (5).